Bila kita cermati, saat ini para aktivis mahasiswa Islam terkotak-kotak dan mayoritas cenderung fanatik terhadap organisasi atau gerakannya. Aktivis HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) misalnya, bangga berlebihan terhadap kelompoknya dan ‘hanya’ menjadikan Taqiyuddin An Nabhani sebagai rujukan utama pembinaannya.
Begitu juga aktivis mahasiswa Ikhwanul Muslimin di Indonesia –yang sebagian besar menginduk pada Partai Keadilan Sejahtera. Mereka sudah merasa cukup bila sudah dibina dengan kitab-kitab dari Hasan al Banna atau tokoh Ikhwan lainnya. Hal yang sama terjadi pada gerakan Salafi Wahabi atau Salafi Haraki. Gerakan-gerakan yang sangat ketat dalam berpedoman al Qur’an dan Sunnah dan cenderung ‘mengesampingkan’ ijtihad. Gerakan Salafi Wahabi lebih banyak berfokus pada hal-hal bid’ah dan sunnah. Buku yang menjadi rujukan utamanya adalah Nashirudin al Albani. Sedangkan gerakan Salafi Haraki banyak berkutat pada solidaritas dunia Islam karena penjajahan fisik Amerika dan sekutunya. Buku yang menjadi pedoman utamanya adalah Sayid Qutb dan Abdullah Azzam.
Pergerakan mahasiswa di Muhammadiyah (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) atau Nahdhatul Ulama (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) kurang lebih sama. Di PMII cenderung menjadikan Gus Dur sebagai rujukan utama dan sebagian condong ke ‘Islam Liberal’. Gerakan KH Wachid Hasyim, tidak menjadi inspirasi utama mahasiswa-mahasiswa PMII. Situasi yang sama mirip dengan mahasiswa IMM. Gerakan KH Ahmad Dahlan belum menjadi teladan sentral dalam gerakan IMM, meski kini dicoba dengan membuat film dan memperbanyak buku tentangnya. Mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah cenderung terpecah-pecah sumber gerakannya dan sebagian ada yang terjangkit ‘liberal’.
Gerakan-gerakan mahasiswa tahun 80-90an menurut penulis, cenderung lebih terbuka dan intelektual daripada saat ini. Diperlakukannya NKK-BKK, dimana mahasiswa tidak boleh terlibat dalam politik praktis, menjadi berkah bagi mahasiswa untuk fokus pada kajian keislaman yang lebih serius. Saat itu buku-buku dari IIFSO, yang banyak terinspirasi Mohammad Nastir, menjadi rujukan banyak aktivis mahasiswa Islam. Buku-buku Sayyid Qutb, Yusuf Qaradhawi, Abul Ala Maududi, Ali Syariati menjadi kajian-kajian serius di kalangan mahasiswa dan menimbulkan semangat ‘militansi’ yang hebat untuk melawan imperialisme/pemikiran Barat. Begitu pula buku-buku karya Mohammad Natsir, Deliar Noer, Rasjidi menjadi kajian penting dalam membentuk perspektif perjuangan mahasiswa Islam di Indonesia.
Semangat membentuk dan memperbaiki masyarakat Islam yang ‘modern’ menjadi dambaan dan tujuan mahasiswa. Hampir tidak ditemui saar itu aktivis mahasiswa yang gampang membid’ahkan masyarakat atau aktivis mahasiswa yang menutup telinga bila yang ceramah bukan dari harakahnya.
Kini banyak ditemui aktivis mahasiswa Islam yang ‘kaku’ dalam pemikiran. Memang mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena yang membuat mereka demikian adalah para guru/ustadz yang mengajarinya. Para ustadz mereka ada yang hanya membolehkan membaca buku-bukunya atau buku-buku yang seide dengan ustadz itu (guru-gurunya). Bila ada buku lain yang bertentangan atau mengkritik pemikiran ustadz itu, Ustadz tersebut melarang muridnya untuk membacanya. Ada sebuah kejadian, seorang aktivis memarahi penjual buku yang memajang buku Syekh Yusuf Qaradhawi di lapaknya. Dikatakan bahwa Qaradhawi itu hanya menggunakan akalnya saja dalam bukunya. “Kurang nyunnah” istilahnya atau “Ia kan bukan ahli Hadits”, begitu biasanya aktivis Salafi Wahabi berucap. Penulis temui pula ada sebuah kelompok harakah yang melarang aktivis mahasiswanya mendengarkan ceramah beberapa ustadz (ahli dalam pemikiran Islam), hanya karena para ustadz itu tidak masuk dalam kelompok harakah mereka.
Sehingga kini banyak ditemui mahasiswa yang jumud terhadap pemikiran atau gerakan-gerakan Islam. Mereka hanya tahu pemikiran dan gerakannya saja. Tidak memahami dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada gerakan Islam lain.
Bila ditelaah secara mendalam, kecenderungan gerakan saat ini yang ‘ashabiyahnya sangat tinggi’ ini adalah sangat mengkhawatirkan. Para ustadz dari Timur Tengah yang banyak tidak faham sejarah penyebaran Islam atau gerakan Islam di Indonesia banyak yang gegabah mengajari mahasiswa atau santrinya sejak awal bid’ah dan sunnah. Bukan mengajari mereka mereka bagaimana menjaga aqidah Islam yang kokoh di tengah serbuan liberalisme saat ini, bagaimana perjuangan Islam yang tepat di Indonesia, bagaimana memperbaiki masyarakat Islam Indonesia, bagaimana membentuk peradaban Islam di Indonesia dan lain-lain. Sehingga yang terjadi sebenarnya adalah gerakan setback ke belakang, yang meributkan kembali hal-hal fqh yang furu’. Tidak sedikit sekarang aktivis Islam yang mengharamkan musik, maulid, organisasi politik dan lain-lain. Padahal masalah-masalah seperti ini telah dibahas (diperdebatkan) ulama sejak lama. Para ulama telah membahas tentang kebolehan musik dan syarat-syarat musik atau syair yang dibolehkan dan sebagainya. Ketika kaum Muslimin di puncak peradaban Andalusia (abad ke 8 s/d abad ke-15) ada tradisi musik Islam di sana.
Saatnyalah kini para mahasiswa dan khususnya ustadz-ustadnya mau mempelajari dengan serius pemikiran dari tokoh-tokoh gerakan Islam lain. Anak-anak mahasiswa IMM atau PMII mau membaca seirus buku-buku karya Taqiyuddin an Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) dan Hasan al Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin). Para aktivis Hizbut Tahrir atau Ikhwanul Muslimin mau mengkaji seksama buku-buku Ahmad Dachlan, Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Naquib Alatas atau Mohammad Roem. Begitu pula para aktivis Salafi mau mempelajari buku-buku Hamka, Raja Ali Haji, tokoh-tokoh Ikhwan atau Hizbut Tahrir.
Bila ini dilakukan insya Allah gerakan mahasiswa Islam Indonesia akan menjadi ‘leader’ bagi arah Indonesia ke depan. Dan bukan mustahil aktivis mahasiswa Islam Indonesia akan menjadi pemimpin bagi aktivis-aktivis mahasiswa Islam di seluruh dunia. Karena di belahan dunia lain pun terjadi kecenderungan gerakan mahaiswa yang kurang lebih sama dengan yang terjadi di Indonesia.
Tokoh-tokoh gerakan Islam itu adalah mutiara-mutiara Islam. Sayang bila kita hanya mengambil satu mutiara saja. Sementara sebenarnya kita bisa mengambil banyak mutiara untuk kita manfaatkan secara optimal. Apalagi sekarang di era ‘kebebasan informasi’, era internet. Dimana kita bisa membaca buku-buku karya tokoh-tokoh itu hanya sekali klik dalam internet. Jadi bagaimanapun ara ustadz membatasi muridnya untuk mengkaji pemikiran gerakan-gerakan lain, ibaratnya sebenarnya seperti melarang seorang konsumen untuk memilih minuman yang terbaik bagi dirinya, ketika ia berkunjung ke supermarket. Tentu agar konsumen bisa memilih tepat minuman itu, ia harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang manfaat vitamin, kegunaan air bagi tubuh dan lain-lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah pemikiran atau kemajuan Barat. Mengapa mereka begitu melesat maju sekarang ini (terlepas kemajuannya arahnya benar atau tidak)? Karena pemikir-pemikir Barat tidak fanatik buta terhadap pendapat pemikir-pemikir besar pendahulu mereka. Mereka meramu pemikiran Aristoteles, Plato, Aquinas, Hobbes, Adam Smith, Faucault dan lain-lain. Mereka tidak mati-matian mempertahankan pendapat salah satu pemikir mereka, bila ditemui pemikir Barat lainnya yang lebih baik.
Akhirnya ulama besar Hamka dalam Tafsir Al Azhar-nya, memberikan nasihat: “Berapa banyak kita banggakan sejarah, sedikit-sedikit sejarah kebesaran Islam, sejarah ulama Islam, sejarah kemenangan Islam. Dan semuanya itu memang benar, tetapi semuanya adalah bekas usaha ummat yang telah lalu. Kalau mereka beroleh pahala dari usaha itu, tidaklah kita yang datang di belakang ini yang akan menerimanya. Kita hanya menerima bekas dari usaha kita sendiri. Adalah amat membosankan membangga-banggakan zaman yang telah lampau, dari usaha orang lain, sehingga masa hanya habis dalam ceritera, tetapi tidak dapat menunjukkan bukti dan usaha sendiri. Inilah penyakit ummat yang telah masuk ke dalam Lumpur. Kata pepatah ahli syair:
“Orang muda sejati ialah yang berkata: Inilah aku
Bukanlah orang muda sejati yang berkata: Bapakku dahulu begini dan begitu.”
Nuim Hidayat
Alumni Lembaga Dakwah Kampus IPB
[fimadani]