pkssiak.org - Belakangan
sebuah partai dakwah di-“geber” habis-habisan di media elektronik,
portal berita hingga jejaring sosial populer. Perspektif masyarakat
terhadap pemberitaan terkait korupsi pasti akan menuju pada sebuah
“kesimpulan” yang mengarah pada dukungan media. Kita sering mendengar
“tidak mungkin ada api kalau tak ada asap” kan?, sehingga logis kalau
masyarakat umum pada akhirnya mengambil inferensi/kesimpulan prematur
bahwa kemungkinan adanya “noda” di partai dakwah (seperti tajuk populer
di televisi swasta) itu benar adanya atau menuju kepastian yang 100%.
Salahkah masyarakat?, kalau memang tidak, bagaimana kiranya menjawab
tuduhan itu dengan cerdas, toh para pegiat dakwah memiliki hati yang
menyatu di setiap keadaan. Pegiat dakwah itu tidak mungkin bisa larut
terhadap pemberitaan publik dengan mudah, toh mereka memiliki media
“tabayyun”, tempat melebur bersama saudara dalam forum halaqoh pekanan
mereka hingga kegiatan-kegiatan yang bersikap mengasah soliditas,
ke-tsiqohan (saling percaya) bernama mukhayyam (berkemah bersama para
kader seluruh wilayah). Sehingga salah besar kalau pegiat dakwah dalam
partai dakwah digoyang habis dengan berita dan polemik yang melandanya
kini.
Jadi
apa yang kita harus perbuat dengan adanya pengarahan opini
besar-besaran ini?, kontribusi apa yang perlu kita berikan untuk dakwah
jika terjadi masalah semacam ini?, diamkah kita?. Setelah berpikir
sejenak penulis menemukan kisah abadi nan indah yang ditunjukkan oleh
teladan sepanjang masa kita, Rasulullah saw. Cara beliau dalam
menghadapi polemik adalah dengan ketegaran, buktinya dengan semakin
Rasul diejek dan dihina bahkan para jamaah haji kala itu diperingatkan
untuk tidak mendekati Rasul, namun yang terjadi mereka malah ingin tahu
dan mendekati Rasulullah untuk memahami ajarannya. Setelahnya kita
melihat bagaimana hasil dari baiat aqabah 1 dan 2. Di masa kontemporer
kita juga melihat bahwa yang hak itu pasti akan menang, nyatanya semakin
Islam dijadikan isu global untuk membentuk Islam-phobia, masyarakat
Eropa (terutama Inggris) malah berangsur-angsur menjadikan Islam sebagai
agama/keyakinan barunya.
Loh
korelasinya apa dong dengan dakwah sebuah partai politik?, kita
bukanlah ingin menyamakan jalan dakwah partai ini sebagai jalan
satu-satunya menuju kemuliaan Islam, pun kita tidak pernah menganggap
partai dakwah ini tidak memiliki noda, namun kita memiliki keyakinan
utuh bahwa kita punya teladan dan kita meyakini seyakin-yakinnya bahwa
inilah cara kita membantu agama-Nya. Bukankah para pemimpin partai
dakwah ini selalu menekankan bahwa politik ini bukan tujuan hakiki
karena kita bergerak dan bermimpi lebih jauh lagi, sebuah mimpi tegaknya
Islam yang memiliki kemuliaan. Kemuliaan apa?, kemuliaan ilmu dunia
(science), kemuliaan ilmu akhirat yang ditunjukkan dengan masyarakat
yang madani (sebuah prototype akhlak terindah sepanjang masa di Madinah)
dan kita pada akhirnya ingin mewujudkan kepemimpinan berbasis layanan,
kita ingin mewujudkan pemimpin-pemimpin yang berkarakter pelayan; yang
tidak tidur sebelum majikannya tidur lelap, yang berdoa dengan takzim
untuk kemakmuran majikannya. Siapa majikan pemimpin-pemimpin Islam itu?,
majikan mereka adalah masyarakat, ya masyarakat.
Jadi
jangan bimbang, tapi terus berfikir tentang kontribusi untuk dakwah
ini. Ibaratkan dakwah ini seperti gerbong, ia tidak mungkin terus
berjalan kalau bahan bakarnya sering habis atau tersendat-sendat
distribusinya. Dan yakinlah bahwa bahan bakar gerbong dakwah itu adalah
kontribusi kita, kontribusi kita melalui taklim, pena, fikiran, ilmu,
harta hingga jiwa kita.