"JANGAN GUNAKAN HUKUM SEBAGAI ALAT POLITIK"
Fairy Setiyawan
Jurnalis
pkssiak.org - Judul di atas, diambil dari pernyataan penutup Prof . Teuku Nasrullah,
Pakar Hukum Acara Pidana dalam acara Indonesian Lawyer's Club (ILC),
Selasa 14 Mei 2013 dengan tema "Uang Daging Kemana Saja" yang tayang
pukul 19.30.
Mengapa seorang pakar hukum sekelas Prof. Nasrullah sampai perlu
mengingatkan semua pihak untuk tidak menggunakan hukum sebagai alat
penguasa dalam mencapai keinginan-keingannya? Tentu Prof. Nasrullah, dan
kita semua yang mampu melihat dengan jernih, mengetahui bahwa beberapa
kasus di negeri ini (termasuk kasus yang saat ini mengaitkan nama mantan
Presiden PKS, Ustadz Luthfi Hasan Ishaaq - LHI) sarat dengan
kepentingan penguasa (bisa diartikan partai, bisa diartikan kelompok
yang saat ini berkuasa).
Mari sejenak mengurai kekusutan ini...
KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada Ahmad Fathanah (AF) di
Hotel Le Meridien Jakarta tanggal 29 Januari 2013. Dalam OTT tersebut
ditemukan uang tunai Rp 1 Miliar yang menurut keterangan AF berasal dari
2 Dirut PT Indoguna Utama dan akan diberikan kepada Ustadz LHI sebagai
uang suap/pelicin agar PT Indoguna Utama memperoleh tambahan kuota impor
daging sapi dari Kementrian Pertanian.
Sebagai tindak lanjut OTT tersebut, KPK menjemput dan mengenakan status
tersangka dalam kasus dugaan suap impor daging sapi kepada Ustadz LHI.
Setidaknya ada 3 pertimbangan KPK dalam menahan Ustadz LHI.
Pertimbangan pertama, KPK menganggap ada kemungkinan tersangka akan
menghilangkan barang bukti. Kedua, KPK menganggap tersangka memiliki
potensi untuk melarikan diri, membuat-mengganggu atau memengaruhi
saksi-saksi yang akan diperiksa KPK nantinya. Ketiga, ada kecurigaan
bahwa tersangka akan melakukan tindak pidana korupsi lain. Ustadz LHI
dijemput KPK di Gedung DPP PKS di Jln. TB Simatupang Jakarta tanggal 30
Januari 2013.
Penyelidikan KPK pun bergulir sangat cepat untuk kasus AF ini. KPK
seolah tak ingin kehabisan kesempatan untuk membangun kembali citra
positif mereka sebagai penggiat anti korupsi setelah sempat tersandung
kasus bocornya sprindik. Saksi-saksi segera dipanggil. Aliran dana dari
rekening milik AF dibuka ke publik, sita asset para tersangka dilakukan
secara cepat dan dramatik. Media-media nasional pun dilibatkan dalam
tiap gerak KPK sehingga info sekecil apapun segera sampai ke publik.
Media pun segera menyambut dengan headline-headline provokatif. Beberapa
media bahkan memberi ruang tanggapan dalam baris-baris berita mengenai
Ustadz LHI. Bisa dipastikan, ruang-ruang tersebut berisi caci maki
kepada PKS. Tak berhenti di situ, ruang media sosial yang semestinya
dimanfaatkan untuk menebar kebaikan pun berubah menjadi ajang pelepasan
kemarahan publik.
PKS pun bergerak cepat dengan memilih Ustadz Anis Matta sebagai Presiden
PKS menggantikan Ustadz LHI. Simpati masyarakat pun kembali membanjir
untuk PKS. PKS yang diramalkan hancur karena kasus dugaan suap pada
Ustadz LHI pun mampu bangkit kembali. Bahkan lebih kokoh dan solid.
Kenyataan bahwa PKS bertambah kuat, tentu mengkhawatirkan pihak-pihak
lawan politik. Mereka memanfaatkan aksi KPK menangani kasus suap impor
daging sapi sebagai celah untuk menghancurkan dan menghabisi PKS. Apakah
KPK tahu bahwa mereka dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik PKS? Atau
KPK menjadikan diri mereka sendiri sebagai alat politik dari penguasa
negeri?
Mari kita lihat kejadian berikut..
Ketika akan terjadi sita asset berupa kendaraan yang dicurigai milik
Ustadz LHI dan AF di Gedung DPP PKS di Jln. TB Simatupang tanggal 6 Mei
2013, media heboh memberitakan kejadian tersebut sebagai upaya
perlawanan dari PKS kepada KPK.. Apa sebabnya media bisa memberitakan
seperti itu? Tentu tidak bisa sembarangan menulis berita. Seorang
jurnalis, dituntut untuk mengabarkan sebuah berita yang berasal dari
narasumber yang jelas identitasnya.
Berita yang dimuat media nasional terkait sita asset merupakan
keterangan langsung dari Juru Bicara KPK, Johan Budi SP. Inilah satu
contoh keterangan Johan Budi SP : awalnya penyidik KPK akan menyita
mobil itu, namun adanya upaya perlawanan, maka mobil itu akhirnya hanya
disegel.
Disadari atau tidak, pernyataan Johan Budi tadi memicu publik untuk
beropini bahwa PKS melakukan perlawanan atas sebuah tindakan berkekuatan
hukum yang dilakukan KPK. Dalam kenyataannya, KPK melakukan tindakan
tak etis ketika hendak menyita asset berupa kendaraan tersebut (ada
bukti video CCTV mengenai hal ini).
Sementara dalam berbagai kesempatan, Wakil SekJen PKS Fahri Hamzah,
menegaskan sikap PKS yang sama sekali tidak berkeberatan atas penyegelan
dan atau penyitaan asset selama KPK taat pada aturan hukum yang
berlaku.
Konflik ini kemudian memicu media berlomba-lomba mempertemukan PKS dan
KPK dalam ruang diskusi terbuka. Dari ruang diskusi tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa KPK berhak melakukan penyitaan meski tak sesuai dengan
SOP (Standar Operation Procedure - Standar Penatalaksanaan Tindakan) dan
PKS berhak mengajukan keberatan kepada KPK melalui pra peradilan atau
menempuh jalur hukum lainnya.
Puncak diskusi terbuka mengenai konflik sita asset antara KPK dengan PKS
dan orang-orang yang dicurigai sebagai sarana pencucian uang AF terjadi
dalam Indonesia Lawyers Club Selasa, 14 Mei 2013. Banyak pihak awalnya
meramalkan PKS akan tumbang dan hancur dalam diskusi tersebut.
Sayangnya, yang terjadi adalah kebalikannya.
Diskusi tersebut justru membuka mata masyarakat bahwa KPK sudah banyak
melakukan ketidakadilan dalam penegakan hukum. Johan Budi, Juru bicara
KPK yang hadir saat itu berulang kali menegaskan, bahwa keadilan akan
diperoleh saat persidangan. "Biarlah pengadilan yang memutuskan".
Pernyataan Johan Budi memicu pertanyaan, "Sebelum di pengadilan, ada di manakah keadilan dan kebenaran itu?"
Betapa tidak, KPK hanya membuka info mengenai aliran dana AF kepada
pihak PKS dan kepada perempuan-perempuan cantik yang oleh media sering
kali diganti dengan kata "daging mentah". KPK seolah ingin mengaitkan
perilaku hedonis AF dengan PKS. Apakah ini adil?
VS, seorang perempuan yang dikaitkan dengan AF turut menceritakan cara
KPK menyita mobilnya. "Saya berangkat naik mobil dan pulang hanya
membawa kardus-kardus", tutur VS dengan mata berkaca-kaca. "Saya diminta
mengembalikan uang yang diberikan Mas Ahmad (Fathanah).. Saya tidak
tahu uang itu berasal dari mana. Saya sudah berkali-kali menolak
pemberian Mas Ahmad... Saya tidak tahu..". Apakah ini adil?
AA, seorang artis papan atas Indonesia pun keberatan namanya dikaitkan
sebagai "perempuan di sekeliling AF". "Saya hanya memiliki kaitan
profesional sebagai artis yang akan disewa untuk acara Pilkada oleh AF
dan tidak memiliki hubungan pribadi", tandasnya. "Sebagai artis
profesional, saya meminta DP untuk jasa saya, karena saya harus
menghubungi pihak-pihak lain untuk show seperti menyewa band..",
imbuhnya lagi. Meski demikian, AA tak berkeberatan ketika penyidik KPK
memintanya mengembalikan uang yang telah menjadi hak-nya tersebut kepada
KPK.
Kedua perempuan ini diminta mengembalikan uang pemberian AF, atas dasar
dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Hal ini tak pelak membuat
mereka, para pengacara yang hadir dalam ILC tertawa. Bahkan dengan tegas
dan gamblang, Prof. T. Nasrullah menjelaskan soal TPPU menurut pasal 5
UU No. 8 Th. 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang yang menurut beliau selama ini sudah salah
diinterpretasikan oleh KPK.. Sebagai akibatnya, banyak orang yang tidak
tahu menahu dan terkait dengan tindak pidana AF, terkena imbasnya. Dan
ini tentu saja, TIDAK ADIL. Dengan tegas, Prof. T. Nasrullah mengatakan,
"Saya pikir, Ayu ini BODOH BENAR kalau dia kembalikan uang ini...
Termasuk Vita (VS)..".
"Hukum tidak bergerak dalam terjemahan-terjemahan yang menjerat orang tidak salah" (Prof. T. Nasrullah).
Artinya, KPK tidak boleh salah menerjemahkan pasal-pasal UU dalam
menjerat tersangka karena itu sama artinya dengan menempatkan hukum pada
posisi yang tidak benar. KPK juga harus ingat, dalam hukum mereka
adalah policy exector (pelaksana kebijakan), bukanlah policy maker
(pembuat kebijakan). Oleh karenanya, KPK harus sangat berhati-hati dalam
setiap tindakannya. "Bila tindakan KPK dianggap sudah melampaui batas
kewenangan dan bahkan cenderung sewenang-wenang, KPK bisa dilapokan
melalui pra peradilan atau ke polisi", tambah Prof. Nasrullah.
"Ketika penegakan hukum tidak bisa diaudit, ini sudah menjadi luar biasa.." (Prof. T. Nasrullah).
Bila KPK adalah penegak hukum dan penggiat anti korupsi, ada baiknya
publik ikut mengetahui hasil audit KPK, karena lembaga apapun yang tidak
bisa diaudit cenderung rentan untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Sebagai penutup, Prof. T. Nasrullah menambahkan keterangan mengenai
pasal 6 ayat 1 dan 2 dalam UU. 8 Th. 2010 tentang TPPU oleh korporasi.
"Nah, tindakan apa yang terjadi sekarang dan ramai-ramai, di-cu-ri-ga-i
oleh sebagian orang mengarah kepada tuduhan bahwa ada kejahatan
korporasi oleh PKS. Oleh sebagian orang dianggap, ini ujung-ujungnya
menjegal PKS untuk tampil.. Untuk bisa dibekukan berdasarkan UU Pemilu
pada Pemilu 2014. Untuk itu saya katakan, jangan bergerak di luar sistem
hukum. Janganlah hukum dijadikan alat politik..", tandasnya.
Hal ini sebenarnya sejalan dengan keberanian Wasekjen PKS Fahri Hamzah
yang dalam pernyataan penutupnya menegaskan bahwa harga demokrasi yang
kini dinikmati oleh bangsa Indonesia terlalu mahal untuk dinodai oleh
kekuatan lembaga superbody. Untuk itulah, Fahri Hamzah terus menerus
secara lantang mengkritisi KPK.
Apakah kita tidak boleh mengkritisi KPK? Tentu boleh.. Tak hanya itu.
Kita memiliki hak dan kewajiban untuk terus mengingatkan KPK agar tidak
menjadikan hukum dan penegak-penegaknya sebagai alat politik oleh
penguasa. ***
*Penulis: @perimerahjambu on twitter
__
Catatan penulis : seusai menyaksikan ILC, beberapa kawan non muslim menelpon dan mengatakan bersimpati pada PKS. Blessing in disguise :)