Energi Ketulusan
By: Abul Ezz
Minggu, 05 Mei 2013
0
pkssiak.org - Sebelum membincang jauh tentang tema ketulusan, izinkan penulis memulainya dengan satu nama "Sir Edmund Hillary".
Namanya melegenda seiring kesuksesannya menaklukan keangkuhan mount
everest, sebagai gunung tertinggi di planet bumi. Maka tercatalah
namanya sebagai manusia pertama yg berhasil menembus keganasan mount
everest dengan selaksa mitos keangkeran yang menyelubunginya, setelah
hampir ratusan nyawa melayang di ranah peruntungan ini. Tak kurang
seorang Ratu Elizabet II pun yang sejenak saja naik tahta Britania Raya
menganugrahinya gelar kebangsawanan, "Sir" kepada Edmund Hillary.
Tapi ada keunikan lain dibalik cerita sukses seorang Edmund Hillary.
Kala para kolega yang mengucapkan selamat dan jurnalis yang mengabadikan
gambar mengerumuninya sesaat turun dari pendakian, sesosok lelaki duduk
tersandar. Dari wajahnya nampak jelas guratan-guratan kelelahan yang
sangat. Sesekali menghela nafas dalam-dalam melepaskan rasa hati puas
sambil tersenyum menyaksikan ekspresi selebrasi di depannya. Siapakah
dia? Tenzing Norgay. Ya, lelaki Sherpa, sebuah suku yang tinggal di kaki
gunung everest di wilayah hukum Tibet, itulah nama lain dibalik kisah
penaklukan Mount Everest itu. Mengapa? Karena dialah pemandu dalam misi
pendakian itu. Ia bercerita tatkala selangkah lagi mencapai puncak
tertinggi Everest, ia mempersilahkan Edmund Hillery untuk berjalan di
depan. Padahal jika saja ia mau, tentu namanya-lah yg tercatat dalam
sejarah penaklukan Mount Everest karena berjalan di depan sebagai
pemandu. Mengapa itu tak ia lakukan? "Kebahagiaan bagi saya adalah
menghantarkan orang kepuncak Everest dengan selamat. Tidak yang lain".
Meski dengan sikapnya itu, tak ada yang "engeh" padanya, apatah lagi
kelebat blit kamera mengabadikan gambarnya.
Cerita kontras justru dipertontonkan orang-orang di negeri ini. Para
Dermawan tanpa rasa risih memanggungkan amal-amal kebaikannya sembari
tertawa lebar melihat jejalan Dhu'afa bergulat dengan rasa malu dan
harga diri yang compang-camping, mengais rasa iba demi selembar uang
zakat atau sekerat daging qurban. Di tempat lain, para pejabat negeri
ini berkoar tentang keadilan hukum, tentang kesejahteraan bagi rakyat,
tentang anti korupsi, tentang "kesederhanaan" hidup, tentang
keberpihakkan terhadap orang-orang kecil. Tapi sayang itu hanya berhenti
di depan kamera, hanya selubung tipis keshalihan dibalik coreng-moreng
wajah buruk berkelindan kemunafikkan, sepi dari rasa ketulusan.
Andai saja Imam Al-Mawardi (364-450 H) sudi berbagi cerita pada kita tentang pertarungannya dengan ego diri dan rasa sum'ah
(menunjukkan kelebihan diri agar mendapatkan pujian). Ia wafat
dipelukan seorang sahabat. Sedetik sebelum ajal menjelang ia berpesan,
jika tangannya menggenggam erat tangan sahabatnya itu, pertanda ia sudah
mengikhlaskan kitab-kitab karangannya untuk disebar-luaskan. Tetapi
jika sebaliknya, maka ia meminta sahabatnya itu membuang buku-buku
karangannya ke sungai Dajlah. Dan akhir ceritanya adalah ...... beliau
meninggal dalam kondisi tangannya menggenggam erat tangan sahabatnya.
Pertanda rasa tulus dan ikhlas telah memenangkan pertarungan, di
pelataran hati Sang Imam. Hingga akhirnya sampailah pada kita buah
fikirannya yang berharga semisal Al Ahkam As-Sulthaniyah, Adabud Dunya
wa Ad-Din, dll. Rasanya kita menemukan kebenaran ungkapan dari Al-'Abid
Al-Haramain Fudhail bin Iyadh; "Tak ada amal yang paling sulit aku
lakukan di dunia ini selain ketulusan".
Disini kita perlu berhenti dan merenung sejenak tentang energi
ketulusan. Untuk sekedar menenangkan hati dari kegaduhan politik yang
memekakan telinga, dari tikungan-tikungan tajam arah pergerakan yang
terkadang membuat limbung idealisme dan ketulusan kita dalam kerja-kerja
dakwah dan amal-amal siyasah. Sembari terus berkarya untuk negara,
berkhidmat pada umat, meski media luput meliput dan kamera alfa mewarta.
Hingga akhirnya amal itu sendiri yang bersaksi di mahkamah ilahi.
Nanti...!
Wallahu a'lam bii shawab.
DPD PKS Siak - Download Android App