Sinergi Tsawabit dan Mutaghayyirat
By: Abul Ezz
Senin, 20 Mei 2013
0
TSAWABIT DAN MUTAGHAYYIRAT
A. Pendahuluan
Segala
puji bagi Allah yang telah menjaga agama-Nya (Islam) dari penyimpangan
dan penyelewengan melalui janjinya menjaga Al-Quran. Bukan hanya itu,
As-Sunnah yang merupakan sumber kedua hukum islam juga terpelihara
dengan disitimewakannya umat ini dengan sistem periwayatan yang falid
yang tidak dimiliki oleh agama apapun di dunia ini.
Shalawat
dan salam kita doakan semoga selalu tercurahkan kepada nabi kita
tercinta, Nabi Muhammad Saw, yang sangat cinta kepada umatnya, seraya
menyebut-nuebut umatnya ketika hendak berpisah dengan kehidupan dunia
ini.
Tsawabit
dan Mutagahyyirat adalah dua hal yang menjaga keberlangsungan dan
eksistensi sebuah agama, mazhab ataupun aliran dan kelompok. Marxisme,
darwinisme ataupun komunisme, sebagai
sebuah ideology, tidak akan ada bedanya apabila tidak memiliki sesuatu
yang namanya Tsawabit. Islam, Kristen dan agama apapun akan menjadi sama
apabila tidak ada memiliki Tsawabit yang jelas.
Begitu
juga, semua agama, mazhab, aliran dan kelompok akan ditinggalkan
apabila tidak ada yang namanya mutaghayyirat. Karena penganutnya akan
menemukan kekakuan, stagnan dan kejenuhan tanpa ada keleluasaan dan
perkembangan. Apalagi adanya tantangan zaman yang sangat kaya dengan
perubahan, pembaharuan dan inovasi.
Untuk
keberlangsungan tersebut, dengan adanya tsawabit yang jelas dan
mutaghayyirat yang tidak kaku, maka sebuah agama, mazhab, aliran ataupun
kelompok akan tetap kokoh dengan orijinalitasnya meski tersebar di
belahan bumi manapun dan kapanpun selama keaslian tetap terjaga.
Umat
islam harus memahami dua hal ini, Tsawabit dan mutaghayyirat. Sehingga
dalam praktek kehidupan dalam mengamalkan islam tidak mengalami kekakuan
dengan kondisi yang ada, dengan tetap memperhatikan prisnsip-prinsip
dalam islam sendiri.
B. Sekilas tentang Maqashid Syariah
Sebelum
membicarakan tentang Tsawabit dan Mutaghyyirat, ada baiknya kita
mengenal dulu tujuan pensyariatan dalam islam, yang disebut dengan
Maqashid Syariah. Karena Tsawabit dan mutaghayyirat tidak bisa
dipisahkan dari tujuan dari penyariatan dalam islam.
1. Definisi
Kita
tidak ingin memaparkan segudang pendapat ulama dalam mendefenisikan
maqashid syariah. Ringkasnya mafhum maqashid syariah adalah tujuan,
illat (sebab) dan hikmah yang terdapat dalam hokum-hukum syariat yang
berhubungan dengan aqidah, ibadah, muamalah, akhlak dan adab. Namun
ulama kerap membahas maqashid syariah ini terkhusus dalam masalah fiqih
2. Pokok-pokok Maqashid Syariah
Ulama
ushul fiqih, dahulunya membagi maqashid syariah ini menjadi beberapa
tujuan umum yang disebut dengan kulliyatul khamsah, yaitu hifzhu ad-din
(menjaga agama), hifzhu an-nafs (menjaga jiwa/nyawa), hifzhu an-nasl
(menjaga keturunan), hifzhu al-’aql (menjaga akal), hifzhu al-mal
(menjaga harta). Namun Imam al-Qurafy menjadikannya enam dengan
menambahkan hifzhu al-’ardh (menjaga kehormatan).
Semua
kulliyah ini disebut dengan hal dharuriyat, yang menjadi prioritas
dalam syariat. Adapun selain hal itu, mereka memasukkanya ke dalam
Hajiyat dan Tahsiniyat.
Ulama
kontemporer seperti Syaikh Yusuf Qaradhawi menambahkan lebih dari itu.
Beliau melihat bahwa juhud ulama terdahulu hanya mengkaji maqashid yang
berhubungan dengan pribadi atau individu mukallaf. Adapun yang bersifat
sosial kemasyarakatan dan kenegaraan tidak terlalu diperhatikan.
Berdasarkan
kajiannya dalam ilmu ini, maka ia menambahkan beberapa hal ke dalam hal
dharuriyat, seperti hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial
kemasyarakatan seperti kebebasan, persamaan, persaudaraan, solidaritas
dan hak asasi manusia.
Diantaranya,
yang berkaitan dengan pembentukan atau pembangunan masyarakat, umat dan
Negara dan lainnya. Semua itu terlihat jelas dalam setiap buku
karangannya.
3. Corak Madrasah Maqasid Syariah
Dalam
kajian maqashid syariah ini, ada beberapa corak metode madrasah dalam
memahami nash-nash syar’iy dan hubungan antara tujuan (maqashid) yang
umum dengan nash-nash yang partikel, dimana nantinya akan mempengaruhi
pola implementasi tsawabit dan mutaghayyirat yang terlihat dari buku
karangan dan fatwa serta pandangan ulama masing-masing madrasah.
a. Madrasah Neo Zhahiry.
Madrasah
ini sangat memperhatikan nash juz’iy (parsial) dan kemudian memahami
nash juz’iy tersebut secara harfiyah atau tekstual, tanpa memperhatikan
tujuan syariat yang terkandung di dalamnya. Mereka adalah pewaris
zhahiriyah masa lalu yang dahulunya mengingkari adanya ta’lil (penentuan
sebab) sebuah hukum yang juga mengingkari adanya qiyas. Dari zhahiriyah
ini mereka mewarisi cara memahami nash secara harfiyah yang kaku.
Meskipun
mereka ikhlas dan sangat mantap beribadah, namun tidak dipungkiri,
dengan kekakuan dan tekstualitas yang mereka anut, ternyata mereka
sangat memberikan mudharat kepada dakwah islam, yang mencoreng asas
taisir (mudah) dan toleransi dalam islam. Dan itu terlihat jelas dari
sikap-sikap mereka dalam masalah wanita muslimah dan keluarga, masalah
wawasan, tarbiyah, ekonomi, politik serta manajemen.
1) Karekteristik Keilmuan dan Pemikiran
Madrasah
ini memiliki karakteristik keilmuan dan pemikiran yang sangat berbeda
dari madrasah lainnya, dimana karakteristik ini sangat mempengaruhi
orientasi fiqih dan keilmuannya dalam menentukan pendapat. Diantara
karakteristik tersebut adalah:
a) Harfiyah (tekstual) dalam pemahaman dan penafsiran.
b) Cenderung mempersulit dan mempersusah.
c) Mengagung-agungkan pendapat mereka, terkadang sampai batas ghurur.
d) Keras dalam mengingkari orang yang berbeda pandangan dengan mereka.
e) Mencela pendapat orang yang berseberangan dengan mereka dan kadang sampai mengkafirkan.
f) Tidak mempedulikan timbulnya fitnah di tengah umat.
2) Platform madrasah neo zhahiry
a) Mengambil nash secara zhahir tanpa memperhatikan makna, ‘illat dan maqashid (tujuan) nash tersebut.
b) Mengingkari
adanya ta’lil (penentuan sebab) hukum dengan pendapat dan ijtihad.
Mereka tidak mempercayai apa yang dihasilkan dengan akal manusia dalam
memahami nash dan yang berkenaan dengan maqashid dan ‘illatnya.
c) Mereka
merasa ragu dengan ra’yun (ide, pendapat), padahal mereka juga
meyakininya. Bahkan terkadang mereka menuduh orang yang menggunakan akal
dalam memahami maqashid dan illat sebuath nash dengan sebutan ahli
bid’ah. Sehingga mereka mengharamkan akal dalam memahami hal ini.
d) Diantara
manhaj mereka adalah tasyaddud (keras) dalam beragama. Apabiila ada dua
pilihan yang sama, yang pertama adalah hal yang berkaitan dengan
kehati-hatian dan kedua adalah perkara yang mudah, maka mereka akan
mengambil yang lebih hati-hati dari pada yang mudah.
3) Produk Fiqih yang dihasilkan
Diantara produk-produk fiqih yang dihasilkan oleh madrasah ini adalah :
a) Tidak
mengakui adanya harga pada uang kertas. Bahkan mereka memandang uang
kertas yang beredar di dunia islam adalah tidak syar’i.
b) Tidak mewajibkan zakat pada harta perdagangan.
c) Tidak membolehkan membayar zakat fitrah kecuali dengan makanan pokok.
d) Mereka mengharamkan foto bergambar dan televisi, padahal sering memakainya.
b. Madrasah Neo Mu’aththily.
Berbeda
dari madrasah yang pertama, madrasah ini malah melalaikan nash-nash
juz’iy (parsial) yang ada. Bahkan mereka sengaja menjauh dan berpaling
dengan dakwaan bahwa madrasah ini hanya memandang kemaslahatan yang umum
dan maqashid universal.
Mereka
adalah para pewaris ashabul ta’thil masa lalu yang menafikan atau
menelantarkan asma Allah dari makna yang sebenarnya. Mereka itulah
orang-orang sekuler dan kaum liberalis, yang sangat berani melakukan
penyimpangan dan penyelewengan nash-nash syariat yang ada di dalam
al-Quran dan as-Sunnah. Lalu menolaknya sebagai hukum syariat yang harus
diikuti, dengan tanpa dasar dan dalil yang jelas.
Anehnya
lagi, mereka menelantarkan nash-nash syariat dengan mengatas namakan
menjaga kemaslahatan makhluk, seolah-olah syariat Allah datang
menghalangi kemaslahatan makhluk-Nya.
Dengan
bersembunyi dibalik maqashid syariah, mereka sebenarnya berkeinginan
menghapus ilmu-ilmu islam dan ilmu ushul fiqih, sehingga cukup bagi
mereka yang tersisa maqashid saja.
Mereka
hanya mempertuhankan diri sekaligus memberikan diri tersebut hak tuhan
dalam membuat syariat bagi manusia dengan menghalalkan yang haram, dan
mengharamkan yang halal. Jelas keinginan mereka adalah agar manusia
tunduk dan menjadikan mereka sebagai tuhan selain Allah. Na’udzubillah
min dzalik.
1) Karakteristik Madrasah Neo mu’athily.
Syaikh Yusuf al-Qaradhawy menyebutkan beberapa karakteristik dari madrasah ini, diantaranya:
a) Ketidak tahuan dengan syariat islam.
b) Berani bicara tanpa ilmu dan dalil.
c) Mengekor ke Negara barat.
2) Platform madrasah neo mu’atthily
a) Meninggikan logika akal dari pada logika wahyu.
b) Mereka mengaku-ngaku bahwa Umar bin Khatthab menelantarkan wahyu atas nama kemaslahatan.
c) Mereka
selalu bersandar kepada pendapat yang dituduhkan kepada Najmuddin
ath-thufy, dengan mengatakan bahwa apabila bertentangan nash yang
qath’Iyyu ats-Tsubut dan qath’iyyu ad-Dilalah dengan kemaslahatan para
hamba, maka didahulukan kemaslahatan.
d) Mereka
sering megatakan “Dimana ada maslahat, disanalah ada syariat Allah”,
dengan menyandarkan ucapan ini kepada Ibnul Qayyim, tanpa memperhatikan
maksud yang diinginkan oleh Ibnul Qayyim.
3) Produk fiqih madrasah ini
Madrasah ini banyak menghasilkan produk fiqih yang merugikan dan membuat resah umat islam. Diantara produk fiqih mereka adalah :
a) Menjauh dari nash-nash yang qath’iy dan selalu menggunakan nah-nash yang mutasyabihat (multi tafsir).
b) Menantang dan meninggalkan syariat islam atas nama kemaslahatan.
c. Madrasah Wasathiyah.
Ini
dia madrasah wasathiyah untuk umat wasathiyah, yaitu umat islam.
Madrasah ini bermanhaj wasathiyah (pertengahan), diantara dua madrasah
sebelumnya. Pertengahan dengan tidak berlebihan dan tidak pula
berkekurangan, tidak ekstrim dan tidak pula lembek, meyakini
keseimbangan dan kemoderatan.
Kewasathiyahan
madrasah ini terlihat jelas pada metode mereka yang menghubungkan
antara nash-nash juz’I (parsial) dengan maqashid umum (universal), dan
memahami hukum-hukum yang parsial selaras dengan hukum-hukum universal
(umum), serta tidak berlebihan dalam mengikuti nash-nash secara zhahir
(tekstual).
1) Karakteristik madrasah wasathiyah.
Syaikh Yusuf al-Qaradhawy juga menyebutkan beberapa karakteristik dari madrasah ini. Yaitu:
a) Meyakini adanya hikmah Allah dalam syariat, dimana di dalamnya terkandung kemaslahatan bagi makhluk-Nya.
b) Mengaitkan antara sebagian nash dan hukum syariat dengan sebagian nash dan hukum syariat lainnya.
c) Memandang dengan secara seimbang pada setiap perkara agama dan dunia.
d) Menghubungkan nash-nash dengan realita kehidupan dan realita kondisi masa kini.
e) Mengadopsi hal-hal yang praktis dan mengambil hal yang mudah bagi manusia.
f) Terbuka bagi semua dunia dan siap berdialog serta memiliki toleransi.
2) Platform madrasah wasathiyah
a) Mencari maqashid (tujuan) dari sebuah nash sebelum mengeluarkan hukum.
b) Memahami nash berdasarkan sebab-sebabnya dan kondisi yang ada, terkait nash tersebut.
c) Membedakan antara maqashid (tujuan) yang tetap dan permanen dengan sarana-sarana yang mungkin menerima perubahan.
d) Penyesuaian antara tsawabit (yang prinsip, pokok, permanen) dan Mutaghayyirat (yang berubah-ubah)
Para
ulama terdahulu sangat memperhatikan masalah maqashid syariah ini, baik
dalam karangan ataupun fatwa yang mereka keluarkan. Diantara mereka
yang sangat perhatian dengan ilmu ini adalah imam asy Syathibi, imam
Ghazali, al-Amady, ibnu Rusyd, Ibnu al-Araby al-Maliky, Fakhruddin
ar-Razy, Izzuddin bin Abdussalam, Najmuddin ath-Thufy, Ibnu taimiyah,
ibnul Qayyim dan lainnya.
Diantara ulama kontemporer
yang sangat perhatian dengan ilmu ini adalah Ibnu ’Asyur, Muhammad
Rasyid Ridha, Mustafa Zarqa, Mahmud Syalthuth, Yusuf al-Qaradhawy dan
lainnya.
C. Tsawabit dan Mutaghayyirat dalam As-Sunnah
1. Tsawahit
a. Definisi
Tsawabit
adalah hal-hal prinsip yang mesti ada dan tidak boleh berubah atau
berganti di sepanjang waktu dan di tempat manapun.Tsawabit ini merupakan
kaidah-kaidah yang mengatur berbagai individu yang menganut agama,
mazhab atau kelompok. Dia adalah frame (bingkai) yang mengendalikan
perilaku mereka. Dia juga timbangan akurat yang tidak pernah keliru,
sehingga dengan tsawabit ini mereka dibedakan dari orang lain. Oleh karena itu, tsawabit bukanlah tempat untuk tawar-menawar.
Tsawabit (prinsip) suatu agama ataupun mazhab, adalah penjaga keberlangsungan suatu agama atau mazhab
tersebut yang membedakan antara pengikutnya dengan pengikut lainnya. Ia
adalah aturan yang mengikat para pengikutnya. Posisinya seperti akidah
dan pokok-pokok yang tegas yang tidak menerima takwil, penggantian, perubahan kapan dan di manapun serta oleh siapapun.
Tsawabit
meupakan poros atau kutub wahyu, dimana para mujtahid dan pembaharu
mengelilinginya dengan aneka gerakan dan perubahan, sementara poros itu
tetap, tidak bergerak.
Dan tentunya tsawabit ini berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (pasti), baik qath’iy ats- tsubut maupun qath’iy ad- dilalah
b. Dimensi Tsawabit.
Tsawabit ini memiliki berbagai dimensi, diantaranya :
1) Akidah
dasar, seperti iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada
kitab-kitab, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir, yang semua
ini ditetapkan dengan al-Quran, dan iman dengan qadar yang ditetapkan
dengan as-Sunnah yang juga termasuk dalam kandungan iman kepada Allah.
2) Rukun
islam praktis, seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan
shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji
bagi yang mampu.
3) Pokok-pokok
keuatamaan akhlak, seperti keadilan, ihsan, bersedekah kepada kerabat,
jujur, amanah, iffah, penyayang, sabar, bersyukur dan rasa malu.
4) Pokok-pokok
hal yang diharamkan secara qath’i lagi jelas (Zhahir), seperti
membunuh, berzina, kelainan sex, minum khamar, berjudi, mencuri, marah,
melakukan sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, menuduh
perempuan baik-baik barzina, melarikan diri dari medang perang,
berkesaksian palsu, durhaka kepada kedua orang tua, ghibah (bergunjing),
namimah (adu domba), berdusta, bermusuhan atau merusak kehormatan orang
lain, dll.
Begitu juga dengan hal-hal yang diharamkan secara batin, seperti sombong, hasad (dengki), riya, ‘ujub, cinta dunia, dll.
5) Pokok-pokok
hokum syariat yang qath’i yang berkaitan dengan makan, minum,
perhiasan, jual beli, transaksi keuangan, nikah, thalaq, wasiat dan
warisan
6) ‘Uqubat (sanksi-sanksi) syar’i, seperti hudud, qishash dan hal lainnya yang ditetapkan di dalam al-Quran.
Maka semua yang disebutkan di atas tidak boleh diganggu gugat oleh para mujtahid dan pembaharu dengan alasan apapun.
2. Mutaghayyirat
a. Definisi
Mutaghayyirat
adalah hal-hal yang mungkin mengalami pergantian, perubahan, takwil,
dan perkembangan. Dan perubahan di dalamnya tidak dianggap pelanggaran
terhadap hal-hal pokok dan asasi yang menjadi prinsip. Ia merupakan hal
yang fleksibel. Sebab, perubahan waktu dan tempat menuntut adanya
fleksibilitas, adaptasi, dan respon, dengan tetap menjaga tsawabit.
Allah
swt telah meninggalkan bagi Islam tsawabit yang menjamin
keberlangsungan agama ini dan mutaghayyirat yang menjamin validitas dan
kesesuaian dengan segala kondisi dan situasi.
Maka tsawabit dan mutghayyirat adalah
sebuah keberlangsungan tanpa adanya kekakuan, adaptasi tanpa ada
penyelewengan, pembaharuan tanpa ada peyimpangan, perkembangan tanpa ada
penelantaran seseuatu, sebuah orijinalitas tanpa berkekurangan,
keduanya merupakan dua bagian mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Di
dalam islam, banyak terdapat tsawabit dan mutaghayyirat di berbagai
bidang. Dan adanya tsawabit ini mengikat setiap muslim untuk
melakukannya.
3. Membedakan antara maqashid yang permanen dengan sarana yang fleksibel dan berubah-ubah.
a. Menetapkan tujuan syara’ tanpa menentukan sarana.
Kalau
kita perhatikan hukum-hukum syariat, baik perintah dan larangan, kita
mendapatkan bahwasanya Allah menetapkan tujuan dari apa yang Dia
perintahkan kepada mukallaf. Namun Allah tidak menyebutkan sarana untuk
mencapai tujuan syariat tersebut, karena pencapaian dari tujuan syariat
tersebut sangat mungkin menerima perubahan dan perbedaan sesuai situasi,
kondisi, ‘uruf, kondisi sosial masyarakat, ekonomi, politik dan
lainnya. Sehingga Allah tidak menentukan sarana itu ketika Rasulullah
masih hidup. Maka sebagian orang terpaku dengan syariat yang ditetapkan
dan kaku dalam pelaksanaannya.
Kita
melihat al-Quran menetapkan adanya syura, Allah berfirman “..Dan urusan
mereka dengan melaksankan syura diantara mereka…” [Asy-Syura: 38],
“…Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” [Ali Imran:
159].
Allah
tidak menjelaskan bagaimana cara musyawarah, siapa saja pesertanya,
atau bagaimana cara memilih para ahlul halli wal ‘aqd, dan bagaimana
cara memilih khalifah serta cara membai’atnya, dll. Karena Allah
memberikan keleluasaan bagi manusia untuk melaksanan syura tersebut
sesuai dengan situasi den kondisi di sepanjang waktu dan dimanapun.
b. Menentukan sarana sesuai dengan waktu dan tempat, situasi dan kondisi.
Allah
terkadang menentukan sarana dalam melaksanakan sebuah syariat, tetapi
sarana itu ditetapkan di zaman Rasululah, karena terkait kondisi yang
berbahaya ketika itu. Tapi sebagian orang menjadikannya sebagai sebuah
tujuan syariat.
c. Membedakan antara maqashid dan sarana.
1) Penyebutan
atau penentuan sebagian sarana dalam melaksanakan syariat oleh Allah,
terkadang membuat campur baur antara maqashid syariat dengan sarana
tersebut, padahal sarana itu fleksibel dan bisa berubah sesuai situasi
dan kondisi yang ada. Hal tersebut kelihatan pada beberapa hal berikut;
a) Kuda sebagai sarana jihad.
Allah
berfirman “Dan siapkanlah olehmu untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu…”. [Al-Anfal: 60]
Allah
meyebutkan kuda sebagai sarana perang ketika itu karena kuda adalah
sarana perang yang pas dengan zaman Rasulullah. Untuk zaman sekarang
kaum muslimin bisa menciptakan apa saja sarana untuk berperang, sesuai
dengan inovasi dan tuntutan zaman mereka. Oleh karena itu, semua orang
sangat mengerti, bahwa maksud kuda di zaman sekarang adalah tank baja
seperti mikafa, apache, rudal dan lainnya.
b) Jilbab sebagai sarana menutup aurat bagi wanita muslimah.
Allah
berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzab: 59.]
Yang
dituntut dalam syariat terhadap wanita muslimah adalah menutup aurat,
dan di sini Allah menyebutkan diantara sarana tersebut, yaitu jilbab.
Dan jilbab bukanlah sebuah tujuah dari syariat, tetapi hanya sekedar
sarana, dan bisa disesuaikan dengan kondisi meslimah setempat, selama
memenuhi kriteria pemakaian jilbab
yang dianjurkan dalam islam. Namun sebagian orang malah bersikeras
harus memakai jilbab dan menganggapnya sebagai ibadah yang tidak bisa
dilaksanakan dengan sarana lainnya.
c) Siwak sebagai sarana membersihkan gigi.
Rasulullah
Saw bersabda “Siwak itu membersihkan mulut dan diridhai oleh Allah”.
[HR. An-Nasa’I, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, ibnu Hibban dari Aisyah]
Yang
menjadi maqashid syariat dalam hadits ini adalah membersihan mulut.
Rasulullah meyebutkan siwak sebagai sarana membersihkan gigi, karena
itulah diantara sarana yang mudah dan praktis bagi mereka ketika itu.
Maka tidak mengapa membersihkan gigi dengan sarana lain seperti rumput
khusus pembersih gigi yang dipakai oleh orang Indonesia tempo dulu. Di
zaman modern, manusia dimudahkan dengan sarana pembersih gigi yang
diciptakan di negeri masing-masing. Ini adalah kemudahan dan keleluasaan
dalam islam. Yang terpenting jangan sampai tidak membersihkan gigi.
d) Ru’yah sebagai sarana menetapkan awal bulan.
“Ummatuna
wahidah, hilaluna wahid”, demikian slogan yang sering disebutkan oleh
Ahmad asy-Syukairi dalam acara khawatir di MBC. “Umat kita adalah satu,
hilal (bulan sabit) kita satu”
Umat
yang satu ini terpecah dan berbeda pendapat setiap kali datang kepada
mereka bulan Ramadhan dan hari raya idul fitri dan idul adha. Padahal
anak bulan yang dilihat adalah satu.
Perbedaan
ini sangat dilatar belakangi oleh pemahaman dalam memahami hadits yang
menyebutkan sarana melihat bulan sabit, dimana sebagian muslim
menganggap melihat bulan sabit dengan sarana “mata telanjang” adalah
sebuah kewajiban, bukan sarana. Padahal maqashid syariatnya adalah agar
umat ini berpuasa pada hari yang tepat, tidak pada hari syak, karena
puasa pada hari itu adalah haram, dan tidak pula pada puasa hari raya,
karena puasa pada hari raya hukumnya haram sebagaimana di dalam riwayat.
Inilah dia maqashid syariah yang dituntut pelaksanaannya dari setiap
muslim.
Tetapi
realita membuka mata kita, dimana ada sebagian muslimin berpuasa lebih
cepat pada hari syak, dimana orang lain belum mulai berpuasa, atau
berpuasa di hari raya ketika semua orang asyik-asyiknya menikmati
rendang dan kue-kue lezat lainnya.
Dalam masalah ru’yah hilal (melihat bulan sabit), banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw.
Rasulullah
bersabda “Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat bulan sabit, dan
janganlah kamu berbuka sampai kamu melihanya. Apabila bulan sabit itu
tertutup dari pandanganmu, maka kadarkanlah (perkirakanlah) ia”. [HR.
Muttafaq alaih].
Dalam
lafaz lain, “…Apabila bulan sabit itu tertutup dari pandanganmu, maka
sempurnakanlah jumlah bulan Sya’ban tiga puluh hari”. [HR. Muttafaq
alaih].
Syaikh
Qoradhowi menyebutkan, seorang ahli fiqih bisa mengatakan bahwa Hadits
ini mengindikasikan sebuah maqashid (tujuan) dan menentukan sarana.
Adapun tujuan (maqashid) hadits sangat jelas sekali, yaitu agar semua
umat islam berpuasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh, dan mereka tidak
meluputkan satu haripun untuk berpuasa pada bulan Ramadhan baik sehari
sebelum Ramadhan ataupun sehari setelahnya, atau mereka berpuasa pada
satu hari dari bulan selain ramadhan, seperti bulan Sya’ban atau Syawal.
Semua itu dengan menetapkan awal masuknya dan habisnya Ramadhan dengan
sarana yang memungkinkan dan disanggupi oleh mayoritas umat islam yang
tidak memberatkan dan membebani mereka dalam melaksanakan agama.
Ru’yah
dengan mata telanjang adalah sarana yang mudah dan disanggpui oleh
mayoritas manusia ketika itu, makanya hadits datang dengan menyebutkan
atau menentukan mata telanjang sebagai sarana ru’yah.
Karena,
apabila Rasulullah Saw membebani mereka dengan sarana perhitungan
perbintangan, sementara umat islam ketika itu tidak bisa menulis dan
berhitung, maka hal ini akan sangat menyulitkan mereka.
Dan
Allah selalu menginginkan kemudahan bagi hambanya, dan tidak ingin
mempersullt mereka. Rasulullah Saw bersabda menceritakan dirinya
“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk mempersulit dan menyusahkan,
tetapi Dia mengutusku sebagai guru dan memudahkan”. [HR. Muslim]
Maka,
apabila ada sarana lain yang lebih sanggup untuk mencapai maqashid
hadits ini, dan sarana itu lebih mampu menjauhkan umat dari kesalahan,
keraguan dan kebohongan, dan sarana itu mudah dijangkau, tidak jauh dari
kesanggupan umat, dimana umat ini sudah memiliki ilmuan dan pakar dan
spesialis dalam bidang astronomi, geologi dan fisika yang bertaraf level
internasional, dimana ilmu manusia sudah sampai pada titik yang
memungkin mereka untuk naik ke bulan itu sendiri atau lebih jauh dari
itu seperti planet mars, lalu mengapa kita masih kaku dalam memilih dan
memakai sarana “mata telanjang” yang memang bukan tujuan sebenarnya dari
hadits, sehingga kita bisa melaksanakan maqashid yang diinginkan oleh
hadits.
Di
dalam hadits banyak riwayat yang menyebutkan peneriman khabar dari satu
atau dua orang yang mengaku melihat bulan sabit dengan mata telanjang,
dimana sarana memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya.
Lalu
bagaimana bisa kita menolak sarana yang lebih canggih dan jauh dari
kesalahan dan keraguan, bahkan sebaliknya bisa mencapai derjat yakin dan
pasti, yang memungkinkan umat islam di timur dan barat bersatu dan
menjauhi perbedaan yang kerap terjadi dalam berpuasa dan berhari raya.
Ini adalah perkara yang tidak bisa diterima dan tidak masuk akal, baik secara logika ilmiyah, ataupun logika agama.
Syaikh
Qaradhawy menyebutkan, bahwa menetapkan masuknya awal bulan dengan
sarana ilmu falak adalah sebuah kewajiban yang didasarkan kepada dalil
qiyas aula, dimana hadits yang ada di hadapan kita yang menyebutkan
sarana ru’yah dengan mata telanjang, yang masih banyak menimbulkan
kesalahan dan keraguan dalam menetapkan masuknya awal bulan, adalah
sarana yang lebih rendah, dimana apabila ada sarana yang lebih tinggi
dari sarana ru’yah tersebut, maka sarana ru’yah tersebut tidak
menghalangi pemakaian sarana yang lebih tinggi dan utama yaitu sarana
hisab (perhitungan) berdasarkan ilmu falak yang detail, terperinci dan
pasti.
Syaikh
ahmad syakir, sebagaimana dinukilkan oleh syaikh qaradhawy, menetapkan
hisab dalam menentukan masuknya awal bulan. Dan beliau melihat dari
hadts ini, illat dijadikannya ru’yah sebagai sarana dalam menetapkan
masuknya awal bulan adalah keummiyan (tidak bisa menullis dan
menghitung) umat islam ketika itu. Maka ketika illah ini hilang, dengan
banyaknya umat islam yang bisa menulis dan berhitung, bahkan menjadi
pakar dalam bidang tertentu, hilang jugalah ma’lulnya, yaitu kewajiban
memakai ru’yah sebagai sarana. Karena kaidah menyebutkan, illat itu
berlaku bersamaan dengan ma’lul di saat ada atau tidaknya.
Dalam
masalah ini, ada hadits yang diriwayatkan oleh ibnu umar dari
Rasulullah Saw, beliau bersabda “Sesungguhnya kita adalah kaum ummy,
tidak bisa menulis dan tidak pula bisa berhitung. Satu bulan itu seperti
ini, dan seperti ini, artinya sesekali dua puluh Sembilan, dan sesekali
tiga puluh”.
Imam
Malik juga meriwayatkan dalam al-Muwattha’ “Satu bulan itu adalah dua
puluh Sembilan, maka janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat bulan,
dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya. Maka apabila hilal
itu tertutup dari pandanganmu, kadarkanlah ia”.
Ibnu
suraij, seorang ulama mazhab syafi’i ketika mengomentari hadits “…maka
kadarkanlah ia”, dan “…maka sempurnakanlah… ”, menyatakan bahwa hadits
ini memiliki dua kondisi. Pertama “…maka kadarkanlah ia”, adalah khithab
bagi orang yang mengetahui ilmu falak agar menghitung bulan apabila
bulan itu tidak kelihatan. Adapun “…maka sempurnakanlah…” adalah khithab
untuk semua orang. Disini syaikh Qaradhawy mengatakan bahwa ibnu suraij
hanya menjadikan khithab bagi ahli ilmu falak ketika bulan tidak bisa
dilihat, dan itupun karena kondisi di sekitarnya yang masih belum
sepenuhnya percaya kepada mereka, dan semestinya sekarang dengan adanya
teknologi, khithab tersebut tetap berlaku.
4. Manfaat mengetahui tsawabit dan mutaghayyirat bagi juru dakwah.
a. Meluruskan
pemikiran dan cara berfikir mereka dalam memilih pendapat dan melakukan
tarjih dalam satu masalah dengan masalah yang lain dengan
mempertimbangkan mashalih yang didapatkan dan mafasid yang harus
dihindari.
b. Membantu
mereka dalam memperoleh kecendrungan kebijakan yang menempatkan mereka
pada tempat yang pas dan strategis dengan tidak memandang secara
tekstual pada nash yang bisa menghindari dari kesalahan dalam memilih
pendapat dan keputusan yang tepat dan sesuai dengan kondisi yang ada.
c. Membantu
mereka memahami secara benar setiap permasalahan yang berkaitan dengan
agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta tanpa ada penyelewengan dalam
pemahaman.
d. Mengetahui
maqoshid, membantu seorang dai untuk menolak syubhat-syubhat yang
dilontarkan tentang islam, sehingga dia bisa mengembalikan setiap
permasalahan dari yang furu’ kepada ushul, dari yang mutasyabih kepada
yang muhkam. Sehingga kelihatan bentuk islam yang indah bagi orang yang
memiliki hati dan perhatian.
e. Membantu
mereka untuk mencapai target perjuangan dan menunjuki perjalanan yang
mereka tapaki sehingga mereka tidak disibukkan dengan hal-hal formalitas
dan hal-hal furu’iyah. Maka jelas rambu-rambu bagi jalan mereka dan
terlaksananya optimalisasi potensi-potensi mereka pada tempatnya.
f. Menunjuki
mereka dalam mengatur kehidupan pribadi, dengan menentukan skala
prioritas sehingga jelas misi-misi mereka dalam menyampaikan risalah
islam dan menunaikan hak bagi diri mereka.
D. Penutup
Mengtahui
tsawabit dan mutaghayyirat memberikan manfaat yang sangat besar bagi
para mujtahid dan lainnya, dimana mereka tidak akan melanggar hal-hal
yang prinsip di dalam agama dengan tetap bergerak melalui berbagai
sarana yang inofatif sehingga tidak ada kekakuan dan kesulitan dalam
melaksanakan agama yang sangat mudah, praktis dan toleransi.
Tulisan
ini hanya memaparkan sedikit tentang tsawabit dan mutaghayyirat yang
sering terlupakan. Dan masih banyak permasalahan yang berkenaan dengan
tsawabit dan mutaghayyirat ini yang belum dicantumkan yang harus kembali
dikaji oleh para thalibul ilmi. Wallahu a’lam.
Daftar bacaan :
1. Dirasat fi Fiqhi Maqashid asy-Syari’ah, Yusuf Al-Qaradhawi, Cet. 2 tahun 2007, penerbit Dar El-Shorouk, Kairo.
2. Kaifa Nata’amal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, Yusuf Al-Qaradhawi, Cet. 4 tahun 2006, penerbit Dar El-Shorouk, Kairo.
3. Min Fiqhi ad-Daulah fi al-Islam, Yusuf Al-Qaradhawi, Cet.2 tahun 1999, penerbit Dar El-Shorouk, Kairo.
4. Ats-Tsawabit wa al-Mutaghayyirat, Jum’ah Amin Abdul Aziz, penerbit Dar El-Tauzi’, Kairo.
5. Ushul al-‘Amal al-Khairi fi al-Islam, Yusuf Al-Qaradhawi, Cet. 2 tahun 2008, penerbit dar el-Shorouk, Kairo.
6. Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syari’ah, Abu Ishaq Asy-Syathibi, Cet. 2006 Maktabah Al-Usrah, Kairo.
Oleh: Saud Alba
DPD PKS Siak - Download Android App