pkssiak.org - Membaca
rubrik opini majalah Tempo edisi 20-26 Mei 2013 dengan judul
“Patgulipat partai Dakwah”, langsung terlihat betapa kuatnya keinginan
majalah itu dalam menyerang PKS, bahkan bisa dibilang mencoba membunuh
karakter PKS yang saban hari belakangan ini menjadi bulan-bulanan
pemberitaan media. Di rubrik opini itu, Tempo di paragraf pembukanya
langsung dengan bahasa menyerang. Tanpa ragu Tempo menulis “Teori
tentang Ahmad Fathanah dan PKS adalah cerita tentang politik buruk rupa.
Politik yang tak ditujukan untuk kemaslahatan orang ramai, tapi
menghamba pada urusan perut dan bawah perut—politik yang terkontaminasi
oleh korupsi dan esek-esek.”
Kesan
menyerang tak bisa disembunyikan karena dalam paragraf itu Tempo telah
berupaya menjadikan sama (identik) antara PKS dan Fathanah. Bagi Tempo
yang memang dikenal galak dengan PKS itu, mungkin perlu membuka-buka
lembaran surat kabar atau searching google untuk sekadar melihat begitu
banyaknya kerja nyata dan positif PKS di tengah masyarakat. Siapa partai
yang selalu hadir melakukan pelayanan kepada warga seperti bakti
sosial, pertolongan terhadap korban bencana, bazar sembako murah,
pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Jika tempo merasa tidak menemukan
jawabannya di media mainstream atau di google sekalipun, itu karena
memang jarang sekali media besar yang mau meliput kerja-kerja nyata PKS.
Berbeda
dengan para pemilik media besar yang jika membacakan pidato saja, media
miliknya mau siarkan dengan waktu khusus. Jika begitu, Tempo juga bisa
mengutus reporternya untuk turun langsung ke masyarakat, tanya mereka
yang tinggal di gang-gang sempit, bantaran kali, perumahan kumuh,
siapakah partai yang rutin menyapa mereka dengan berbagai kegiatan
positif. Apakah sekian banyaknya aksi nyata PKS di tengah masyarakat itu
harus dilupakan, dan digantikan dengan citra negatif (korupsi dan
esek-esek) hanya karena satu orang Fathanah yang memang pada faktanya
tak pernah mengaku sebagai kader PKS?
Serangan
Tempo itu terus berlanjut dengan mengatakan bahwa sosok Fathanah yang
kedapatan ketangkap di kamar hotel bersama seorang perempuan adalah icon
aib partai dakwah. Padahal sudah jelas bahwa Fathanah itu bukan
siapa-siapa PKS, kader bukan, apalagi petinggi struktural. Namun kenapa
Tempo dengan gampangnya berkata bahwa Fathanah adalah ikon aib PKS.
Apakah kurang klarifikasi dari Fathanah sendiri bahwa dia bukan kader
PKS? Atau Tempo tak peduli dan hanya mau asyik dengan imajinasi
kebenciannya sendiri, karena dalam paragraf selanjutnya Tempo mengatakan
dengan analisa terkesan canggih. “Seperti dalam novel spion Melayu,
aksi Fathanah disangkal petinggi PKS. Politik amputasi ini terkesan
strategis meski sesungguhnya amatiran. Sebab seperti menyembunyikan
bangkai, bau busuk duit Fathanah tak bisa dicegah maruap.” Dalam bagian
itu Tempo terlihat bergerak lebih jauh. Setelah tidak percaya
klarifikasi dari Fathanah bahwa ia bukan kader PKS, ia bahkan
berimajinasi bahwa Fathanah adalah sosok yang coba dibuang oleh PKS
setelah dimanfaatkan dananya. Hal ini menjadikan kita bingung mana fakta
dan mana imajinasi.
Tidak
selesai sampai di situ. Bahkan Tempo kemudian menyerang dengan membuka
front baru. Pada paragraf selanjutnya bukan lagi dengan sosok Fathanah
yang pada awal tulisan rubrik opini sempat menjadi bahan pembahasan
utama dan dijadikan identik dengan PKS. Tempo bergerak dengan sosok baru
bernama Yudi Setiawan. Entah kenapa Tempo beralih pada sosok baru
bernama Yudi Setiawan, mungkin karena sosok ini bisa digunakan untuk
menyerang PKS.
Di
bagian paragraf rubrik opini selanjutnya Tempo menulis tentang Yudi
Setiawan yang dikatakannya memiliki keterkaitan dengan elit PKS dalam
melakukan kejahatan korupsi. Tempo menulis “adalah Yudi Setiawan, sang
pembocor. Ia tersangka kasus pengadaan alat peraga pendidikan di
kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, yang kini mendekam di LP
Teluk Dalam, Banjarmasin. Jauh sebelum terungkap, Yudi membobol banyak
proyek pemerintah, ditengarai dengan bantuan Fathanah,” stop di situ,
dan kita liat, bahwa dalam paragraf itu Tempo mengatakan bahwa sebelum
ditangkap Yudi membobol banyak proyek pemerintah, ditengarai dengan
bantuan Fathanah dan Luthfi. Entah kenapa tiba-tiba Tempo sangat percaya
dengan kesaksian penjahat bernama Yudi Setiawan ini, padahal di awal
Tempo menulis berbagai kejahatan seorang Yudi ini. Mungkin karena
kesaksiannya menyerang PKS, boleh saja dipercaya.
Jika
kita sandingkan antara opini dengan rubrik “laporan utama” Tempo yang
berjudul “Dana Hitam Partai Putih” sebagai ulasan lengkapnya. Di sana
tertulis berdasarkan kesaksian Yudi, ia mengenal Luhfi pertama kali
tanggal 16 Juni 2012 dikenalkan oleh Fathonah. (wawancara Tempo halaman
45). Lalu berdasarkan ulasan di majalah itu hal 36 tertulis bahwa pada
pertemuan kedua tanggal 29 Juni 2012, Luthfi menurut Yudi sudah berani
membicarakan sejumlah proyek yang bisa digarap Yudi. Bahkan sudah berani
buka-buka urusan target pengumpulan dana pemenangan pemilu 2014 yang
disebutkannya berjumlah Rp 2 triliun.
Dikatakan
Yudi, bahwa diskusi mengenai pencarian dana target Rp 2 triliun itu
kemudian diterangkan pada papan tulis samping meja rapat. Sebelum
pertemuan rapat selesai seorang karyawan Yudi memotret papan itu untuk
dokumentasi notulen rapat. Sampai di sini terlihat Tempo di atas angin
karena seolah memiliki fakta otentik tentang upaya pencarian dana PKS
itu. Padahal kalau dipikir secara mendalam, apakah PKS sebodoh itu,
membuka rahasia pencarian dana kepada orang yang baru dikenal? Untuk
urusan penempatan pejabat strukutral di partai saja, PKS termasuk partai
yang sangat hati-hati. Di sana ada alur yang jelas dan rigit.
Penjenjangan karir kader harus dijalankan dari bawah hingga tingkat
atas. Apalagi untuk urusan dapur macam pencarian dana yang dikatakan
Tempo berasal dari dana haram yang diambil dari beberapa kementerian
yang dipimpin oleh elit PKS itu. Sebodoh itukah partai yang terbiasa
bergerak underground sejak jaman orde baru itu? Dan yang lebih aneh lagi
di halaman 40, majalah Tempo menulis Yudi sudah menjadi buruan polisi
berbagai daerah sejak 2011. Tempo menulis “adapun Yudi, simpul utama
dalam kasus pembobolan Bank Jatim, sudah menjadi buruan polisi berbagai
daerah sejak 2011. Soalnya pria kelahiran Surabaya 35 tahun lalu itu
merupakan tersangka dalam belasan kasus korupsi di berbagai kabupaten di
Jawa dan luar jawa. Di Kepolisian daerah Metro jaya, Yudi juga menjadi
tersangka kasus narkotik,” aneh, kok buronan bisa berkeliaran bebas?
Lagi
pula, argumen Tempo untuk mengaitkan Yudi Setiawan dengan beberapa elit
PKS yang disebutkannya seperti Luthfi dan Anis Matta dalam masalah
uang, sangat lemah. Karena dalam rubrik “Laporan Utama” hanya
disebutkan permintaan dana dari (katanya) elit PKS selalu melalui
Fathanah. Seperti pada halaman 36 tertulis: “Permintaan mulai datang
dari Luthfi melalui Fathanah. Pada 7 Juli 2012, Fathanah mengaku
diperintah Luthfi meminta uang tunai Rp 250 juta. Luthfi juga pernah
meminta Rp 1,45 milyar untuk keperluan partai. Sebagian besar uang itu
diterima Fathanah,”
Kemudian
di halaman 37 di rubrik “laporan Utama” juga demikian. Tempo menulis
“Dalam catatan keuangan Yudi yang salinannya diperoleh Tempo, tertulis
sembilan kali penyerahan uang untuk Anis, yang totalnya Rp 7,077
miliyar. Pemberian selalu dilakukan dengan transfer ke rekening
Fathanah,” Jadi seperti di awal, Tempo telah gegabah menyamakan sosok
Fathanah yang selalu meminta uang kepada Yudi dengan PKS. Padahal sejak
dari Fathanah sendiri mengatakan tak ada keterkaitan antara dirinya
dengan PKS.
Tidak
sampai di situ, Tempo bergerak dengan serangan lainnya bahkan tak ragu
dengan menempatkan diri sebagai hakim yang telah memvonis bahwa PKS
dalam hal ini telah benar-benar melakukan korupsi, dan bukan hanya
oknumnya saja, tapi sudah melibatkan organisasi partai. Seperti yang
ditulis Tempo: “Keterlibatan Luthfi dan Anis Matta menunjukkan perkara
Fathanah bukan sekadar masalah oknum, melainkan organisasi. Kuat dugaan
uang itu tak cuma masuk ke kantong pribadi, tapi juga dipakai untuk
menggerakkan organisasi,”
Kemudian
terlihat pada akhirnya, maksud Tempo mengaitkan kasus ini dengan PKS
secara organisatoris pun terungkap pada paragraf selanjutnya. Tempo
menulis “Diskusi pembubaran partai yang terbukti melakukan kejahatan
korporasi selayaknya dilanjutkan. Meski sulit, gagasan itu bukanlah
suatu yang mustahil, setelah dibuktikan di pengadilan, rencana
pembubaran partai bisa diajukan ke mahkamah Konstitusi,”
Luar
biasa Tempo ini, kita lihat alur berpikirnya dimulai dari menyamakan
perilaku Fathanah dalam perkara percobaan penyuapan dan asusila dengan
PKS. Kemudian mengaitkan tuduhan yang masih perlu bukti itu dengan
kejahatan yang melibatkan organisasi. Kemudian ditutup dengan usulan
untuk melakukan pembubaran PKS. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa
rubrik opini ini penuh dengan serangan terhadap PKS sejak dari awal
hingga akhir.
Kita
pun paham bahwa semua media massa pasti memiliki pendapat terhadap
suatu kasus yang ditempatkan di satu rubrik. Banyak sebutannya untuk
rubrik itu, seperti “tajuk utama”, “gagasan”, “editorial, “opini”, dan
sebagainya. Rubrik seperti opini dalam majalah Tempo ini disajikan
sebagai sebuah pendapat media, bukan sebagai berita yang berdasarkan
fakta. Oleh karena itu tak seharusnya pendapat itu disikapi sebagai
sebuah berita. Begitu juga, media tak perlu merekayasa sebuah rubrik
opini sebagai suatu yang berlandaskan fakta dan akhirnya menipu publik.
Setidaknya
kita harus memahami, rubrik opini bukanlah dibangun atas dasar fakta
yang layak dipercaya. Selain itu, dengan melihat opini tempo dari awal
hingga akhir, sebenarnya kita bisa memahami bahwa pemberitaan tendensius
dan berat sebelah sudah pasti jauh dari unsur objektivitas dalam
menyajikan berita. Wallahu a’lam.
By: Ade Wiharso
[dakwatuna]