“Senyum mereka membuat kita tersenyum…” |
Sekelumit Kiprah PKS di Pedalaman Papua
By @mukri_nst
By: Abul Ezz
Jumat, 10 Mei 2013
0
Oleh Mukri
Yahukimo Papua
Saudaraku, jangan kita biarkan secercah cahaya ini redup. Harapan itu
masih ada disini, lahirnya generasi Bilal berkulit legam bersuara merdu
dan dimuliakan di sisi Rasulullah.
Salam cinta kami untuk seluruh saudara-saudara kami di manapun berada.
*penulis: @mukri_nst on twitter
Yahukimo Papua
pkssiak.org - Sejenak kita tinggalkan huru-hara politik ini, bosan juga terkadang
melihat TV dan media yang berisi pemberitaan tak berimbang seputar dunia
politik.
“Akhi kita tinggalkan saja tontonan yang menyesakkan dada ini, insyallah
sudah ada qiyadah-qiyadah kita disana yang akan mengurusnya, semoga
mereka diberikan kekuatan”. Kata salah seorang Ustdz semalam ketika
berdiskusi. Ya kita harus tetap bekerja, riak-riak ini tidak akan
membuat kita berhenti disini.
Mari kita jalan-jalan ke Pegunungan Tengah Papua, jauh di ujung timur
Indonesia, di tempat paling awal matahari terbit di Negeri ini.
Bersilaturrahim dengan saudara-saudara kita meski hanya lewat tulisan
ini. Pengalaman saya ketika pertama kali bertemu dengan masyarakat asli
Papua yang memeluk Islam.
“Assalamu’alaikum...” Senyum khasnya terkembang menyapa kami ketika
berpapasan di jalan, seorang mama separuh baya dengan Noken di kepalanya
berisi ubi dan sayuran. Seorang anak kecil dibelakangnya tanpa sendal
dan celana, ingusnya meler hampir mencapai bibir atas, usianya mungkin
sekitar 2-3 tahun.malu-malu bersembunyi dibelakang mamanya yang menyapa
kami.
“Walaikumussalam,” jawabku langsung, setengah tak percaya, saya julurkan
tangan menyalami beliau diikuti dengan kawan-kawan yang lain.
“Halaok Nausa,” lanjutku dalam bahasa setempat, sapaan untuk mama-mama disini.
“Halaok Nayak,” jawabnya masih dengan senyum mengembang, sapaan
dari seorang ibu kepada seseorang yang sudah dianggap anak, menunjukkan
sebuah kedekatan kekeluargaan.
Mendengar ia mengucapkan salam tadi saya masih setengah tak percaya,
saya merinding mendengarnya ketika keluar dari seorang warga asli Papua.
Tidak seperti biasanya ketika kita bertemu dengan rombongan mama-mama
di jalan yang biasanya dengan senyum terkembang menyapa dengan “selamat
pagi, siang, atau sore”. Karena daerah Pegunungan Tengah Papua ini
mayoritas penduduk asli beragama Nasrani.
Kulitnya hitam, rambutnya keriting khas ciri masyarakat Papua. Seperti
kebanyakan mereka sangat ramah, sangat senang ketika kita mau menyapa
mereka, menyalami, berbincang sesaat bahkan kalau mereka sudah merasa
sangat dekat ketika bertemu mereka akan memeluk kita. Senyumnya itu lo
yang sesuatu, seperti yang pernah di kultwitkan pak Fahri Hamzah tentang
film di Timur Matahari “Senyum mereka membuat kita tersenyum…”. Tidak
semuanya benar yang selama ini kita persepsikan kalau orang Papua itu
kasar. Tergantung kita sebenarnya untuk memasukkan diri ke dalam
komunitas mereka.
“Mama mau kemana e..?”
“Sa mau ke pasar anak, sa pergi dulu e.Assalamu’alaikum”. Ia kembali menyalami kami dan bergegas pergi menuju pasar di Wamena.
Alhamdulillah senangnya rasanya bisa bertemu dan berinteraksi langsung,
akhirnya kami lanjutkan perjalanan menuju ke Pesantren tempat anak-anak
disini bersekolah. Makin banyak bertemu dengan masyarakat muslimnya,
melihat anak-anak di pesantren dengan jilbab dan baju kokonya, beberapa
santri sedang bermain tanpa alas kaki di lapangan pesantren.
Setelah mengisi buku tamu, berbincang sejenak dengan ustadz/ah nya
tentang kondisi muslim dan santri di pesantren itu. Ada beberapa keluhan
yang masih menjadi problem di pesantren, seperti sarana prasarana yang
masih minim, pembiayaan pesantren yang masih bergantung dengan sumbangan
masyarakat ala kadarnya, sehingga guru-guru juga nyaris tak digaji,
makanan anak-anak juga terkesan tidak layak. Bagaimana bisa kita yang
mayoritas Muslim di Negeri ini membiarkan saudara-saudara kita ini
berjuang sendirian. Akhirnya ke depannya kita sepakat dengan kawan-kawan
untuk sering mengangkat kan kegiatan dan berupaya membantu masyarakat
Muslimnya disini agar mereka tidak merasa sendiri di Negeri ini. Karena
bukan perkara yang mudah untuk mempertahankan aqidah di tengah kondisi
minoritas dan problem sejengkal perut yang harus selalu terisi.
Jayawijaya sendiri berdasarkan data 2010 memiliki jumlah penduduk
199.557 jiwa dan ada sekitar ±1000 masyarakat asli yang memeluk agama
Islam yang tersebar di beberapa perkampungan seperti Air garam,
Megapura, Hitigima, Tulima, Walesi, Assolipelema dan di Wamena sendiri.
Hanya saja mereka sepertinya tidak terperhatikan dengan baik, rata-rata
masih ekonomi dibawah garis kemiskinan, bermata pencaharian sebagai
petani ubi dan sayuran, ya hanya sekedar untuk makan saja kalau berlebih
mereka akan bawa ke kota untuk di jual. Masih banyak yang belum bisa
baca tulis.
Selama 2012 kita Alhamdulillah berhasil mengangkatkan beberapa kali
baksos, di Walesi kita berbuka bersama dengan santri, membagikan baju
lebaran, perlengkapan sekolah. Baksos/pembagian sembako di Air garam,
buka puasa bersama dan pembagian THR di Hitigima, baksos di Megapura,
Qurban 3 ekor sapi dan 1 kambing di perkampungan-perkampungan muslim,
pengobatan gratis di Assolipelema. Alhamdulillah ada beberapa donatur
dan kawan-kawan dari Sumatera dan Jawa yang berbaik hati untuk berbagi
dengan saudara-saudara kita ini, semoga Allah membukakan pintu Rejeki
buat mereka.
Salam cinta kami untuk seluruh saudara-saudara kami di manapun berada.
*penulis: @mukri_nst on twitter
DPD PKS Siak - Download Android App