Media Sedang Memanfaatkan Kemalasan Kita dalam Membaca
By: admin
Jumat, 24 Mei 2013
0
pkssiak.org - Telah sering kita dengar tentang rendahnya minat baca masyarakat
Indonesia. Banyak penelitian-peneilitian yang membuktikan hal ini, salah
satunya data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan
bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi
baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan
mendengarkan radio 40,3%.
Ada hal yang kemudian menjadi tidak singkron ketika minat baca dihubungankan dengan masih tingginya buta huruf di Indonesia. Pada kenyataannya bahwa buta huruf tetaplah masih lebih sedikit daripada yang bisa membaca, tapi kemudian apakah mereka memiliki kemauan untuk membaca? Tak memiliki kemauan dalam membaca bisa diartikan sebagai bentuk kemalasan dalam hal ini. Kemalasan-kemalasan yang tak bermanfaat tapi justru sangat nikmat untuk dinikmati.
Kemalasan dalam hal ini tidak hanya menimpa masyarakat biasa, tapi juga aktivis dakwah yang katanya di isi oleh orang-orang terpelajar. Kebiasaan yang semakin ke sini semakin menurun ditunjukkan dengan semakin menurunnya minta beli buku dikalangan aktivis dakwah sendiri. Mungkin agak sedikit “ngebanyol” jika hal ini dikaitkan dengan banyaknya aktivis dakwah yang awalnya memiliki usaha toko buku menjadi gulung tikar.
Minat baca ini tak harus selalu berkaitan dengan buku. Begitu banyak fasilitas kita untuk bisa membaca, salah satunya adalah media. Media begitu banyak menyajikan berita-berita yang membuka wawasan kita tentang apapun itu dan yang terbuka wawasannya adalah orang-orang yang benar-benar mau membaca isi media tersebut dan tak terpaku pada judul yang diberikannya. Menurunnya minat baca dikalangan aktivis dakwah ternyata memberikan manfaat postif bagi pihak-pihak yang tak menyenangi aktivitas dakwah dan memberikan dampak negatif pada pribadi aktivis dakwah sendiri.
Sampai dengan saat in tidak ada media yang berpihak penuh pada aktivitas dakwah para aktivis, yang ada bahwa media-media saat ini selalu bermain pada kepentingan dan keuntungan, kebenaran adalah hal yang tak lagi menjadi mutlak dalam pemberitaan. Kondisi tak berpihaknya media-media pada aktivitas dakwah membuat media mencoba membuat berita-berita miring yang menjatuhkan aktivitas dakwah dan cara yang paling mudah adalah dengan membuat judul berita yang fenomenal yang bisa jadi tak singkron dengan isi beritanya.
Kenapa kemudian judul saja bisa menjadi hal termudah dalam mengiring opini? Hal inilah kemudian yang menjadi berhubungan dengan sedikitnya minat membaca. Masyarakatpun kemudian mencoba menjadi manusia yang paling pintar berspekulasi dengan membaca judul saja sudah memahami isi berita, padahal kepintaran yang berkedok kemalasan ini adalah awal dari kebodohan-kebodohan yang akan terus berkelanjutan.
Telah banyak media yang melakukan ini terhadap aktivis dakwah untuk menjatuhkan moral ativis dakwah itu sendiri dan menjatuhkan moral aktivitas dakwah di tengah masyarakat. Munculnya opini-opini nagatif ditengah masyarakat bahkan diantara aktivis dakwah terkait dengan telah membatukarangnya kemalasan-kemalasan dalam membaca dan terlalu cepatnya dalam mengambil kesimpulan dari sebuah judul.
Tak ada salahnya kemudian jika aktivis dakwah mencoba kembali untuk menghidupkan minat baca. Mengubur kembali kemalasan-kemalasan yang berakibat pada mengekornya pada media-media yang kemudian memang tak menyenangi dakwah islam mengukir peradaban. Tak salah jika media memanfaatkan kemalasan ini, selain mendatangkan keuntungan dengan mudah media juga dapat menjalankan kepentingannya tanpa harus merangkai ribuan baris kata kabenaran dalam isi berita.
Haruskah kemalasan ini yang menjadi jalan keruntuhan? Atau kita siap untuk melakukan perubahan sekarang?
Wallahualam
Faguza Abdullah
Ada hal yang kemudian menjadi tidak singkron ketika minat baca dihubungankan dengan masih tingginya buta huruf di Indonesia. Pada kenyataannya bahwa buta huruf tetaplah masih lebih sedikit daripada yang bisa membaca, tapi kemudian apakah mereka memiliki kemauan untuk membaca? Tak memiliki kemauan dalam membaca bisa diartikan sebagai bentuk kemalasan dalam hal ini. Kemalasan-kemalasan yang tak bermanfaat tapi justru sangat nikmat untuk dinikmati.
Kemalasan dalam hal ini tidak hanya menimpa masyarakat biasa, tapi juga aktivis dakwah yang katanya di isi oleh orang-orang terpelajar. Kebiasaan yang semakin ke sini semakin menurun ditunjukkan dengan semakin menurunnya minta beli buku dikalangan aktivis dakwah sendiri. Mungkin agak sedikit “ngebanyol” jika hal ini dikaitkan dengan banyaknya aktivis dakwah yang awalnya memiliki usaha toko buku menjadi gulung tikar.
Minat baca ini tak harus selalu berkaitan dengan buku. Begitu banyak fasilitas kita untuk bisa membaca, salah satunya adalah media. Media begitu banyak menyajikan berita-berita yang membuka wawasan kita tentang apapun itu dan yang terbuka wawasannya adalah orang-orang yang benar-benar mau membaca isi media tersebut dan tak terpaku pada judul yang diberikannya. Menurunnya minat baca dikalangan aktivis dakwah ternyata memberikan manfaat postif bagi pihak-pihak yang tak menyenangi aktivitas dakwah dan memberikan dampak negatif pada pribadi aktivis dakwah sendiri.
Sampai dengan saat in tidak ada media yang berpihak penuh pada aktivitas dakwah para aktivis, yang ada bahwa media-media saat ini selalu bermain pada kepentingan dan keuntungan, kebenaran adalah hal yang tak lagi menjadi mutlak dalam pemberitaan. Kondisi tak berpihaknya media-media pada aktivitas dakwah membuat media mencoba membuat berita-berita miring yang menjatuhkan aktivitas dakwah dan cara yang paling mudah adalah dengan membuat judul berita yang fenomenal yang bisa jadi tak singkron dengan isi beritanya.
Kenapa kemudian judul saja bisa menjadi hal termudah dalam mengiring opini? Hal inilah kemudian yang menjadi berhubungan dengan sedikitnya minat membaca. Masyarakatpun kemudian mencoba menjadi manusia yang paling pintar berspekulasi dengan membaca judul saja sudah memahami isi berita, padahal kepintaran yang berkedok kemalasan ini adalah awal dari kebodohan-kebodohan yang akan terus berkelanjutan.
Telah banyak media yang melakukan ini terhadap aktivis dakwah untuk menjatuhkan moral ativis dakwah itu sendiri dan menjatuhkan moral aktivitas dakwah di tengah masyarakat. Munculnya opini-opini nagatif ditengah masyarakat bahkan diantara aktivis dakwah terkait dengan telah membatukarangnya kemalasan-kemalasan dalam membaca dan terlalu cepatnya dalam mengambil kesimpulan dari sebuah judul.
Tak ada salahnya kemudian jika aktivis dakwah mencoba kembali untuk menghidupkan minat baca. Mengubur kembali kemalasan-kemalasan yang berakibat pada mengekornya pada media-media yang kemudian memang tak menyenangi dakwah islam mengukir peradaban. Tak salah jika media memanfaatkan kemalasan ini, selain mendatangkan keuntungan dengan mudah media juga dapat menjalankan kepentingannya tanpa harus merangkai ribuan baris kata kabenaran dalam isi berita.
Haruskah kemalasan ini yang menjadi jalan keruntuhan? Atau kita siap untuk melakukan perubahan sekarang?
Wallahualam
Faguza Abdullah
[pkssumut]
DPD PKS Siak - Download Android App