Select Menu

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

Rabu, 29 Mei 2013

Utamakan Pelayanan Publik, PKS Tak Ikut Interpelasi



pkssiak.org, Jakarta - Carut marut Kartu Jakarta Sehat telah mengusik DPRD untuk menggunakan Hak Interpelasinya terhadap Gubernur DKI, Joko Widodo. Hak Interpelasi tersebut telah ditandatangani oleh 32 anggota DPRD yang dimotori oleh Fraksi Partai Demokrat. Selain Fraksi Demokrat, terdapat pula Fraksi Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Hanura Damai Sejahtera, dan Fraksi PAN-PKB. Yang unik adalah, Fraksi PKS tidak ikut serta dalam interpelasi tersebut. Padahal PKS tidak turut mencalonkan Jokowi Ahok dalam kontestasi Pilkada.

Untuk mengurai problema interpelasi ini, perlu kita urai satu-per satu masalah utamanya. Pertama adalah sistem layanan kesehatan; Kedua, terkait hak interpelasi dan akibat yang ditimbulkannya; Ketiga, Mengapa PKS tidak turut dalam penggunaan hak interpelasi.


Kartu Jakarta Sehat. (sumber : megapolitan.kompas.com)

Interpelasi yang dilakukan DPRD diawali oleh adanya pengunduran diri rumah sakit dari program Kartu Jakarta Sehat. Pengunduran diri ini merupakan pertanda adanya permasalahan dalam sistem layanan kesehatan di Jakarta. Terhadap sistem layanan kesehatan sendiri, saya pernah mengutarakan pendapat bahwa idealnya sistem layanan kesehatan harus berfokus pada pencegahan. Sistem yang menggratiskan biaya pengobatan berpotensi menguras anggaran daerah. Selain itu, membludaknya pasien akan menimbulkan kondisi lain di mana kapasitas pelayanan kesehatan menjadi kurang memadai. Akibatnya tingkat pelayanan di rumah sakit dan puskemas akan turut menurun. Dan ini terlihat dari keluhan-keluhan yang masuk dari rumah sakit yang merasa kurang diperlakukan secara adil.


Hak Interpelasi yang diinisiasi Fraksi Demokrat merupakan hak yang dimiliki lembaga legislatif dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan. Hak Interpelasi menurut UU No 22 Tahun 2003 adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas. Hak interpelasi pada dasarnya tidak memiliki konsekuensi apa pun terhadap pemerintah. Hak ini berbeda dengan Hak Angket yang memiliki konsekuensi bagi pemerintah yang dianggap melanggar peraturan atau perundangan. Hak terakhir ini dapat berakhir pada pemakzulan.


Paling tidak ada tiga poin yang diutarakan oleh pengusul hak interpelasi terhadap Jokowi : Pertama, mekanisme pembayaran rumah sakit; Kedua, adanya penilaian bahwa KJS tidak tepat sasaran; dan Ketiga, KJS dinilai cacat hukum. Dari keterangan tersebut, permasalahan utamanya hanya berfokus pada Kartu Jakarta Sehat. Itu pun lebih spesifik lagi terkait dengan hubungan antara Rumah Sakit dengan Pemprov DKI. Bisa dibilang bahwa hak interpelasi yang diajukan DPRD sebenarnya tidak mengarah pada perbaikan sistem pelayanan kesehatan, namun hanya pada hubungan antara Pemprov dan mitra Pemprov.


Lalu mengapa PKS tidak ikut serta dalam pengajuan hak interpelasi. PKS menjadi unik, sebab selain PKS, Fraksi lain yang menolak interpelasi adalah Fraksi yang memang mengusung Gubernur DKI Jakarta. PKS dalam hal ini nampaknya bisa memilah antara ranah kontestasi politik dengan ranah pelayanan publik. Fraksi PKS nampaknya tidak menjadikan kasus KJS untuk melampiaskan dendam kalah Pilkada seperti yang dilakukan oleh Fraksi lainnya.


Selain itu ada alasan lain yang juga lebih mendasar. Hal ini dapat dicermati jika kita melihat kembali definisi hak interpelasi. Hak interpelasi seharusnya berkaitan dengan kebijakan yang berdampak luas terhadap masyarakat. Sedangkan poin gugatan DPRD dalam hak  interpelasi hanya berpusat pada hubungan antara Pemprov dengan mitranya, dalam hal ini rumah sakit. Tentunya rumah sakit yang mengundurkan diri tidak bisa mewakili masyarakat luas. Toh masih ada rumah sakit yang menerima skema tersebut. Di sini kita dapat melihat kejelian politisi PKS dalam memetakan kepentingan dan aktor dalam kasus KJS. Jika hanya menyangkut hubungan relasi antara pemprov dengan wakilnya, tentu hal ni bisa dibahas pada level konsultasi komisi.


Penolakan PKS untuk turut serta dalam Hak Interpelasi sebenarnya bukan yang pertama kali dilakukan. Meskipun PKS juga terlibat dalam beberapa Hak Interpelasi di tingkat pemerintahan pusat, PKS juga tercatat pernah menolak hak interpelasi dalam hal kebijakan pemerintah daerah. Jawa Barat tidak perlu dijadikan contoh, sebab ini menyangkut Gubernur yang dimajukan PKS sendiri. Contoh penolakan PKS bisa didapati pada kasus interpelasi DPRD Surabaya terhadap Tri Rismania, Walikota Surabaya. Tak tanggung-tanggung, interpelasi ini bahkan mengarah pada hak angket.


Dalam kasus interpelasi DPRD Surabaya, gugatan yang dilakukan menyangkut kenaikan pungutan reklame. Fraksi PKS DPRD Surabaya melihat permasalahan reklame di Surabaya bukan permasalahan yang menyangkut masyarakat luas. Sebab, permasalahan ini hanya menyangkut hubungan antara pengusaha reklame dengan Pemkot Surabaya. Itulah yang menjadi pertimbangan PKS ketika menolak turut bergabung dalam Hak Interpelasi. Sekali lagi posisi PKS menarik sebab PKS bukan pengusung Risma sebagai Walikota Surabaya.


Belajar dari beberapa kasus interpelasi yang diajukan oleh lembaga legislatif terhadap eksekutif ada beberapa poin yang perlu dicermati. Pertama, bahwa ternyata mayoritas politisi kita masih belum berpikir secara dewasa. Mereka mengajukan gugatan semata karena pihak pemerintah tidak berasal dari pihak mereka. Kedua, Hal sebaliknya terjadi ketika ada fraksi yang diawal mencalonkan pemerintah turut mengajukan interpelasi, fraksi ini justru dicemooh sebagai pengkhianat.  Padahal sejati hak interpelasi maupun hak angket sekalipun digunakan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, bukan semata-mata melindungi kepentingan kelompok. Ketiga, masyakat pun juga kurang memahami hakikat interpelasi, sehingga mereka relatif lebih mudah untuk disulut dalam sebuah pertempuran antar kelompok
0 Comments
Tweets
Komentar