Oleh: Ustadz Abdul Muiz
pkssiak.org - Anas bin Malik mengatakan tentang Abdullah bin Ummi Maktum yang secara
kondisi fisik buta. Tapi pada perang Yarmuk, Abdullah bin Ummi Maktum
hadir di tengah para mujahidin di medan perang, memakai baju besi,
memegang bendera. Anas bin Malik bertanya, wahai Abdullah bin Ummi
Maktum, bukankah Rasulullah saw telah memberi udzur kepadamu? Ia
menjawab, “Ya betul, memang dalam Al Quran telah diberikan udzur kepada
orang buta. Tetapi saya menginginkan dengan kehadiran saya di sini, di
medan perang, paling tidak dapat menambah jumlah tentara Islam.”
***
Diceritakan lagi ketika tentara Holagu masuk ke kota Baghdad, terdapat
seorang ulama yang juga buta. Dia menghadang tentara dengan mengayunkan
pedang ke kanan dan ke kiri barangkali ada musuh yang kena. Secara
logika, apa yang bisa dilakukan oleh orang yang dalam kondisi seperti
itu? Barangkali kalau dia duduk di rumah dia tidak dosa dan tidak ada
pertanggung jawabannya di sisi Allah. Tapi masalahnya, ia ingin
berkontribusi, ingin aktif.
***
Kisah kisah semacam ini banyak dalam kisah tabiin. Yang kita inginkan
dalam tarbiyah adalah para kader dakwah seperti itu. Meskipun sudah
udzur tetap saja bersemangat berjuang, berjuang, berjuang. Kendala
fisik, materi, kondisi ekonomi, minimnya sarana, dan kendala-kendala
duniawi lain bukanlah halangan manakala iman sudah tertanam kuat di
dada.
Suatu ketika Imam Ahmad bin Hambal ditanya muridnya,
“mataa yajidul abdu tha’marrahah?”
("kapan seseorang bisa beristirahat?”)
Ia menjawab,
“Indamaa yatha’u ihda qadamaihi fil jannah”
(“Jika kita telah menginjakkan kaki di Surga, maka disanalah kita akan beristirahat”).
Artinya sebelum mati, tidak ada waktu untuk senang senang istirahat.
Laa rahata li du’at illa ba’dal mamaat (tidak ada kamus berleha-leha bagi para da'i kecuali setelah mati). Itu kata Syaikh Ahmad Rasyid.
Jadi barangsiapa yang mau istirahat silahkan mati. Meskipun setelah itu
juga belum tentu bisa istirahat karena tidak ada amal.***