Abbas As-Sisi |
Kesan pertama yang ditinggalkan seorang da’i di hati mad’u (objek da’wah)nya adalah harapan akan masa depan. Kelapangan dada dan terbukanya hati mad’u sangat tergantung pada besarnya pengaruh pertemuan pertama antara sang da’i dengan mad’unya. Oleh karena itu, seorang da’i harus terwarnai oleh ruh da’wah, baik secara kejiwaan maupun perilaku.
pkssiak.org - Seorang da’i harus benar-benar
berorientasi kepada Allah dalam setiap langkahnya, agar dibukakan oleh
Allah hatinya dan hati orang yang menjadi sasaran da’wahnya. Bila
tujuannya tidak tercapai dan tidak mampu menembus hati manusia lewat
cara ini karena setiap orang punya kondisi berbeda yang tidak diketahui
ke-cuali oleh Allah maka ia harus ingat firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan
mereka menda-patpetunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberipetunjuk
(memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al Baqarah: 272)
Dalam hal ini saya jadi teringat sebuah
kisah yang pernah saya alami. Saya memiliki seorang sahabat yang sangat
saya cintai, namun suatu saat muncul pemikiran yang berbahaya dari
dirinya. Saya berusaha mengingatkan dengan memberi beberapa buku
literatur, dengan harapan Allah berkenan membuka hatinya hmgga memiliki
satu pandangan dan tetap saling mencintai. Tetapi upaya ini tidak
berhasil. Ketika saya sedih atas kejadian ini, saya terhibur ketika
mencoba menghayati firman Allah,
“Sesungguhnya engkau tidak akan
dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi
Allah-lab yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki- Nya, dan
Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al Qashash: 56)
Saya lama-lama merenungkan kata “man ahbabtd” (orang
yang kamu cintai), hingga akhirnya menyadarkan saya bahwa cinta yang
dalam bukan penyebab datangnya hidayah, akan tetapi Allah lah yang
memberi hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya.
Seorang da’i yang mengalami kegagalan
dalam mencapai tujuan seperti yang saya sebut di atas, saya kira tidak
akan kembali lagi kepada orang yang sama. Akan tetapi, ia akan
mempelajarinya untuk beberapa waktu. Dia akan mengevaluasi kembali hal
tersebut bersama teman yang lain, setelah membekali diri dengan berbagai
pengetahuan tentang karakter, situasi, dan lingkungan. Boleh jadi,
sebagian waktu lebih menguntungkan dari sebagian waktu yang lain; atau
sebagian kondisi lebih menguntungkan daripada sebagian kondisi yang
lain. Banyak orang yang memiliki kondisi pribadi tertentu yang
membuatnya tidak mudah terbuka, tetapi setelah beberapa waktu berselang,
kondisinya berubah dan Allah memudahkan urusan serta membukakan
hatinya.
Maka, kita sebagai seorang da’i tidak
boleh bersikap tergesa-gesa ketika hendak memutuskan hubungan dengan
seseorang, apalagi terhadap seorang mad’u. Kita wajib memahaminya sehingga tidak terjebak pada sikap putus asa dan mudah memutuskan hubungan.
Satu hal lagi yang ingin saya ingatkan
kepada para da’i adalah “penampilan seorang da’i harus berseri-seri dan
ceria dalam segala situasi dan kondisi.” Maka seorang da’i tidak boleh
bermuka masam dan cemberut sewaktu menghadapi seseorang, tetapi berwajah
ceria ketika menghadapi yang lain. Bahkan seharusnya ia selalu
berlapang dada dan ceria. “Carilah kebaikan di saat wajah sedang ceria”, demikian
kata pepatah. Sesungguh-nya dalam hati setiap orang tersimpan potensi
besar bagi da’wah, karena hati seseorang secara fitrah senang kepada
semua yang menyambut dan melayaninya dengan baik. Allah berfirman,
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan
berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kalian
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?” (‘Abasa: 1-4). [HA]