pkssiak.org - Akhir-akhir ini kader PKS di seluruh dunia menanti dengan harap-harap
cemas hasil kerja KPK dalam upayanya membuktikan kesalahan qiyadah
‘pemimpinnya’ ustadz LHI dalam kasus dugaan suap import daging sapi.
Kecemasan
muncul menyeruak ketika KPK menunjukkan pekerjaannya semakin tidak
profesional karena mengalihkan kasus dugaan suap daging sapi menjadi
dugaan pencucian uang. Ketidakprofesionalan KPK ini belakangan
memunculkan anekdot di dunia sosial media ketika bermaksud menyita kotak
kosong milik ustadz LHI di Bank Mandiri dan menyita mobil kader di
kantor DPP PKS.
Kecemasan lainnya muncul ketika beragam spekulasi
menyebutkan bahwa komisioner KPK memang bermaksud melakukan konfrontasi
terhadap PKS karena masalah pribadi yang tidak jelas. Sudah barang tentu
tidak semua komisioner KPK yang dimaksud, tetapi disebutkan salah satu
nama komisioner KPK dan juru bicara KPK sengaja mengkonstruksikan berita
bahwa LHI, mantan Presiden PKS memang bermasalah. Apakah demikian?
Jawabnya, kita perlu berbaik sangka saja dalam hal ini semoga KPK tetap
profesional dan tidak demikian adanya.
Imajinasi permusuhan
Sebutan imajinasi permusuhan atau ‘hostile imagination‘ pertama kali dipopulerkan oleh Philip Zimbardo (2007) dalam bukunya “The Lucifer Effect: Understanding how good people turn evil” yang terbit di New York oleh penerbit Random House.
Buku
ini menegaskan bahwa orang baik bisa dikonstruksikan menjadi jahat
(Evil) melalui sarana intervensi eksternal. Penulis tidak ingin
mengatakan bahwa KPK melakukan hal serupa terhadap LHI dan kita tidak
pula ingin mengatakan ini sebuah konspirasi untuk meluluhlantakkan PKS
dari dunia politik Indonesia yang sehat. Penulis hanya akan melakukan
sebuah penelusuran bagaimana proses terjadinya ‘hostile imagination”,
imajinasi permusuhan menurut Zimbardo.
Dalam sub-bagian tulisannya
“The power to creat ‘The Enemy’ Zimbardo menuliskan bahwa sistem
menciptakan hierarki dominasi dengan mempengaruhi dan berkomunikasi dari
atas ke bawah (going down) dan sangat jarang terjadi dari bawah ke atas
(going up). Sehingga, menurut Zimbardo manakala kekuasaan elit hendak
menghancurkan musuhnya, maka elit ini akan meminta kepada pakar
propaganda untuk mendesain sebuah program kebencian.
Sehingga apa
yang terjadi berikutnya adalah munculnya kebencian warga masyarakat yang
satu terhadap warga masyarakat lainnya hingga pada derajat
memecah-belah, menyebabkan perasaan sakit, penderitaan, kecemasan hingga
derajat membunuhnya. Tentu saja membunuh tidak harus diartikan sebagai
kematian, tetapi dapat pula diartikan sebagai pembunuhan karakter dan
asasi kemanusiaan.
Hierarki dominasi kekuasaan elit semacam ini,
menurut Zimbardo membutuhkan apa yang disebutnya sebagai ‘hostile
imagination’, imajinasi permusuhan. Sampai di sini kita akan mampu
memahami jika ada seorang penegak hukum membenci pihak lainnya dengan
tanpa alasan yang cukup kuat dan jelas, maka selanjutnya akan
memunculkan ‘imajinasi permusuhan’ ini. Ini akan sangat membahayakan
kredibilitas dan profesionalitas yang bersangkutan.
Benar adanya,
logika hukum dapat saja membuktikan bahwa tersangka LHI misalnya
benar-benar terbukti bersalah atas dugaan suap atau dugaan praktik
pencucian uang karena logika hukum pada dasarnya adalah mengkonstruksi
bukti-bukti berdasarkan fakta yang ada di sekitar kita. Tetapi, tetap
saja alam bawah sadar masyarakat awam akan menyadari ada sebuah
konstruksi ‘imajinasi permusuhan’ yang bersangkutan kepada orang lain.
Radar kesadaran politik masyarakat akan menangkap sinyal ada bahaya
demarketisasi dan bahaya pembusukan terstruktur.
‘Imajinasi
permusuhan’ menurut Zimbardo adalah sebuah konstruksi psikologis yang
sangat dalam di dalam pikiran masyarakat melalui propaganda yang
mentransformasikan orang lain sebagai “musuh”. Mengacu pada pendapat
Zimbardo ini, kita sedang menanti apakah konstruksi psikologis
permusuhan terhadap PKS akan berhasil menjadikan PKS sebagai ‘common
enemy’, musuh bersama masyarakat atau justru sebaliknya yang terjadi.
Kita
memang tidak perlu terlalu berlebih-lebihan atau melakukan
penyederhanaan masalah (over simplifikasi) menyebut apa yang terjadi
sebagai ‘imajinasi permusuhan’. Kita hanya perlu memahami bahwa
bagaimana sebenarnya proses ‘imajinasi permusuhan’ itu terjadi.
Zimbardo
menuntaskan penjelasannya bahwa proses ‘imajinasi permusuhan’ dimulai
dengan menciptakan konsepsi stereotip terhadap pihak lain, persepsi
dehumanisasi (merendahkan martabat kemanusiaan) orang lain. Di satu
pihak orang lain sangat berharga, sangat kuat, sementara di pihak
lainnya sebagai setan, sebagai monster abstrak, sebagai suatu ancaman
fundamental terhadap nilai-nilai kedamaian dan keyakinan kita.
Sehingga,
dengan memunculkan rasa takut masyarakat dan ancaman musuh yang sangat
dekat, orang akan bertindak tidak rasional, orang-orang bebas bertindak
ceroboh, dan orang-orang yang mencintai perdamaian bertindak sebagai
prajurit. Visualisasi dramatis menggambarkan musuh pada poster,
televisi, sampul majalah, film, dan jejak Internet ke dalam relung
sistem limbik, otak primitif, dengan emosi yang sangat kuat terhadap
ketakutan dan kebencian.
Tentu, kita tidak berharap KPK sebagai
prajurit dan sebaliknya PKS sebagai musuh yang dikonstruksikan harus
dimusnahkan. Semoga di dalam sistem limbik masyarakat Indonesia selalu
muncul konstruksi dengan emosi bahwa PKS yang selalu bekerja, PKS yang
membawa cinta bagi masyarakat dan PKS yang selalu menciptakan harmoni
bagi masyarakat. PKS adalah kerja, cinta dan harmoni. Allah Akbar.
Allahu Akbar. Allahu Akbar.