KPK Superbody Hukum yang Tak Punya Nyali | @ArniSmart
By: Abul Ezz
Sabtu, 11 Mei 2013
0
pkssiak.org - Di era yang serba
edan ini, hukum dan politik semakin pelik, penuh intrik dan juga
konflik. Kinerja para penegak hukum semakin vakum, dan menyimpang dari
tugas suci. Keadilan kian menciut di negeri ini. Kesejahteraan terpasung
oleh korupsi sistemik-endemik, kebenaran pun hanya sebatas retorika
tanpa realita. Keberadaan KPK ditengah carut marut dan reyotnya hukum di
negeri ini diharapkan mampu melakukan penegakan hukum yang bersih dan
seadil-adilnya.
Indikasi ini terlihat misalnya pada kasus BLBI, Century, Lapindo, Simulator Sim, Wisma Atlet dan Hambalang. Proses penegakan hukum seolah berjalan lambat, dicicil, tebang pilih dan disesuaikan timing-nya agar sesuai dengan ritme dinamika politik menjelang Pemilu 2014, dan kini malah terkesan mengambang tanpa penyelesaian. Padahal jika diperkirakan total kerugian Negara mencapai ratusan Triliyun uang untuk kasus BLBI, 6.7 Trilyun untuk kasus Century, 2,3 Triliyun untuk kasus Wisma atlet dan Hambalang, 600 Milyar untuk kasus Lapindo dan 121 Milyar untuk Simulator Sim. Sungguh nilai nominal yang begitu fantastic untuk negri yang bisa dikatakan jauh dari kata sejahtera. Dan KPK terbukti bungkam dan tak bisa berbuat banyak dalam menyelesai kasus ini.
Bukan hanya itu, intervensi yang di alami oleh KPK dapat kita lihat jelas dalam kasus bocornya sperindik atas nama AU. KPK yang semestinya bekerja dan bertindak atas dasar profesionalisme dan harus lepas dari konflik kepentingan dan intervensi dari pihak-pihak tertentu, bukannya mempertegas dan memperjelas posisinya sebagai lembaga independen jusrtu merespon permintaan dan kegalauan presiden dengan berjanji akan segera menyelesaikan kasus Hambalang agar tak berlama-lama menyeret partainya.
Mari kita bandingkan dengan kasus yang menimpa PKS. LHI, mantan Presiden partai itu, sudah ditangkap oleh KPK, dan sekarang mendekam di Rutan Guntur. Yang perlu digaris bawahi LHI menjadi tersangka hanya karena sebatas dugaan menerima suap dari Fathanah terkait impor daging sapi, ya nominal jelas jauh lebih kecil dari kasus-kasus yang sebelumnya saya paparkan, dan jelas uang suap terseebut belum diterima oleh beliau. Dalam perkembangannya, KPK yang tak kunjung mampu menskenarionakan bukti perkara atas kasus suap itu akhirnya mempelebar kasus tersebut menjadi kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), uang apa yang dicucipun sampai sekarang belum jelas duduk perkaranya.
Dengan sigap KPK memeriksa semua harta LHI, beberapa diantaranya disita. Berhubung LHI dulu adalah Presiden PKS, maka partainya ikut diseret-seret dalam kasus ini. Pembusukanpun mulai dilakukan, aset partai pun diobok-obok oleh KPK lalu disita dengan cara yang arogan dan membabi buta layaknya preman. Berbeda sekali yang dilakukan oleh KPK kepada kasus yang melibatkan petinggi dan anggota partai Demokrat dan Golkar.
Anehnya lagi, pernyataan Nazzaruddin dan Gayus Tambunan yang menyebut beberapa pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi kelas kakap, tidak pernah ditindak lanjuti. Tetapi penyataan Ahmad Fathanah dengan cepat ditindak lanjuti, padahal banyak pernyataan Ahmad Fathanah yang terlihat dengan jelas kebohongannya.
Perbedaan perlakuan ini tentu membuat masyarakat bertanya-tanya ada apa ini, mengapa KPK seolah-olah terkesan tebang pilih dalam menegakkan hukum? Wajar saja jika muncul dugaan politisasi, konspirasi, merasa dizalimi, kriminalisasi, atau apapunlah namanya. Padahal Masyarakat Indonesia menaruh harapan besar pada kredibilitas dan integritas KPK.
Kepada KPK saya berpesan agar jangan tebang pilih kasus. Masih banyak kasus-kasus besar lain yang perlu disidik dan menuntut keberanian dan sikap independen KPK karena melibatkan orang sangat penting di negeri ini.
Teruskanlah misi anda sebagai penegak keadilan, dalam memberantas korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis di negeri ini. Dan bekerjalah profesional berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan keluar dari tekanan piahak manapun, sekali anda tidak netral dan terkontaminasi kepentingan politik tertentu, maka hancurlah kredibilitas anda dimata masyakarat. Semoga para pimpinan KPK menyadari hal ini, kembali pada komitmen awal dan mempertegas posisinya sebagai lembaga yang tidak bisa diintervensi, tentu dengan pembuktian dan kerja nyata bukan hanya sebatas membangun opini dimedia massa.
Oleh : Arni Susanti S.Si | @ArniSmart on twitter
Tapi nyatanya pasca-kriminalisasi Ketua KPK Antasari Azhar, lembaga superbody negara ini bak kehilangan nyali dan tebang pilih. KPK yang digadang-gadang sebagai panglima dalam pemberantasan korupsi belakangan ini larut dalam arus politik yang coba dimainkan para elit politik serta rawan diintervensi oleh kekuatan politik. Sehingga kecenderungan melindungi kepentingan politik tertentu itu tidak bisa dipungkiri.
Indikasi ini terlihat misalnya pada kasus BLBI, Century, Lapindo, Simulator Sim, Wisma Atlet dan Hambalang. Proses penegakan hukum seolah berjalan lambat, dicicil, tebang pilih dan disesuaikan timing-nya agar sesuai dengan ritme dinamika politik menjelang Pemilu 2014, dan kini malah terkesan mengambang tanpa penyelesaian. Padahal jika diperkirakan total kerugian Negara mencapai ratusan Triliyun uang untuk kasus BLBI, 6.7 Trilyun untuk kasus Century, 2,3 Triliyun untuk kasus Wisma atlet dan Hambalang, 600 Milyar untuk kasus Lapindo dan 121 Milyar untuk Simulator Sim. Sungguh nilai nominal yang begitu fantastic untuk negri yang bisa dikatakan jauh dari kata sejahtera. Dan KPK terbukti bungkam dan tak bisa berbuat banyak dalam menyelesai kasus ini.
Bukan hanya itu, intervensi yang di alami oleh KPK dapat kita lihat jelas dalam kasus bocornya sperindik atas nama AU. KPK yang semestinya bekerja dan bertindak atas dasar profesionalisme dan harus lepas dari konflik kepentingan dan intervensi dari pihak-pihak tertentu, bukannya mempertegas dan memperjelas posisinya sebagai lembaga independen jusrtu merespon permintaan dan kegalauan presiden dengan berjanji akan segera menyelesaikan kasus Hambalang agar tak berlama-lama menyeret partainya.
Mari kita bandingkan dengan kasus yang menimpa PKS. LHI, mantan Presiden partai itu, sudah ditangkap oleh KPK, dan sekarang mendekam di Rutan Guntur. Yang perlu digaris bawahi LHI menjadi tersangka hanya karena sebatas dugaan menerima suap dari Fathanah terkait impor daging sapi, ya nominal jelas jauh lebih kecil dari kasus-kasus yang sebelumnya saya paparkan, dan jelas uang suap terseebut belum diterima oleh beliau. Dalam perkembangannya, KPK yang tak kunjung mampu menskenarionakan bukti perkara atas kasus suap itu akhirnya mempelebar kasus tersebut menjadi kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), uang apa yang dicucipun sampai sekarang belum jelas duduk perkaranya.
Dengan sigap KPK memeriksa semua harta LHI, beberapa diantaranya disita. Berhubung LHI dulu adalah Presiden PKS, maka partainya ikut diseret-seret dalam kasus ini. Pembusukanpun mulai dilakukan, aset partai pun diobok-obok oleh KPK lalu disita dengan cara yang arogan dan membabi buta layaknya preman. Berbeda sekali yang dilakukan oleh KPK kepada kasus yang melibatkan petinggi dan anggota partai Demokrat dan Golkar.
Dengan dukungan media mainstream, berita tentang TPPU dan penyitaan properti milik tersangka maupun partai benar-benar membuat PKS menjadi semakin terpuruk di mata masyarakat. Citra mereka semakin buruk, apalagi kasus ini semakin seru karena didramatisir dengan keterlibatan perempuan cantik dan seksi di dalamnya yang mengarah pada gratifikasi seks yang sebenarnya amat ngawur dan sulit untuk dicerna karena tak ada kaitannya sama sekali. Tapi ya begitulah, saat tangan hukum digunakan untuk kepentingan politik, maka nilai-nilai kebenaranpun didistorsikan, fakta hukum diplintir sedemikian rupa untuk menghancurkan kekuatan massa tertentu hingga akhirnya keadilanpun dikebiri tanpa ampun, yang ada tinggal hukum tirani tanpa nurani. Dan tak saya menangkap kesan “drama” KPK dengan PKS ini tidak akan pernah terselesaikan hingga pertarungan Pemilu 2014 terealisasi, PKS “akan terus digoreng” sampai gorong segosongnya.
Anehnya lagi, pernyataan Nazzaruddin dan Gayus Tambunan yang menyebut beberapa pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi kelas kakap, tidak pernah ditindak lanjuti. Tetapi penyataan Ahmad Fathanah dengan cepat ditindak lanjuti, padahal banyak pernyataan Ahmad Fathanah yang terlihat dengan jelas kebohongannya.
Perbedaan perlakuan ini tentu membuat masyarakat bertanya-tanya ada apa ini, mengapa KPK seolah-olah terkesan tebang pilih dalam menegakkan hukum? Wajar saja jika muncul dugaan politisasi, konspirasi, merasa dizalimi, kriminalisasi, atau apapunlah namanya. Padahal Masyarakat Indonesia menaruh harapan besar pada kredibilitas dan integritas KPK.
Kepada KPK saya berpesan agar jangan tebang pilih kasus. Masih banyak kasus-kasus besar lain yang perlu disidik dan menuntut keberanian dan sikap independen KPK karena melibatkan orang sangat penting di negeri ini.
Ingat! untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi di negeri ini KPK di beri subsidi oleh negara Rp.63-70 jt/orang/bulan sesuai PP no 36/2009. Oleh sebab itu jangan hanya berfokus mendramatisir kasus suap kuota impor daging sapi, yang belum jelas kebenarannya. Segera selesaikan kasus hukumnya, jika LHI terbukti bersalah maka segera hukum, jika tidak bersihkan nama baiknya sekaligus partainya!!!. Sigaplah tak perlu mencla mencle. Masih ada kasus Hambalang, kasus BLBI dan kasus Century yang nilainya triliunan jangan dibiarkan mengambang, selain itu ada juga misteri dibalik kasus Antasari maka tuntaskan!.
Teruskanlah misi anda sebagai penegak keadilan, dalam memberantas korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis di negeri ini. Dan bekerjalah profesional berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan keluar dari tekanan piahak manapun, sekali anda tidak netral dan terkontaminasi kepentingan politik tertentu, maka hancurlah kredibilitas anda dimata masyakarat. Semoga para pimpinan KPK menyadari hal ini, kembali pada komitmen awal dan mempertegas posisinya sebagai lembaga yang tidak bisa diintervensi, tentu dengan pembuktian dan kerja nyata bukan hanya sebatas membangun opini dimedia massa.
Oleh : Arni Susanti S.Si | @ArniSmart on twitter
DPD PKS Siak - Download Android App