pkssiak.org - Tulisan ini merupakan sambungan terpisah dari tulisan sebelumnya tentang Islam Kaffah. Sejak awal
kelahirannya didunia, manusia sudah dibekali dengan dua sifat dasar
alamiahnya. Keduanya adalah sifat Fujuroha (negatif) dan sifat Taqwa
(positip).
Sebagaimana ini telah difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an surah Asy-Syams ayat 7 dan 8 :
Wa nafsin wama sawwaha, fa alhamaha fujuroha wa taqwaha
Dan Nafs serta penyempurnaannya, dilhamkan kepadanya kefasikan serta ketakwaan…
Kedua sifat
inilah yang pada perjalanan hidup manusia kedepannya akan saling
tarik-menarik didalam dirinya, berebut untuk menjadi unggul dan
mendominasi tingkah laku sehari-hari. Kerasnya persaingan antara sifat
Taqwa dan sifat Fujuroha menciptakan sebuah kondisi yang membentuk
kepribadian seseorang sehingga kadang ia terlihat berubah-ubah.
Tergantung dari situasi dan kondisi.
Sifat Taqwa menjadi unsur kekuatan internal yang dapat mengerucutkan nafsu yang dipengaruhi oleh sifat Fujuroha agar tidak melanggar batas dan menyeleweng dari kebenaran. Aplikasi dari keunggulan sifat Taqwa ini sendiri menurut saya adalah sikap yang tidak mudah berputus asa terhadap sebuah kegagalan usaha dan tidak terlalu merasa gembira pula dengan apa yang sudah ia peroleh. Sebagaimana ini dipesankan oleh Al-Qur’an surah Al-Hadid ayat 23 :
Jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan engkau
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Artinya
manusia harus menghadapi dunia ini dengan cara yang sangat wajar, tidak
tertindas oleh ketidakpunyaan, kerugian, kesengsaraan, kebodohan,
kepincangan berpikir dan sebaliknya tidak larut pula dengan kegemilangan
keberuntungan, prestasi, penghargaan, keberhasilan dan lain sebagainya
dalam bentuk yang melebihi ikatan alamiah sehingga sang manusia dapat
menghadapi berbagai fenomena yang terjadi secara wajar dan sederhana.
Sesungguhnya
sifat Fujuroha yang mendominasi jiwa manusia dapat membuatnya justru
menjadi lupa diri dan bertingkah seolah dia adalah Tuhan yang bisa
berbuat semau-maunya, bisa bertingkah seenaknya saja dengan semua apa
yang ia miliki dari kekayaan, pengaruh atau jabatan yang ia miliki. Dari
sini akan menjalar sikap tamak terhadap dunia dan anti-pati terhadap
kebenaran yang disampaikan oleh orang lain diluarnya.
Betapapun
kaya rayanya diri kita, tetapi bila sikap Fujuroha yang unggul pada kita
maka semuanya hanya akan mendatangkan ketidakpuasan. Begitu kita bisa
memenuhi suatu kebutuhan, pasti akan muncul kebutuhan yang lain, yang
mungkin akan semakin mengobarkan nafsu dan keinginan kita sehingga kita
tidak mungkin lagi mendapatkan ketenangan, merasakan kebahagiaan dan
kepuasan. Kita senantiasa tertindas oleh keinginan untuk memiliki
sesuatu yang dimiliki oleh orang lain tidak perduli bahkan apa yang kita
sudah punyai justru terkadang lebih baik dan mahal darinya.
Inilah
pertempuran diri yang tidak semua kita bisa melewatinya dengan
kemenangan ditangan, bahkan tidak juga seorang ustadz dan ustadzah serta
kyiai kondang atau pengajar al-Qur’an disebuah surau yang terletak
dipedalaman. Tidak pula selalu berhasil dimenangkan oleh para
cendikiawan dan tokoh nasional. Inilah Jihad al-Nafs yang harus dihadapi
dengan semua akal sehat dan kebulatan tekad untuk menjadi bisa tanpa
harus mengebiri atau memasung fitrah-fitrah insaniah kita yang lain.
Jihad al-Nafs adalah jihad terakbar dari jihad apapun diluarnya, sebab
memang semua cabang-cabang jihad lainnya itu bersumber dari hasil jihad
al-Nafs ini.
Islam
melarang umatnya untuk bersifat pasif, menutup dirinya dari unsur-unsur
kehidupan dunia yang gemerlap dan penuh keindahannya. Islam tidak
mengajarkan pengikutnya untuk menenggelamkan diri dalam siksaan
kefitrahannya demi mencapai pendekatan maupun pelayanan kepada Tuhannya.
Oleh karena itu didalam Islam tidak ada konsep kerahiban, tidak ada
biara-biara ditengah hutan yang ditinggali oleh ahli agama yang menolak
kawin dan menyepi berselimutkan pepohonan dan suara alam yang stagnan.
Islam tidak
pula berprinsip seperti komunitas hedonis yang menganggap diri punya hak
penuh tanpa batas untuk menikmati kesenangan dan kenikmatan hidup.
Mereguk apa yang ingin ia reguk dan melepaskan seluruh keinginannya
dijalan mana saja yang ingin dia lalui. Islam justru tidak menyukai
konsep hidup yang sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan yang mengatur hak
dan tanggung jawab seseorang atas pilihan hidupnya.
Bagi Islam,
hidup ini suci, peperangan antara Fujuroha dan Taqwahapun adalah perang
yang suci. Manusia dimata Islam harus hidup dengan dua sisi yang penuh
keseimbangan. Bisa memisahkan apa yang harus ia ambil dan mana-mana yang
harus ia tinggalkan. Kesadarannya terbuka bebas dan tidak tercekik oleh
berbagai larangan tetapi tidak pula hancur dibawah kaki naluri
keserbabolehan.
Islam
memperbolehkan manusia untuk memenuhi keinginannya agar memperoleh
sesuatu yang memang ia dambakan selama itu tidak melakukan kejahatan
atas tubuh, akal dan kehidupan dirinya atau kehidupan orang lain.
Dengan kata lain, Islam merupakan hak dan tanggung jawab.
Jadi apapun yang kita perbuat, baik berkorelasi secara langsung maupun tidak terhadap agama dan keyakinan yang kita anut semuanya tetap terkontrol dibawah nash-nash ilahiah yang mengikat.
Jadi apapun yang kita perbuat, baik berkorelasi secara langsung maupun tidak terhadap agama dan keyakinan yang kita anut semuanya tetap terkontrol dibawah nash-nash ilahiah yang mengikat.
Itulah Kaffah.
Semua gerak
langkah kita, tidur dan jaga kita, lisan maupun batin kita, berumah
tangga sampai berorganisasi, berekonomi maupun berpolitik, berpendidikan
maupun berkarya harus secara Islam. Tidak ada bantahan yang mampu
menghancurkan sistem yang saling terintegrasi ini.
Salah
seorang Ahli Bait Nabi yaitu Imam Ja’far Ash-Shadiq pernah berkata :
“Sesungguhnya Allah tidak memberikan suatu kenikmatan atas seseorang
hamba kecuali didalam kenikmatan itu disertakan-Nya argumentasi yang
jelas. Sehingga barangsiapa yang memperoleh anugerah Allah lalu dirinya
menjadi kuat, maka argumentasi logis dari nikmat kekuatan yang
diterimanya tersebut harus digunakan untuk membantu yang lebih lemah.
Barangsiapa yang dianugerahi oleh Allah menjadi kaya, maka hartanya
harus menjadi bukti atas anugerah tersebut yakni dengan melaksanakan
kewajiban-kewajiban kepada kaum fakir miskin”.
Pendek kata, semua tarikan nafas dalam kehidupan ini semuanya terikat dengan garis Allah. Baik kita suka atau tidak suka.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-An’am [6] :162)
Tidak dapat
dipungkiri kalau banyak manusia berlaku ingkar terhadap hak dan
kewajibannya itu. Ini akibat terlalu mendominasinya sifat Fujuroha
didalam dirinya sehingga ia terus berada diluar jalur kebenaran. Maka
menjadi tugas orang-orang yang tingkat Taqwanya sedikit lebih diatas
dari sifat Fujurohanya untuk membimbing, menyelaraskan dan mengembalikan
nilai-nilai ilahiah dalam tatanan kehidupan. Seorang Muslim yang baik
harus mampu berperan menjadi Avatar bagi dunia sekitarnya yang sudah
kacau balau. Tidak ada kata terlambat, karena harapan itu masih ada.
Kita masih bisa berbuat banyak dan lebih dengan apa yang kita miliki, mulai dari ilmu, pikiran, tulisan, tenaga maupun doa.
Biarlah
setiap kita menjadi Avatar dengan kemampuannya masing-masing asalkan
semua kemampuan ini bisa saling bersinergi satu dengan yang lain.
Manusia adalah pencipta perubahan. Penderitaan maupun kesenangan yang
dialami manusia, muncul dari perbuatan-perbuatan sadar yang dilakukan
oleh manusia, baik individual atau komunal. Manusia sendirilah yang
menciptakan sedih dan bahagianya melalui penciptaan sebab-sebabnya dalam
kehidupan, dari kehendak dan pilihan yang telah diperbuat.
Oleh karena
setiap dari kita tidaklah bisa hidup sendirian tanpa bergantung pada
orang lain, maka Islampun mengatur aspek vertikal dan horizontal. Aspek
hamba terhadap Tuhannya serta hamba terhadap hamba-Nya. Inilah sebuah
system yang tidak berbatas dari Islam. Mengatur semua lini kehidupan,
lahir dan batin, perseorangan sampai bernegara.
Tidak ada
pemisahan antara kubu agama dengan kubu negara karena Islam adalah alam
semesta, Islam adalah kaitan antara hidup dan mati, tugas dan tanggung
jawab. Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah mahdhah yang melulu
berbicara soal akhirat dan upacara-upacara ritual ketuhanan yang
bersifat abstrak saja tapi Islam berbicara juga tentang dunia dan
kehidupan nyata yang dapat disentuh, dirasakan serta dilihat.
Sekali lagi, itu juga disebut Kaffah.
Langsung masuk kita pada konteks pembicaraan ideologi Islam dikehidupan masyarakat Islam, khususnya Indonesia.
Sebagian orang menggambarkan ideologi Islam akan terealisasikan dialam
realita jika berdiri seorang pemimpin, raja, khalifah, presiden, amir,
imam atau terserahlah apa saja jabatan itu anda namakan yang menjadikan
Islam sebagai dasar kehidupan berbangsa.
Dengan
kekuasaannya, sang pemimpin tadi digambarkan akan dapat mengeluarkan
dekrit, undang-undang, keppres, sabda panditoratu dan lain sebagainya
demi terwujudnya ideologi Islam yang diharapkan.
Gambaran ini
tidak salah dan juga tidak terlalu muluk-muluk, apalagi jika kita
berbicara dalam pentas negara Indonesia yang konon mayoritas
masyarakatnya Muslim.
Tetapi kita
sering melalaikan realita penting pada aspek pendefenisian dari ideologi
atau masyarakat Islam itu sendiri, apa dan bagaimana maksudnya ? juga
kita melalaikan aspek kadar kerusakan yang sudah ditimbulkan oleh kaum
kapitalis ditengah masyarakat yang majemuk ini. Belum lagi kelalaian
kita terhadap kemampuan dan kemauan sang raja, presiden atau pemimpin
yang sudah kita pilih tadi untuk tetap istiqomah serta sanggup
melakukannya.
Saya yakin, banyak yang bosan, mual atau muak dengan kalimat proses, bertahap atau periodeisasi.
Bisa dimaklumi, namun kita tetap harus berpijak pada kenyataan yang
berlaku didepan mata kita bukan berpijak pada egoisme diri yang penuh
mimpi dan jauh dari realitas.
Pemimpin
yang baik dalam kacamata Islam, bukan hanya orang yang sekedar
mencanangkan teori kembali pada al-Qur’an dan sunnah semata, atau orang
yang merayakan hari-hari besar agamanya, menyerukan toleransi antar umat
beragama. Namun seorang pemimpin harusnya juga bisa menganjurkan orang
Islam untuk mendirikan sholat, menunaikan dzakat, berpuasa dibulan
Ramadhan serta memberikan hukuman bagi yang meninggalkannya. Seorang
pemimpin harus pula mampu menjadi imam didalam sholat yang ia ikuti,
aktive dalam menjaga kemurnian akidah dan moralitas umat serta
bangsanya.
Bukan malah
pemimpin yang membiarkan adanya acara-acara saweran dangdutan,
iklan-iklan dengan gadis berpakaian minim, lagu-lagu dengan irama, lirik
dan vokal penuh birahi, kontes ratu sejagad, miss universe atau
legalisasi penerbitan majalah porno ala playboy dan kawan-kawannya yang
secara nyata-nyata merusak akhlak generasi muda bangsa terlebih umat
Islam yang memegang teguh prinsip al-Qur’an.
Memang pemerintahan kita belum sepenuhnya bisa mengaplikasikan hukum-hukum ilahiah secara kaffah, tetapi marilah kita duduk bersama membenahi pemerintahan tersebut secara bertahap, tidak mudah untuk merubah sesuatu yang sudah mapan, namun paling tidak kita sudah bisa sedikit berbangga dengan mulai dimasukkannya beberapa syariat Islam didalam hukum-hukum kenegaraan di Indonesia, misalnya mulai dari hukum perkawinan Islam kedalam UU perkawinan negara yang meskipun sempat menuai pro dan kontra pada masa lalu tetapi toh berhasil di-gol kan, atau dengan diakuinya serta dibebaskannya pemberlakuan hukum-hukum Islam untuk wilayah NAD, begitupula rancangan anti porno aksi dan pornografi yang cepat atau lambat segera pula disyahkan ditengah gelombang pro dan kontranya dan sebagainya.
Dalam
merubah paradigma serta tabiat jahat bin jahiliah dari manusia, pasti
diperlukan waktu yang tidak singkat, even seorang Rasul sekelas Nabi
Muhammad pun membutuhkan rentang waktu lebih dari angka 20 tahunan
ditambah oleh tahun-tahun kepemimpinan dimasa Umar bin Khatab untuk
membentuk sebuah masyarakat yang madani sesuai peraturan ilahiah. Dan
kita, mungkin perlu dua kali atau tiga kalinya dari masa-masa tersebut.
Saya hanya
menyeru, mari kita contoh pula bagaimana sikap Imam Hasan bin Ali
cucunda Rasul yang bersedia berdamai dengan pihak Muawiyah bin Abu
Sofyan yang meminta paksa kekuasaan khilafah dari diri Ahli Bait Rasul
selama keselamatan dan hak-hak kaum Muslimin terjaga meski masih dalam
batas-batas tertentu. Akan ada saatnya kelak kita mencontoh sikap Imam
Husien bin Ali yang juga cucunda Rasul ketika mengangkat senjata untuk
memerangi kemungkaran dari pemerintahan Yazid bin Muawiyah meski tubuh
harus berkalang tanah.
Tetapi
selama kita masih bisa menggunakan jalan-jalan damai, cara-cara yang
arif untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, maka mari kita tempuh cara
itu, demi menghindari jatuhnya korban dari anak-anak, wanita dan
orang-orang kecil.
Negara ini masih sangat perlu untuk ditata dan diperbaiki, dan sesuai semboyan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) : Harapan itu masih ada.
Bagaimana caranya ?
Tidak ada jalan lain kecuali dengan masuk kedalam sistem dan ikut
memberikan perbaikan dari dalam no matter how hard to try and how long
it will be.
Just do it as long as we can do.
Just do it as long as we can do.
Faidza
‘Azzamta fa tawakkal ‘alallah. Jika kamu sudah berusaha, maka
serahkanlah pada Allah. Just do the best and leave the rest to Allah.
Pengeroposan
moral ditengah masyarakat yang seakan tidak lagi terbendung memerlukan
tangan-tangan dieksekutif untuk dapat menghentikannya, begitupula
aksi-aksi pemurtadan baik terselubung atau terang-terangan. Ini semua
harus diselesaikan satu persatu dan bukan hal yang mudah.
Halangan
pasti akan selalu ada, sebab ada banyak manusia dengan kecenderungan
sifat Fujurohanya yang pasti tidak akan senang dengan usaha-usaha
perbaikan ini. Taburan uang untuk dikorupsi pasti akan terus mengintai,
begitu pula tawaran paha mulus dada tak berbulu dari para pelacur
murahan akan senantiasa mencoba menggugah birahi-birahi keimanan
Taqwwaha. Tetapi sekali lagi, ini tidak menjadi alasan untuk mundur
kebelakang dan meninggalkan peradaban. Iman justru ada karena setan yang
menggoda. Itulah hidup yang mesti dilalui.
Imam Ali bin Abu Thalib berkata : ” Kesabaran itu ada dua macam : sabar atas sesuatu yang tidak kau ingini dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kau ingini. Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi, senangilah apa yang terjadi. Para ahli agama yang paling bijak adalah mereka yang tidak membuat orang berputus asa akan rahmat Allah atau kehilangan harapan akan santunan dan kasih sayang-Nya, tetapi juga tidak membuat orang terus menerus merasa aman dari pembalasan-Nya.” (Sumber : Mutiara Nahjul Balaghah, Hal 124 s/d 126, Mizan 1999)
Innal Hamdalillah
Nahmaduhu wanasta’inuh
Mayyahdillahu fala mudlilalah
Wamayyudlil fala hadiyalah
Segala Puji bagi Allah
Baik saya maupun anda semua sama-sama memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya
Siapa yang diberi-Nya petunjuk, maka tidak ada seorangpun yang kuasa menyesatkannya kembali
Dan siapa saja yang sudah diberi-Nya kesesatan, maka tiada seorang juga yang mampu memberi petunjuk kepadanya
Hidup memang
tidak mudah … baik hidup secara individu apalagi hidup secara
berkelompok atau berjemaah, demikian pula dalam menjalani hidup didalam
mahligai rumah tangga. Hidup tidak pernah berjalan tanpa masalah … baik
dalam skala kecil maupun besar.
Masing-masing
manusia, terlepas dari siapapun adanya dia, mulai dari manusia biasa,
awam, rakyat jelata hingga kepada para Nabi dan Rasul Tuhan terikat
dengan apa yang disebut sebagai kausalitas. Bahwa ada moment-moment
dimana dia terpaksa bersedih dan menitikkan air mata, adapula moment
dimana dia bisa tertawa lepas bahagia.
Konflik dan
kesepakatan juga menjadi bagian dari proses hidup dan kehidupan, tidak
ada manusia yang tidak pernah berkonflik didalam hidupnya dengan
siapapun termasuk dengan orang tua atau pasangannya masing-masing, entah
itu antar suami dengan istri atau antar dua pasang kekasih maupun
sahabat, begitupun semua dari kita pasti pernah bahkan sering melakukan
kompromi, bersepakat dengan orang lain, mulai dari hal yang paling kecil
sampai pada hal yang paling besar.
Semuanya
menandakan hidup kita berjalan dengan normal … berjalan sesuai aturan
yang sudah ditetapkan oleh Allah, menyetujui fitrah kemanusiawian kita.
If a wound hath touched you, be sure a similar wound hath touched the others. And such days WE cause to alternate among men that they may be admonished, and that ALLAH may cause to be distinguished those who believe and may take witnesses from among you; and ALLAH loves not the unjust – Qs. 3 ali Imron 140
Jika engkau mendapatkan keterlukaan (kekecewaan, kepedihan, kehancuran) maka ketahuilah bahwa hal yang samapun terjadi pada orang lain, karena hari-hari tersebut sudah Kami gilirkan diantara manusia untuk menjadi pembelajaran. Dengan sebab itulah Allah membedakan siapa diantara kalian yang benar-benar beriman dan membenarkan kesaksiannya, Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang berlaku zalim. – Qs. 3 ali Imron 140
Semakin tinggi tingkatan kemampuan
yang dimiliki oleh seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat
ujian keimanannya … kemampuan disini tentunya bisa menjadi sangat
beragam … jika sebelumnya dia hanya diuji dengan kemiskinan bisa saja
kelak dia akan diuji dengan kekayaan, bila sebelumnya dia diuji dengan
harta mungkin kelak dia akan diuji dengan wanita … bila sekarang diuji
dengan bahagia mungkin besok atau lusa akan mendapat ujian dengan
penderitaan…. saat ilmu seseorang (ilmu apa saja) meningkat kepada yang
lebih baik dari sebelumnya … maka ujian atas ketinggian ilmunya
tersebutpun akan jauh lebih tinggi pula dari sebelumnya …
Keberadaan berbagai ujian tersebut kiranya bukan tanpa maksud …
Ada hikmah
yang tersembunyi dari pergiliran siang dan malam, gagal dan berhasil,
susah dan senang, bahagia dan derita … yaitu sesuai isi dari surah ali
Imron ayat 140 diatas, agar semua itu bisa menjadi pembelajaran untuk
diri kita sendiri sekaligus membuktikan komitmen syahadat kita terhadap
Allah dan Rasul-Nya, apakah kita memang pantas untuk naik kelas ataukah
masih harus bertahan dikelasnya yang lama, yang berarti menurut Rasul
adalah kelasnya manusia yang merugi, yaitu mereka yang hari ini sama
seperti hari sebelumnya, hari esok sama seperti hari ini … yang lebih
jauh lagi menurut al-Qur’an adalah kelasnya orang-orang yang tidak
pandai dalam melakukan efisiensi waktu.
Demi Waktu … sesungguhnya manusia itu benar-benar ada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan melakukan amal shaleh serta saling menasehati agar selalu taat pada kebenaran dan berada dalam kesabaran – Qs. 103 al-Ashr 1 s/d 3
Hidup ini merupakan ibadah … dan karenanya kita tercipta.
Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. – Qs. 51 adz-DZaariyaat 56
Ibadah tidak
selalu bermakna ritual seperti sholat, haji dan berzakat … ibadah
mencakup semua aspek gerak maupun diamnya kita … hidup adalah berdzikir
…berdzikir baik secara lafash maupun tingkah laku … tugas kekhalifahan
manusia itu merupakan ibadah yang harus ditunaikan sebagai sebuah amanah
dari Allah … kita semua khalifah atas diri kita masing-masing …kitapun
bisa bertindak menjadi khalifah atas orang lain saat kita mendapat
kepercayaan memimpin sebuah komunitas, sebuah jemaah atau sebuah
organisasi maupun perusahaan.
Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggung jawaban mengenai kepemimpinannya itu.; maka seorang pemimpin yang memimpin orang banyak adalah pemimpin yang diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya tersebut. Dan istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Dan anak adalah pemimpin pada harta yang ada dirumah bapaknya, dan ia bertanggung jawab atas penjagaannya itu; dan hamba sahaya adalah pemimpin dalam harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas penjagaannya itu. – Riwayat Bukhari-Muslim
Suka atau
tidak suka, rela atau terpaksa kita akan berhadapan dengan perbedaan,
kita akan berkonflik baik secara internal maupun eksternal.
Tidak semua
yang ada dan yang keluar dari diri kita bernilai benar dan harum, kita
bukan sosok malaikat yang bersifat statis, hanya mengerti mengenai
kebenaran saja … kita adalah perpaduan unik dari unsur-unsur al-Haq dan
Batil yang karenanya kitapun sewajarnya untuk mawas diri, berlaku bijak
atas berbagai persoalan yang ada.
Kita harus
adil sekalipun adil itu berat, melelahkan bahkan menjemukan … adil bukan
berarti harus sama persis antara satu dengan yang lain …. sebagai
misal, saya punya dua orang anak, yang besar lelaki berusia hampir 3
Tahun dan yang paling kecil wanita berusia 5 bulan … akan menjadi sebuah
perbuatan yang tidak adil bila saya membelikan keduanya susu yang sama …
sebab memang nutrisi dan kebutuhan kandungan yang mereka butuhkan
berbeda, anak saya yang laki-laki karena usianya lebih tua, aktivitasnya
lebih banyak dia membutuhkan asupan gizi dengan susu yang berlabel 3+
keatas …sementara adiknya karena masih bayi lebih memerlukan asupan susu
formula yang khusus untuk 1 tahun kebawah…. dan bila saya memberikan
keduanya sesuai kebutuhan mereka maka itulah adil.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya -Qs. an-Nisa’ 4:135
Oleh : AS
[pkspadang]