Dalam
dunia olahraga kita sangat mengenal istilah sportivitas dan fairplay.
Dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya, baik itu pemain, pengurus
serta badan/lembaga yang menaungi cabang olahraga tersebut harus
mematuhi aturan yang telah ditetapkan/disepakati bersama. Jika terjadi
pelanggaran maka pihak yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi atau
hukuman. Jadi semua pihak diharapkan bisa menjaga dan menjunjung tinggi
sikap sportivitas dan fairplay ini.
Demikian
juga dengan pemberitaan oleh media massa. Sikap sportivitas dan
fairplay juga sangat diperlukan. Agar berita atau informasi yang
disajikan kepada khalayak dapat dipertanggungkjawabkan, baik secara
jurnalistik maupun moral (sosial). Jangan saampai terjadi tindakan
"trial by the press" atau peradilan dengan menggunakan media massa.
Yaitu sebuah istilah dalam bentuk peradilan yang dilakukan dengan
menggunakan tulisan atau pembicaraan dari satu pihak secara bias, untuk
kemudian dipublikasikan secara luas baik secara sadar ataupun tidak,
dengan membeberkan keseluruhan fakta yang ada, sehingga menjadikan
penulisan atau pembicaraan tersebut tidak lagi berimbang.
Tidak
sportif dan fair-nya pemberitaan oleh media bisa dilihat dari beberapa
peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Contoh yang paling anyar
adalah ketika menulis atau mengangkat isu tentang PKS. Alangkah sedihnya
saya ketika membuka sebuah website/situs yang menggunakan nama Islam,
namun isi dari website tersebut (maaf) menurut saya tidak mencerminkan
watak/karakter yang Islami. Rata-rata tulisan yang berkenaan dengan
PKS, baik dari segi judul maupun isinya bernada "miring" semua, bahkan
cenderung tendensius. Belum lagi ditambah dengan komentar-komentar yang
diberikan terhadap tulisan-tulisan tersebut. Begitu mudah dan
gamblangnya mereka menuding, menuduh serta memvonis PKS. Seolah-olah PKS
adalah sekelompok orang jahat yang harus dimusuhi dan kalau perlu
dibasmi sampai ke akar-akarnya. Astaghfirullahal 'adzim...
Saya
tidak tahu siapa sesungguhnya pemilik dari website tersebut, dan disini
saya pun tidak mau menduga-duga. Akan tetapi bila menilik dari nama
website, rubrik serta tulisan-tulisan yang dimuat di sana saya yakin
kalau website tersebut adalah milik salah satu kelompok dari umat Islam.
Jika saja yang melakukan hal ini adalah media massa non Islam (sekuler)
mungkin saya tidak akan sesedih ini. Karena saya juga tahu dan sangat
mengenal bagaimana karakteristik dari media-media non Islami (sekuler)
tersebut. Namun karena yang melakukannya adalah sebuah website/situs
yang mengatasnamakan Islam , maka kesedihan saya pun semakin
bertambah-tambah. Hanya saja disini saya juga tidak tahu pasti apa
tujuan dan kepentingan mereka. Yang jelas menurut kacamata saya,
website/situs "Islami" ini hampir sama saja dengan media/website/situs
non Islami lainnya, apabila isu sentralnya adalah PKS. Sungguh sangat
jauh dari sikap sportivitas dan fairplay...
Dalam
ilmu komunikasi, media massa mempunyai beberapa
tujuan/kepentingan/fungsi. Menurut UU No. 40/1999 tentang Pers,
disebutkan fungsi media massa itu ada 4 :
1. Menginformasikan (to inform),
2. Mendidik (to educate),
3. Menghibur (to entertain), dan
4. Pengawasan sosial (social control)
Fungsi
pertama, menginformasikan (to inform). Disini media massa bertugas
menyampaikan informasi/berita kepada masyarakat mengenai berbagai hal
atau peristiwa yang sudah dan/atau sedang terjadi. Seperti saat ini,
misalnya berita tentang PKS yang "terkait" dengan kasus dugaan suap
impor daging sapi yang melibatkan mantan Presidennya, Ustadz Luthfi
Hasan Ishaaq (LHI). Media yang bijak adalah menulis, menyebarkan dan
menyampaikan berita yang terjadi sesuai dengan fakta di lapangan, tanpa
ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan. Beberkan fakta yang ada,
baik itu benar atau salah. Jangan cuma menulis berita yang buruk atau
negatifnya saja, namun mengenyampingkan berita yang baik atau
positifnya.
Dalam
kasus yang menimpa LHI (PKS) saat ini, media seringkali bertindak pilih
kasih alias memilih-milih moment dalam pemberitaannya. Misalnya,
kesaksian Ahmad Fathanah dalam persidangan di pengadilan Tipikor
(17/5/2013). Di sana Fathanah menyatakan bahwa uang 1M yang dibawanya
bukan untuk LHI dan semua rencana yang terkait dengan urusan impor
daging sapi adalah murni atas inisiatifnya sendiri, tanpa ada campur
tangan LHI sedikitpun. Kemudian pernyataan Fathanah yang dikuatkan juga
oleh Ayu Azhari, bahwa beliau bukanlah kader dan pengurus PKS (bahkan
seusai sidang Fathanah sempat menyampaikan permintaan maafnya kepada
PKS), juga tentang proses penyitaan mobil-mobil LHI di halaman DPP PKS,
lalu isu pemutarbalikkan fakta mengenai pemukulan wartawan oleh satgas
PKS, serta pernyataan beberapa pengamat senior tentang rancunya
pengalihan kasus dugaan suap menjadi Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU). Semua fakta ini hampir tak ada yang mem-publish atau
memberitakannya. Semua media seakan menutup mata dan telinga mereka.
Alangkah naifnya...
Sangat
berbeda sekali sikapnya sewaktu terjadi penangkapan Fathanah di akhir
Januari silam, dimana LHI disebut-sebut juga tertangkap tangan (OTT)
oleh KPK. Padahal faktanya tidak demikian, LHI tidak berada di TKP saat
kejadian berlangsung. Pun ketika beberapa nama wanita, baik yang diduga
terkait dengan Fathanah maupun LHI diangkat ke permukaan, media
beramai-ramai menjadikannya sebagai headline news. Bahkan ada salah satu
media sosial yang mengangkat isu ini dengan sangat vulgar, tanpa
melakukan cek dan ricek terlebih dahulu. Langsung menghajar LHI dan PKS
tanpa tedeng aling-aling alias melakukan tindakan "trial by the press".
Hampir semua media langsung mengadili dan menjatuhkan vonisnya kepada
LHI dan juga PKS. Padahal dalam pengadilan yang sebenarnya, kasus ini
masih dalam proses, belum ketahuan benar-salahnya. Menurut saya, fungsi
pertama ini kurang dijalankan media secara maksimal, karena banyak
informasi yang sampai kepada masyarakat tidak seperti apa adanya.
Fungsi
kedua, mendidik (to educate). Dalam menyajikan sebuah berita, media
sangat dianjurkan untuk memperhatikan unsur ini. Dimana berita atau
informasi yang diberikan haruslah mengandung nilai yang baik (positif),
sehingga dapat mendorong orang untuk berbuat baik pula atau memiliki
pengetahuan yang positif terhadap apa yang dibaca/ditontonnya. Kalaupun
mau melakukan penggiringan opini, hendaklah dipikirkan apakah berita
atau informasi yang akan disampaikan sudah benar, ataukah masih
"remang-remang", bersifat cuma dugaan saja, yang mengambil sumbernya
tidak dari dua sisi (cover both side), sehingga akan menimbulkan banyak
interpretasi? Dan bila memiliki data atau nara sumber (narsum), maka
harus menyertakan/menyebutkan data yang valid dan narsum yang kredibel.
Bukan hanya berdasarkan katanya...katanya...dan katanya...sehingga opini
yang berkembang di masyarakat pun tidak liar dan melenceng kemana-mana.
Dalam
kaitannya dengan kasus yang menimpa PKS, pelajaran atau hikmah apa yang
bisa diambil oleh banyak pihak? Saya menilai, bahwa fungsi inipun tidak
bisa dijalankan media secara benar bahkan cenderung diabaikan. Karena
begitu banyaknya pemelintiran berita yang dilakukan oleh media terhadap
berbagai masalah dalam kasus suap ini. Beberapa contohnya seperti yang
sudah saya sebutkan diatas. Namun sayangnya media tidak mau tahu, opini
publik digiring sedemikian rupa sehingga akhirnya semua sampai pada satu
kesimpulan yang sama : PKS bersalah, PKS partai korup, PKS doyan
perempuan dan lain sebagainya. Lantas, dimakah letak fungsi
pendidikannya?
Fungsi
ketiga, menghibur (to entertain). Dalam kasus yang menerpa PKS saat
ini, saya kurang memahami dimana letak nilai entertain-nya. Barangkali
berita tentang para wanita serta beberapa selebritis yang dikait-kaitkan
dengan Fathtanah dan LHI itulah menurut saya yang mungkin bisa dianggap
"menghibur", paling tidak bagi sebagian orang yang memang menyukai
hal-hal seperti itu. Atau mungkin juga karena kejenuhan masyarakat akan
kasus yang masih belum jelas muaranya ini, maka "sengaja" dimunculkanlah
isu wanita-wanita tersebut. Karena dianggap memang masih memiliki nilai
jual yang lumayan bagus bagi beberapa media, terutama televisi.
Fungsi
keempat, pengawasan sosial (social control). Tugas media adalah
melakukan kontrol sosial, baik itu kepada pemerintah maupun kepada
masyarakat luas. Pengawasan/pengendalian sosial ini memiliki beberapa
tujuan, antara lain agar masyarakat mematuhi nilai dan norma sosial yang
berlaku., agar tercipta keserasian dan kenyamanan dalam masyarakat,
agar pelaku penyimpangan kembali mematuhi norma yang berlaku (Bruce J
Cohen).
Dalam
kaitannya dengan kasus PKS, pengawasan sosial yang dilakukan oleh media
adalah bisa ditujukan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Yaitu PKS, KPK, dan media itu sendiri. Untuk PKS, apabila nanti terbukti
"bersalah" maka semua pengurus dan kader PKS harus legowo menerimanya,
meminta maaf dan berusaha untuk memperbaiki diri agar tidak terulang
lagi di masa yang akan datang. Untuk KPK, agar bisa bertindak sesuai
dengan kewenangannya, tidak melakukan tindakan "abuse of power"
(penyalahgunaan wewenang) serta tidak juga bersikap tebang pilih
terhadap kasus-kasus yang sedang/akan ditanganinya. Sedangkan untuk
media itu sendiri, harus mematuhi kode etik jurnalistik dan tetap fokus
kepada fungsi (tujuan)nya, dengan menyajikan berita itu secara apa
adanya, akurat, dan terpecaya tanpa mengada-ada atau mendramatisir
masalah.
Saya
yakin dan percaya, bahwa dalam hal ini PKS tak minta dibela oleh media.
Akan tetapi berlaku sprotif dan fair itulah yang diminta, katakan yang
benar itu benar dan yang salah itu salah...