pkssiak.org - Hingga hari ini, nasib ratusan etnis Rohingya yang datang ke
Indonesia belum jelas. Status mereka belum bisa diputuskan pemerintah
Indonesiaa sebagai pengungsi atau bukan. Sementara Imigrasi dan media
massa menyebut mereka imigran gelap. Padahal mereka dalam rangka mencari
perlindungan.
”Warga Rohingya yang lari ke Indonesia adalah pengungsi, mereka lari karena adanya ancaman terhadap keselematan. Etnis Muslim Rohingya belum bisa kembali ke negeri mereka kecuali ada perubahan situasi mendasar. Oleh karena itu mereka tidak seharusnya di perlakukan sebagai imigran. Mereka sewajarnya dilakukan sebagai pengungsi atau pencari suaka,” demikian ucap Aboe Bakar Al Habsyi, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, melalui pesan singkat, Rabu (01/04/2013).
Sebagaimana diketahui selama ini etnis Muslim Rohingya yang datang ke Indonesia diperlakukan sebagai imigran gelap. Sementara nasib mereka yang masih terkatung-katung untuk mencari perlindungan, pemerintah Indonesia belum bisa memutuskan nasib mereka yang dinilai hanya menunggu penentuan status dari UNHCR, lembaga tinggi PBB yang mengurusi pengungsi.
”Indonesia seharusnya meratifikasi konvensi internasional 1951 dan protokol 1967 tentang satus pengungsi. Dengan demikian pemerintah bisa secara langsung menetapakan status pendatang etnis Muslim Rohingya sebagai pencari suaka atau pengungsi,” ungkapnya.
Setelah statusnya jelas, Aboe Bakar Al Habsyi mengusulkan untuk ditempatkan di tempat tertentu yang dikelola dengan otoritas khusus.
Menurutnya, Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) bukanlah tempat yang didesain untuk mereka, karena para pendatang Rohingya bukanlah pelanggar keimigrasian. Penempatan mereka di Rudenim yang melebihi kapasitas tampung akan mengakumulasi tingkat stress, akibatnya mereka mencoba kabur, melakukan tindakan kriminal dan bunuh diri.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia seharusnya mengambil peran aktif menyelesaikan persoalan HAM yang menimpa etnis Muslim Rohingya Arakan myanmar.
Dunia internasional pun harus melihat ini sebagai kejahatan kemanusiaan dan pembersihan etnis, sebagaimana hasil investigasi Human Right Watch (HRW).
“Jangan sampai ada diskriminasi dalam penegakan HAM. Ketika pelanggaran HAM menimpa orang Barat atau non Muslim semua pihat berteriak, namun saat pelanggaran HAM itu menimpa orang Muslim semua terdiam seribu bahasa,” ujar anggota DPR Dapil Kalimantan Selatan ini [sb/ca/rol/im]
”Warga Rohingya yang lari ke Indonesia adalah pengungsi, mereka lari karena adanya ancaman terhadap keselematan. Etnis Muslim Rohingya belum bisa kembali ke negeri mereka kecuali ada perubahan situasi mendasar. Oleh karena itu mereka tidak seharusnya di perlakukan sebagai imigran. Mereka sewajarnya dilakukan sebagai pengungsi atau pencari suaka,” demikian ucap Aboe Bakar Al Habsyi, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, melalui pesan singkat, Rabu (01/04/2013).
Sebagaimana diketahui selama ini etnis Muslim Rohingya yang datang ke Indonesia diperlakukan sebagai imigran gelap. Sementara nasib mereka yang masih terkatung-katung untuk mencari perlindungan, pemerintah Indonesia belum bisa memutuskan nasib mereka yang dinilai hanya menunggu penentuan status dari UNHCR, lembaga tinggi PBB yang mengurusi pengungsi.
”Indonesia seharusnya meratifikasi konvensi internasional 1951 dan protokol 1967 tentang satus pengungsi. Dengan demikian pemerintah bisa secara langsung menetapakan status pendatang etnis Muslim Rohingya sebagai pencari suaka atau pengungsi,” ungkapnya.
Setelah statusnya jelas, Aboe Bakar Al Habsyi mengusulkan untuk ditempatkan di tempat tertentu yang dikelola dengan otoritas khusus.
Menurutnya, Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) bukanlah tempat yang didesain untuk mereka, karena para pendatang Rohingya bukanlah pelanggar keimigrasian. Penempatan mereka di Rudenim yang melebihi kapasitas tampung akan mengakumulasi tingkat stress, akibatnya mereka mencoba kabur, melakukan tindakan kriminal dan bunuh diri.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia seharusnya mengambil peran aktif menyelesaikan persoalan HAM yang menimpa etnis Muslim Rohingya Arakan myanmar.
Dunia internasional pun harus melihat ini sebagai kejahatan kemanusiaan dan pembersihan etnis, sebagaimana hasil investigasi Human Right Watch (HRW).
“Jangan sampai ada diskriminasi dalam penegakan HAM. Ketika pelanggaran HAM menimpa orang Barat atau non Muslim semua pihat berteriak, namun saat pelanggaran HAM itu menimpa orang Muslim semua terdiam seribu bahasa,” ujar anggota DPR Dapil Kalimantan Selatan ini [sb/ca/rol/im]