KPK vs PKS: Robohnya Pilar Keempat Demokrasi
By: admin
Senin, 13 Mei 2013
0
pkssiak.org - 28 September 2010. Dalam tajuknya, Koran
Tempo menulis judul: Netralitas Siaran Televisi. Koran yang sangat nyinyir
dengan Islam itu menyoroti dua stasiun
televisi: TV One dan Metro TV karena dianggap tidak netral dalam pemberitaan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dalam berbagai kesempatan, TV One kerap
menayangkan kisah sukses para korban lumpur Lapindo dalam membangun kehidupan
baru. Sebaliknya, Metro TV selalu menayangkan soal penduduk yang belum mendapat
ganti rugi dari perusahaan eksplorasi minyak dan gas milik keluarga Aburizal
Bakrie. Keduanya bertolak belakang.
Koran Tempo menduga munculnya siaran yang aneh ini merupakan
dampak persaingan antara Surya Paloh, pemilik Metro TV, dan Aburizal Bakrie,
yang menguasai saham TV One. Keduanya saat itu sedang bersaing memperebutkan
kursi ketua umum Partai Golkar . Koran Tempo kemudian meminta Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) bertindak tegas. Sebab Undang-Undang No. 2/2002 tentang
Penyiaran secara jelas mengatur prinsip, antara lain, memberikan informasi yang
benar dan seimbang. Bahkan, dalam pasal 36 ayat 4 dengan jelas tertulis: isi
siaran wajib dijaga netralitasnya. Mengapa wajib? Berikut kutipan lengkapnya
seperti ditulis Koran Tempo:
”Menegakkan prinsip penyiaran yang adil,
netral, dan seimbang amatlah penting demi melindungi publik dari informasi yang
menyesatkan. Bayangkan jika semua informasi yang disajikan televisi dibiarkan
penuh dengan muatan kepentingan pemilik atau kelompok tertentu. Ini tak hanya
akan menjadi beban masyarakat karena mereka harus lebih kritis mengunyahnya,
tapi juga menyesatkan.”
Dalam perjalanannya, Koran Tempo dan media
lain (detik.com. vivanews.com. kompas.com, media indoensia, dll) ternyata telah bergabung dengan Metro TV dan
TV One dengan memberitakan informasi yang seringkali menyesatkan dan tidak
netral ketika menyangkut Islam (umat dan partai Islam). Mau bukti?
1 1. Mengapa Koran Tempo tak
sekritis itu saat hampir seluruh stasiun televisi selalu memberitakan terorisme
yang dikaitkan dengan Islam. Secara telanjang, bahkan hingga kini, seluruh
stasiun televisi hanya menyandarkan beritanya pada sumber sepihak: kepolisian.
Tak ada satu pun yang netral. Tak ada satu pun media televisi yang kritis
terhadap informasi yang didapat dari kepolisian. Tak ada yang adil dan netral.
Mereka mengunyahnya mentah-mentah. Publik pun pada akhirnya memiliki opini: :
teroris adalah Islam dan Islam adalah teroris.
Opini semacam ini jelas sangat menyesatkan. Bukankah ini yang tak
diinginkan Koran Tempo. Namun, mengapa mereka tak meminta KPI menindak tegas
stasiun televisi?
2 2. Insiden Monas tahun 2008. Koran
Tempo memberitakan sebagai aksi kekerasan umat Islam terhadap AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Islam pun diopinikan
sebagai antikebhinekaan, mengingat saat peristiwa terjadi bertepatan dengan
Hari Pancasila. Padahal, bentrokan antara FPI dan AAKBB disebabkan oleh
provokasi AKKBB. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka sisihkan, dan hanya
memberitakan aksi kekerasan FPI.
Keesokan harinya, Koran
Tempo menampilkan foto headline saat Munarman, tokoh FPI, sedang “mencekik”
seorang laki-laki –yang ditulis mereka sebagai anggota AKKBB–, untuk memberikan
efek dramatis aksi kekerasan FPI. Ternyata, fakta yang sesungguhnya tidak
demikian. Munarman justru sedang berusaha mencegah anggota FPI melakukan
serangan kepada anggota AKKBB.
3 3. Tahun 2011, terjadi insiden
antara warga Ciketing Asem, Bekasi dengan jemaat Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) yang menyebabkan dua orang jemaat HKBP tertusuk tepat di hari ketiga
Idul Fitri. Episode selanjutnya sangat mudah diduga. Berbagai media (cetak dan
elektronik), baik dalam maupun luar negeri, kompak mengangkat peristiwa itu
dengan satu angel yang seragam: kebebasan beribadah. Judul kemudian dibuat
beragam. Beberapa di antaranya: Pemkot Bekasi Diminta Berikan Izin Ibadah untuk
jemaat HKBP (www.detik.com), Romo Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku
Kekerasan (www.detik.com), Indonesia, Belajarlah Toleransi (www.kompas.com),
Kebebasan Beragama Belum Terjamin (www.kompas.com), Ada Pertemuan sebelum
Penusukan (www.kompas.com), Kebebasan Beribadah Terancam (Media Indonesia),
KWI: Gejala Intoleransi Terjadi (www.kompas.com), Sukur Nababan: Ini Tindakan
Biadab, (www.kompas.com), Jemaat HKBP Ditusuk saat akan Beribadah (Koran
Tempo), Christian Worshippers Attacked in Indonesia (New York Times/Associated
Press).
Nah, lakon sejenis juga mereka lakukan
terhadap PKS, partai Islam terbesar di
Tanah Air. Dan satu pekan terakhir aksi mereka bagai gelombang dahsyat yang
siap meluluhlantakkan PKS. Koran Tempo dan kawan-kawannya begitu giat
menghubungkan Ahmad Fathanah (AF) dengan LHI dan PKS. Kebetulan saya sering
sengaja membeli Koran Tempo ketika isu PKS dan Islam sedang hangat-hangatnya.
Sekadar ingin mengetahui cara mereka menyajikan berita.
Dalam headline Koran Tempo Rabu, 8 Mei
2013, tertulis judul: Fathanah Pasok Mobil ke Artis hingga PKS, dilengkapi
dengan foto yang sangat tendensius dan sarkastis. Terpampang ilustrasi empat
orang di dalam mobil dengan posisi AF
memegang kemudi, disampingnya artis Vitalia Shesya (dengan baju ketat dan
bagian atasnya setengah terbuka) dan Ayu Azhari memakai kerudung serta LHI di
belakang dengan wajah tersenyum.
Begitu pula yang dilakukan media lainnya.
Bahkan TV One merasa perlu untuk mewawancara khusus Vitalia Shesya. Tujuannya
satu: agar terbentuk opini AF adalah kader PKS dan begitulah kelakuan kader
PKS: korupsi sekaligus doyan wanita.
Mereka bertambah semangat lagi membuat
berita tak netral dengan menabrak prinsip-prinsip jurnalistik saat terjadi
insiden penyitaan illegal KPK terhadap mobil LHI di kantor DPP PKS. Ramai-ramai
mereka menulis: PKS Melawan KPK; PKS Menghambat Pemberantasan Korupsi, dll. Padahal
mereka hanya
mengandalkan informasi sepihak dari Johan Budi, jubir KPK.
Mengapa media bertindak tidak adil? Itu
karena tubuh media massa terdiri dari beragam irisan: pemilik modal (kapital),
ideologi, kepentingan kelompok atau perorangan, pasar, dan sebagainya. Sudah
menjadi rahasia publik jika kebanyakan media kita—yang menjadi mainstream (arus
utama)—dimiliki oleh pemodal yang beridelogi pluralisme, sekularisme dan
liberalism. Karenanya jangan kaget jika berita yang diangkat pun bertujuan
untuk memuluskan penyebaran ideologi tersebut.
Berkelindan dengan itu, jargon netralitas
media dan sebagainya hanyalah pepesan kosong. Hanya janji-janji manis dan kita
tak lagi boleh berharap kepada media untuk menyajikan informasi yang benar
karena media telah roboh sebagai pilar keempat demokrasi.
Erwyn Kurniawan
[islamedia.web.id]
DPD PKS Siak - Download Android App