Oleh : Abu Jasy
Acara dialog "Quo Vadis Indonesia" yang dibawa pembawa acara Tudung
Mulya Lubis pada hari Kamis, 30 Mei 2013. Mengupas masalah TPPU
(Tindakan Pidana Pencucian Uang) yang dihadiri oleh beberapa narasumber,
salah satunya adalah Abraham Samad, Ketua KPK.
Abraham Samad menjelaskan bahwa TPPU tidak bisa ditetapkan sebelum terdapat Predicate Crime (terpisah dari tindak pidana asalnya) terlebih dahulu.
Penjelasan Abraham Samad ini juga pernah menjadi pertanyaan yang sengit dari Karni Ilyas dalam acara ILC (Indonesian Lawyer's Club).
Tiga kali Karni Ilyas bertanya kepada juru bicara KPK, Johan Budi. Mengenai sangkaan dalam predicate crime yang dialamatkan kepada LHI (Luthfi Hasan Ishaaq).
Tiga kali pertanyaan, Karni Ilyas, tidak ada satupun jawaban Johan Budi yang memberikan keterangan mengenai predicate crimenya yang bisa ditetapkan pasal TPPU kepada LHI.
Pernyataan Abraham Samad dalam dialog Quo Vadis tersebut tentunya telah menambah daftar panjang mengenai penyalahgunaan kekuasaan KPK yang dengan otoriter menangkap seseorang tanpa bukti dan dakwaan yang jelas.
KPK telah menjadi lembaga tirani baru dalam pemerintahan Indonesia. Jika dalam masa Orde baru, tuduhan Subversif adalah pasal pokok utama dalam penangkapan lawan politik, kini dijaman era reformasi tirani itu kembali dalam wajah baru, yaitu tuduhan korupsi.
Jika dulu mahasiswa dan beberapa orang yang kritis terhadap pemerintahan, maka akan ditangkap dengan alasan subversif, dan saat itu semua menentang mengenai UU otoriter tersebut.
Tetapi kini kita semua terlena dengan sebuah lembaga negara yang mempunyai kekuatan super body dari lembaga negara yang lain. KPK, lembaga tirani baru. Karena tidak ada lembaga apapun dan kekuatan lain yang mampu menjatuhkan sanksi jika KPK melakukan kesalahan, lebih-lebih dengan para petingginya yang melakukan kesalahan.
Pada sesi tanya jawab dalam acara tersebut, seorang mahasiswa bertanya mengenai tersangka kasus Hambalang yang sudah lama menjadi tersangka tetapi masih bebas berkeliaran.
Lagi-lagi Abraham Samad melemparkan kesalahan dan tanggung jawab kepada BPK, yang dianggap belum 50% menyelesaikan audit kerugian negara pada kasus Hambalang.
Abraham Samad beralasan apabila menahan tersangka Hambalang yang belum selesai di audit BPK dalam besaran kerugian negara, ditakutkannya tersangka Hambalang akan bebas dalam masa 30 hari
penahanannya, lantaran belum selesainya berkas-berkas penyelidikan tersebut.
Abraham Samad menjelaskan bahwa TPPU tidak bisa ditetapkan sebelum terdapat Predicate Crime (terpisah dari tindak pidana asalnya) terlebih dahulu.
Penjelasan Abraham Samad ini juga pernah menjadi pertanyaan yang sengit dari Karni Ilyas dalam acara ILC (Indonesian Lawyer's Club).
Tiga kali Karni Ilyas bertanya kepada juru bicara KPK, Johan Budi. Mengenai sangkaan dalam predicate crime yang dialamatkan kepada LHI (Luthfi Hasan Ishaaq).
Tiga kali pertanyaan, Karni Ilyas, tidak ada satupun jawaban Johan Budi yang memberikan keterangan mengenai predicate crimenya yang bisa ditetapkan pasal TPPU kepada LHI.
Pernyataan Abraham Samad dalam dialog Quo Vadis tersebut tentunya telah menambah daftar panjang mengenai penyalahgunaan kekuasaan KPK yang dengan otoriter menangkap seseorang tanpa bukti dan dakwaan yang jelas.
KPK telah menjadi lembaga tirani baru dalam pemerintahan Indonesia. Jika dalam masa Orde baru, tuduhan Subversif adalah pasal pokok utama dalam penangkapan lawan politik, kini dijaman era reformasi tirani itu kembali dalam wajah baru, yaitu tuduhan korupsi.
Jika dulu mahasiswa dan beberapa orang yang kritis terhadap pemerintahan, maka akan ditangkap dengan alasan subversif, dan saat itu semua menentang mengenai UU otoriter tersebut.
Tetapi kini kita semua terlena dengan sebuah lembaga negara yang mempunyai kekuatan super body dari lembaga negara yang lain. KPK, lembaga tirani baru. Karena tidak ada lembaga apapun dan kekuatan lain yang mampu menjatuhkan sanksi jika KPK melakukan kesalahan, lebih-lebih dengan para petingginya yang melakukan kesalahan.
Pada sesi tanya jawab dalam acara tersebut, seorang mahasiswa bertanya mengenai tersangka kasus Hambalang yang sudah lama menjadi tersangka tetapi masih bebas berkeliaran.
Lagi-lagi Abraham Samad melemparkan kesalahan dan tanggung jawab kepada BPK, yang dianggap belum 50% menyelesaikan audit kerugian negara pada kasus Hambalang.
Abraham Samad beralasan apabila menahan tersangka Hambalang yang belum selesai di audit BPK dalam besaran kerugian negara, ditakutkannya tersangka Hambalang akan bebas dalam masa 30 hari
penahanannya, lantaran belum selesainya berkas-berkas penyelidikan tersebut.
Jawaban Abraham Samad itu langsung membuat mahasiswa yang bertanya kecewa.
Melihat jawaban ketua KPK, yang melemparkan tanggung-jawab kepada BPK. Hal ini sudah pernah disanggah pihak BPK sendiri, bahwa otoritas BPK tidak mempunyai kewenangan dalam hal penyidikan, karena kewenangan menahan ada di penyidik lembaga hukum, baik penyidik Polri, Kejaksaan maupun KPK, karena itu BPK tidak ada kaitannya dengan penahanan.
Jawaban Abraham Samad mengenai kasus Hambalang ini kontras sekali dengan kasus impor daging sapi.
LHI yang belum pernah diperiksa KPK, langsung ditetapkan menjadi tersangka dan ditangkap di kantor DPP PKS. LHI dituduh tertangkap tangan menerima suap, padahal LHI tidak terbukti menerima uang pada saat penangkapan Ahmad Fathanah yang dilakukan oleh petugas KPK.
Sebelumnya LHI dituduh menyalah-gunakan kekuasannya untuk mempengaruhi Mentan, Suswono. Guna menyetujui impor daging sapi. tetapi ketika tuduhan itu tidak terbukti, KPK langsung mengalihkan pada pasal TPPU. Padahal para pengamat hukum dan pakar hukum dan juga Abraham Samad sendiri telah mengatakan bahwa TPPU hanya bisa dikenakan apabila sudah terdapat predicate crime-nya.
Tetapi LHI sendiri masih tidak diketahui mengenai predicate crimenya, dan KPK dengan kekuasaan otoritarianismenya mengenakan pasal TPPU pada LHI.
KPK telah menganggap diri mereka benar-benar lembaga yang mempunyai kekuatan penuh untuk mendakwa tiap orang dengan otoriter, ini adalah lembaga tirani baru yang muncul pada paskah era reformasi.
Sebagaimana kata petinggi KPK yang lainnya, Busyro Muqoddas mengatakan bahwa melawan KPK berarti melawan negara, ucapan ini tidak jauh berbeda pada masa Orde Baru yang menangkap orang, ketika mengkritik negara adalah orang yang telah melakukan tindakan subversif, melawan negara.
Bahkan para pakar-pakar hukum pun dilecehkan oleh petinggi KPK dengan dianggap tidak mengerti hukum, malahan salah satu profesor pernah dianggap oleh juru bicara KPK, Johan Budi sebagai kader PKS, dan pantas membela PKS. Padahal profesor tersebut berusaha membuat pernyataan objektif antara KPK dan PKS. Dan tentunya profesor tersebut bukan kader PKS.
KPK telah membuat stigma yang sama dengan dengan pemerintahan Orde Baru, jika dijaman Orde Baru dianggap Subversif. Saat ini para pakar dan pengamat hukum yang mengkritisi kinerja KPK dianggap sebagai orang yang membela koruptor.
Padahal para pengamat dan pakar hukum berusaha meluruskan kesalahan kinerja KPK, tetapi mereka malah dicap sebagai orang yang membela koruptor.
Jadi, bersiaplah bagi siapapun yang akan ditangkap KPK dengan tuduhan korupsi, walaupun tanpa bukti yang jelas.
Lalu, benarkah KPK telah menjadi lembaga tirani gaya baru?
Oleh: Abu Jaisy
- See more at: http://muslimina.blogspot.com/2013/05/abraham-samad-ngelantur-kerdilkan-kpk.html#sthash.6ZwkFg3Y.dpuf