Mutia Farina, Akhwat Guru Matematika ini menjadi titik tolak perubahan hidupku
By: Abul Ezz
Kamis, 02 Mei 2013
0
Jemmy Hendiko, Lc.
International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia
***
*Penulis : @JemmyHandy on twitter
International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia
***
pkssiak.org - Dalam beberapa kesempatan, saya begitu saja teringat dengan
asupan-asupan spirit tarbawi dan semangat qurani yang telah disuntikkan
oleh guru Matematika saya sewaktu di madrasah aliyah dulu. Seorang ibu
guru akhwat yang inspiratif, muda, enerjik, dan selalu penuh semangat.
Suntikan spirit dan semangat yang pada perkembangannya menjadi titik
tolak perubahan besar pada diri saya. Bahwa betapa di sekolah itulah
saya mulai mengenal arti kesadaran berislam yang sesungguhnya. Bahwa
sejatinya pengakuan sebagai Muslim tidaklah sesederhana dan sekadar
melakukan rutinitas ibadah shalat, puasa, zakat, dan semacamnya. Cakupan
Islam ini luas, ajaran Islam itu menyeluruh. Maka, di samping bimbingan
yang kami peroleh dari para ustadz dan senior, di sekolah itu kami juga
merasa tercerahkan oleh petuah-petuah dan kisah-kisah dari guru
Matematika kami tersebut.
Ibu Mutia Farina. Demikian nama ibu guru Matematika kami nan inspiratif
itu. Beberapa menit sebelum pelajaran usai, beliau kerap bercerita
tentang pergerakan, tarbiyah, dakwah, Palestina, Syaikh Ahmad Yasin,
Hasan Al-Banna, dan sebagainya. Wacana-wacana semacam ini tentu saja
masih baru dan asing bagi saya serta bagi teman-teman yang saat itu
belum begitu mengenal apa itu tarbiyah. Namun, seiring perjalanan waktu,
tanpa sadar hal tersebut secara tidak langsung semakin mengokohkan
tekad dan langkah saya pribadi dalam menapaki jalan dakwah ini.
Dari titik inilah, sejak saat itu saya mulai meninggalkan hobi saya
menggandrungi musik-musik pop dan Barat serta segala hal yang saya rasa
sudah bertentangan dengan pilihan yang saya ambil. Mulai saat itu pula
saya mulai membenahi diri dari hal sekecil-kecilnya dan bertekad menjadi
seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Ya, saya ingin seperti
pahlawan-pahlawan yang diceritakan oleh Ibu Mutia di hadapan kami. Saya
ingin menyerap seutuhnya nilai-nilai keteladanan yang telah diwariskan
oleh Nabi dan para sahabat. Saya ingin… Ah, mungkin inilah secuil dari
manisnya nikmat iman dan Islam itu.
Kembali ke cerita ibu guru Matematika saya tadi. Setiap kali masuk kelas
dan memulai pelajaran, ada satu jargon pembakar semangat yang selalu
beliau lantangkan di hadapan kami. Setiap kali beliau bertanya dengan
gaya khasnya, “Kaifa hâlukum?”, maka kami dengan semangat empat lima
biasanya secara serempak akan menjawab, “Alhamdulillâh… Luar Biasa…
Allâhu Akbar…!!” Tentu saja jawaban-jawaban semacam ini bukan hasil
rangkaian kata-kata kami sendiri, melainkan justru beliaulah yang
“mendiktekan” hingga kami hafal dengan sebegitu mantapnya.
Hasilnya justru sangat luar biasa! Dengan pencerahan-pencerahan tarbawi
yang beliau selipkan sedemikian rupa, pelajaran Matematika yang ketika
itu terkesan “angker” bagi kebanyakan kami dan cenderung tidak kami
sukai, seakan dengan simsalabim tersulap menjadi mengasyikkan oleh
kehadiran ibu guru akhwat itu.
Sejak saat itu, sebagian besar teman-teman saya yang sama sekali tidak
tertarik dengan segala tetek-bengek ilmu hitung-menghitung dengan serta
merta jadi “menyukai” pelajaran Matematika. Terang saja, bukan karena
Matematikanya tentunya. Tapi justru karena ibu guru akhwat yang membuat
kami segan itu, dan juga karena sederetan inspirasi, motivasi, dan
refleksi yang beliau ketengahkan tentang sahabat Nabi, tentang
Palestina, Syaikh Ahmad Yasin, dan sang pembaharu Hasan Al-Banna yang
bagi kami jauh lebih “menarik” ketimbang Matematika itu sendiri.
Maka jadilah jam pelajaran Matematika yang diampu oleh Ibu Mutia itu
sebuah liqa’ yang mengasyikkan. Bahkan, pernah suatu ketika seorang
teman saya berkomentar, seandainya seluruh jam pelajaran Matematika ini
diisi dengan motivasi dan cerita-cerita inspiratif dari Ibu Mutia itu,
tentu akan lebih menarik lagi. Ada-ada saja.
Sampai sekarang pun saya masih suka tertawa geli sendiri jika mengingat
kenangan indah tersebut. Kini, Ibu Mutia Farina sudah tidak lagi
mengajar di sekolah itu. Akan tetapi, spirit tarbawi dan semangat qurani
yang beliau tanamkan dalam jiwa-jiwa kami, akan selalu terkenang sampai
kapanpun. Terima kasih, Ibu Mutia.
*Penulis : @JemmyHandy on twitter
DPD PKS Siak - Download Android App