KPK, PKS dan Politik Devide Et Impera
By: Abul Ezz
Selasa, 14 Mei 2013
0
pkssiak.org - PKS boleh kalah telak dan babak belur dihantam
pemberitaan media. Tapi di lapangan, faktanya bicara lain. Tetap saja
kepercayaan kepada orang tak mudah lekang. Di tengah tendensi miring
akibat propaganda sejumlah media, memang tak sedikit orang yang
terhasut untuk menghakimi dan memvonis PKS. Namun ternyata masih lebih
banyak lagi yang tetap percaya dan menaruh simpati pada partai Islam
terbesar di tanah air ini.
Yang menolak duit yang bukan haknya, yang syubhat apalagi haram, ya “orang PKS”. Yang di sela waktu senggangnya tak lupa membaca Qu’ran mungilnya. Yang di tengah kesibukan, menyempatkan diri melazimkan dhuha. Yang selalu teguh menjaga shalat jamaahnya, dari subuh sampai ke isya. Meski yang demikian bukan cuma “orang PKS” saja, namun dalam benak banyak orang, yang tipikalnya begituan ya “orang PKS”.
Dalam beberapa diskusi, sejumlah teman –yang jelas-jelas bukan kader PKS- mengatakan, “Di kantorku itu, yang jelas kelihatan orang baik dan bersih itu ya kader PKS. Sepeser pun mereka nggak mau terima ‘uang nggak jelas’. Makanya nggak mungkinlah guru mereka begitu. ” Yang lain mengatakan, “Ah, belum tentu PKS yang salah, dari awal aja udah banyak kejanggalan.” Seorang yang lain menimpali, “Iya, kalau giliran LHI, cepat KPK menahan walaupun bukan tertangkap tangan, sementara Andi sama Anas udah sama-sama tersangka masih melenggang bebas. Century malah nggak selesai-selesai. Entah sudah berapa tahun.”
Begitulah pendapat rakyat awam yang jauh dari hingar-bingar keriuhan politik. Rupanya kebanyakan teman juga tak serta merta “mengimani” ayat-ayat TV One, Metro TV atau Majalah Tempo. Mayoritas mereka juga tak mengamini komentar sebagian pengamat politik yang mengatakan pamor PKS akan lekas runtuh dan terjun bebas. Mereka malah secara arif dan bijak mengatakan, “Belum tentu PKS jatuh. Kalau nanti LHI terbukti nggak bersalah, semakin mantaplah citra PKS. Tapi memang kalau terbukti, secara citra, habislah PKS.”
Makanya dari bincang-bincang awam itu, saya dan teman-teman bersepakat bahwa proses hukum harus berjalan. KPK menyita, menahan atau melakukan tindakan hukum apapun, haruslah kita dukung. Apalagi PKS sudah menyambut kedatangan tim penyidik KPK, lengkap dengan spanduk selamat datang. Syaratnya sederhana: datanglah sesuai hukum dan akhlak mulia. Bawa kartu identitas dan surat perintah penyitaan. Setelah itu tak ada lagi yang perlu diperdebatkan.
Akan tetapi, semua ini terkesan begitu besar. PKS dihasut untuk “dikesankan” memusuhi KPK. Tim KPK pun dihasut untuk “dikesankan” mengobok-obok partai dakwah itu. Judul berita di televisi, koran dan media online kian lebay. KPK Versus PKS. PKS Melawan KPK. Konflik KPK dan PKS. Padahal, kalaupun ada, yang bersitegang adalah DPP PKS dengan oknum KPK, dalam hal ini Juru Bicaranya, Johan Budi yang bukan sarjana hukum, mantan jurnalis Tempo, yang dianggap kerap berbohong dalam statement-statementnya untuk mencemarkan nama baik PKS.
Dari awal juga, PKS tak punya niat melindungi atau membela mati-matian LHI. Kader-kader PKS dilarang bicara mengenai kasus LHI, kecuali yang resmi diungkapkan oleh tim kuasa hukum LHI sendiri. Jadi, wajar saya kira ketika Fahri Hamzah, Wasekjen PKS yang aktivis reformasi ’98 dan pendiri Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) itu mengatakan bahwa PKS harus melawan totalitarianisme ketika KPK melakukan “festivalisasi pemberantasan korupsi”.
Apalagi melihat media mati-matian mengekor pernyataan Johan Budi. Lalu muncullah stigma PKS melemahkan KPK. PKS melakukan kriminalisasi kepada KPK. Sampai Tempo bela-belain membuat survey partai apa yang “dianggap” terkorup. Dan tebak hasilnya, bersama Demokrat, PKS menjadi juara. Bukankah sangat aneh, predikat terkorup berdasarkan “anggapan publik” yang sesungguhnya anggapan publik itu mereka kontruksi melalui penggiringan opini dalam berita-beritanya? Padahal faktanya, kader PKS sampai hari ini belum ada yang diputuskan bersalah menjadi terpidana korupsi. Sementara juara asli kompetisi korupsi, Partai Golkar berdasarkan survey malah dianggap relatif bersih dan elektabilitasnya meningkat. Pembodohan macam apa ini?
Teman saya yang sudah menonton film dokumenter “Di Balik Frekuensi” menyatakan maklum saja kalau media kita begitu. Karena telah terjadi oligarki pada pilar keempat demokrasi ini. Di tv merah, tak dikenal istilah lumpur Lapindo, yang ada hanya lumpur Sidoarjo. Sementara di tv biru, bicara kebebasan bersuara hanya ada pada iklan-iklan suci restorasi. Masing-masingnya punya jagoan masing-masing. “Kalau Tempo, entah sudah berapa edisi lagi yang disiapkan untuk tema khusus membahas PKS,” ujarnya suatu kali.
Makanya, KPK harus bekerja lebih cepat, putuskan segera status LHI itu. Memang maling atau bukan. Kalau kasus ini diulur-ulur, terus terang kita harus maklum kalau ada yang menyebut kasus ini penuh dengan nuansa politis. Apalagi kalau baru dikhatamkan pasca Pemilu 2014.
Solusinya sebenarnya tak rumit-rumit amat. KPK bekerjalah yang jujur, objektif dan tanpa intervensi. Tajamkan lagi ujung tombakmu. Jangan hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Sementara PKS, bila nanti LHI terbukti bersalah, introspeksi dirilah. Lakukan evaluasi dan taubat. Karena sebaik-baik orang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat.
Yang dikhawatirkan oleh publik, peristiwa ini adalah politik devide et impera gaya penjajah Belanda. Konspirasi untuk membelah Indonesia, untuk meruntuhkan pejuang anti korupsi Indonesia. Mau tidak mau, perseteruan yang diciptakan ini akan menjatuhkan KPK dan PKS secara bersamaan. Sampai-sampai lembaga –yang mengaku anti korupsi tapi menolak hukuman mati untuk koruptor- Indonesia Corruption Watch (ICW) yang berlambang mata satu ala Dajjal dan penerima suntikan dana asing dari Bloomberg itu mengancam akan membubarkan PKS.
Selama ini, KPK adalah harapan seluruh rakyat untuk memberantas korupsi seantero negeri. Sejauh itu pula, PKS menjadi harapan yang tersisa untuk perbaikan pengelolaan negeri ini. PKS adalah partai yang paling banyak melaporkan penerimaan gratifikasi ke KPK. PKS pula yang dikenal paling getol menolak suap. “Meskipun nggak sempurna, mendinganlah pilih PKS daripada yang lain,“ teman yang lain berpendapat di kesempatan berbeda.
Opini publik akan digiring pada pesimisme perbaikan. Pilihannya ada dua. Satu, KPK ternyata sama saja dengan penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan yang mudah goyah oleh godaan dunia. “Ah, tidak ada lagi yang bisa dipercaya di negeri ini. Hukum menjadi tumpul ketika bertemu kekuasaan.” Dua, PKS itu munafik. Sama saja dengan partai lain. Bedanya dia membawa-bawa jargon agama. Kedua pilihan ini sesungguhnya adalah duka bagi bangsa Indonesia.
Maka, di luar sana, jauh dari keriuhan ini, ada yang bertepuk tangan, berpesta pora sambil mengisap cerutu kapitalismenya. Di luar sana, koruptor sejati tersenyum bahagia melihat lawan mereka saling serang satu sama lain. “Haha, Indonesia tetap dalam genggamanku. Merdeka!”
Anugrah Roby Saputra
http://politik.kompasiana.com
DPD PKS Siak - Download Android App