Peran Politik Muslimah
By: admin
Minggu, 28 April 2013
0
Sebelum bicara lebih jauh, sebaiknya kita cari tahu dahulu apa itu As Siyasah Asy Syar’iyyah
dalam Islam. Sebab, pemahaman terhadap suatu objek berdampak langsung
terhadap penyikapan apa pun yang terkait dengan objek tersebut.
Pemahaman yang lurus dan utuh, akan membawa sikap yang lurus dan utuh
pula. Pemahaman yang parsial (tidak utuh) dan bengkok, akan membawa sikap yang parsial dan bengkok pula. Sebab, bayangan hanya akan mengikuti benda aslinya.
Secara bahasa (lughatan), As Siyasah berasal dari kata سَاسَ yang artinya mengatur, memimpin, dan memerintah. ساس القوم (Saasa Al Qauma): mengatur, memimpin, dan mengatur kaum itu. السائس (As Saa –is): pengatur, pemimpin, manajer, administrator.[1] Sedangkan السياسة (As Siyaasah) artinya: administrasi, manajemen.[2]
Dikatakan سَاسَ الرَّعِيّة يَسُوسها سِيَاسَة (Saasa Ar Ra’iyyah yasuusuha siyasatan): mengatur rakyat dengan siyasah (politik).[3] DIkatakan pula ساسَ وسِيسَ عليه(Saasa wa siisa ‘alaih): mendidik dan dididik.[4]
Jadi, dari sisi bahasa, mana politik
adalah berputar pada mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, dan
mendidik. Seluruhnya adalah makna positif dan mulia.
Makna secara syariat (syar’an), telah didefinisikan secara brilian oleh Imam Ibnu Aqil Al Hambali Rahimahullah[5], sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai berikut:
السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ
الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ
وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛ فَإِنْ أَرَدْتَ
بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ
يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا
نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى
مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا
يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ
الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ،
وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي
الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .
“As Siyaasah (politik) adalah aktifitas yang memang melahirkan maslahat bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad), walau pun belum diatur oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
wahyu Allah pun belum membicarakannya. Jika yang Anda maksud “politik
harus sesuai syariat” adalah politik tidak boleh bertentangan dengan
nash (teks) syariat, maka itu benar. Tetapi jika yang dimaksud adalah
politik harus selalu sesuai teks syariat,
maka itu keliru dan bertentangan dengan yang dilakukan para sahabat.
Para khulafa’ur rasyidin telah banyak melakukan kebijaksanaan sendiri
yang tidak ditentang oleh para sahabat nabi lainnya, baik kebijakan
dalam peperangan atau penentuan jenis hukuman. Pembakaran mushhaf
(kecuali mushhaf Utsmani, pen) yang dilakukan oleh Utsman semata-samata
pertimbangan akal demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi
Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid. Umar bin Al Khathab juga
pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.”[6]
Lalu Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengomentari:
قُلْتُ : هَذَا مَوْضِعُ مَزَلَّةِ أَقْدَامٍ ، وَمَضَلَّةِ أَفْهَامٍ ، وَهُوَ مَقَامٌ ضَنْكٌ فِي مُعْتَرَكٍ صَعْبٍ…
“Aku (Ibnul Qayyim) berkata: Inilah
tema yang membuat tergelincirnya langkah manusia, tersesatnya pemahaman,
dan menghasilkan pemikiran sempit dan perdebatan yang sengit …”[7]
Dalam kitabnya yang lain, Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah juga berkata:
فَلَا يُقَالُ : إنَّ
السِّيَاسَةَ الْعَادِلَةَ مُخَالِفَةٌ لِمَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ ، بَلْ
هِيَ مُوَافِقَةٌ لِمَا جَاءَ بِهِ ، بَلْ هِيَ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَائِهِ ،
وَنَحْنُ نُسَمِّيهَا سِيَاسَةً تَبَعًا لِمُصْطَلَحِهِمْ ، وَإِنَّمَا
هِيَ عَدْلُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، ظَهَرَ بِهَذِهِ الْأَمَارَاتِ
وَالْعَلَامَاتِ .
“Maka, tidaklah dikatakan, sesungguhnya
politik yang adil itu bertentangan dengan yang dibicarakan syariat,
justru politik yang adil itu bersesuaian dengan syariat, bahkan dia
adalah bagian dari elemen-elemen syariat itu sendiri. Kami menamakannya
dengan politik karena mengikuti istilah yang mereka buat. Padahal itu
adalah keadilan Allah dan RasulNya, yang ditampakkan tanda-tandanya
melalui politik.”[8]
Apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim ini adalah benar, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ
“Adalah Bani Israil, dahulu mereka di-siyasah-kan oleh para nabi.”[9]
Maka, politik yang adil merupakan
perilaku para nabi terhadap umatnya terdahulu, dengan kata lain politik
adalah salah satu warisan para nabi.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini, katanya:
أَيْ : يَتَوَلَّوْنَ
أُمُورهمْ كَمَا تَفْعَل الْأُمَرَاء وَالْوُلَاة بِالرَّعِيَّةِ ،
وَالسِّيَاسَة : الْقِيَام عَلَى الشَّيْء بِمَا يُصْلِحهُ .
“Yaitu: mereka (para nabi) mengurus urusan mereka (Bani Israil) sebagaimana yang dilakukan para pemimpin (umara’) dan penguasa terhadap rakyat. As Siyasah: adalah melaksanakan sesuatu dengan apa-apa yang membawa maslahat.”[10]
Al Hafizh[11] Ibnu Hajar Rahimahullah memberikan syarah (penjelasan) sebagai berikut:
وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى
أَنَّهُ لَا بُدّ لِلرَّعِيَّةِ مِنْ قَائِم بِأُمُورِهَا يَحْمِلهَا عَلَى
الطَّرِيق الْحَسَنَة وَيُنْصِف الْمَظْلُوم مِنْ الظَّالِم .
“Dalam hadits ini terdapat isyarat,
bahwa adanya keharusan bagi rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan
mengurus urusan mereka dan membawa mereka kepada jalan kebaikan, dan
menyelamatkan orang yang dizalimi dari pelaku kezaliman.”[12]
Demikianlah hakikat As Siyasah Asy Syar’iyyah
yang dipaparkan oleh para ulama kredibel berdasarkan pemahamannya
terhadap kesucian syariat Islam. Politik –pada dasarnya – adalah mulia,
penuh keadilan, memiliki maslahat, mengurangi mafsadat, jauh dari kekotoran hawa nafsu dunia; intrik, menghalalkan segala cara, tipu menipu, dan saling sikut. Dengan kata lain, politik merupakan salah satu bentuk amal shalih bagi manusia, baik laki-laki atau perempuan.
Namun, penyikapan dan penilaian manusia terhadap politik telah berubah
seiring perubahan realita politik itu sendiri, setelah diracuni oleh
pemikiran Nicolo Machiaveli, yakni tubarrirul wasilah
(menghalalkan segala cara). Politik hari ini telah jauh dari dasar-dasar
syariat, melainkan berkiblat kepada politik kezaliman yang dikembangkan
oleh para tiran. Hingga akhirnya seorang reformis seperti Syaikh
Muhammad Abduh pun berkata: aku berlindung kepada Allah dari politik,
politikus, kajian politik, dan membicarakan politik.
Demikianlah kabut yang telah menutupi
wajah politik sejak berabad-abad lamanya hingga hari ini. Tetapi,
realita hari ini bukanlah hakikat politik itu sendiri, melainkan lebih tepat disebut sebuah kejahatan yang berdiri sendiri atau ‘penumpang gelap’ dalam dunia politik.
Ruang Lingkup Politik
Politik hari ini telah mengalami
penyempitan medan amalnya, yakni seputar pada kepemimpinan, kekuasaan,
pemerintahan, kebijakan negara, dan perundang-undangan. Inilah gambaran
politik yang langsung ada di kepala kita, baik kaum terpelajar atau
orang awam. Bicara politik tidak akan jauh dari itu semua. Hal itu benar
jika dikatakan sebagai bagian dari politik saja. Sebab As Siyasah Syar’iyyah
–yang di dalamnya terdapat keadilan Allah dan RasulNya- tidak mungkin
hanya dirasakan dan berada di ruang lingkup yang terbatas dan dilakoni
oleh segelintir manusia. Tentu, hal itu jauh dari ruh ajaran Islam
sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Politik –dengan segala makna dasarnya;
mengatur, mendidik, menguasai, mengurus, dan memimpin- sangat jelas dia
juga ada pada zona kehiduan manusia yang lain, bahkan yang sangat
pribadi sekali pun. Politik ada dalam rumah tangga, politik ada dalam
dunia pendidikan, politik ada dalam dunia ekonomi, politik ada dalam
kehidupan bertetangga, dan tentunya ada pula dalam dunia dakwah. Bahkan
esensi dakwah adalah juga politik, sebab keduanya sama-sama upaya untuk
mengatur, mendidik, mengurus, dan menguasai manusia dengan aturan-aturan
Allah Ta’ala.
Muslimah Berpolitik
Setelah kita mengetahui kedudukan
politik dalam Islam, bahwa dia juga merupakan ladang untuk beramal
shalih. Maka, ladang ini merupakan ladang semua hamba Allah Ta’ala.
Kewajiban beramal shalih tidaklah dibebankan untuk orang per orang saja
tetapi semuanya. Tugas membenahi masyarakat, memperbaiki kehidupan,
bukan hanya tugas laki-laki.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At
Taubah (9): 71)
Pembebanan syariat atas laki-laki dan
perempuan adalah sama, kecuali memang hal-hal tertentu yang dikhususkan
bagi kaum perempuan (seperti haid, istihadhah, nifas, persalinan,
penyusuan. Dan warisan). Keduanya adalah sama-sama hamba Allah Ta’ala
yang dituntut untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala, amar ma’ruf nahi munkar, dan memakmurkan dunia. Keduanya pun dituntut untuk kerjasama sesuai firmanNya: “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.”
Kita melihat sendiri, tidaklah laki-laki
munafiq menyerang Islam melainkan pasti di samping mereka ada perempuan
munafiq yang mendukung mereka. Tidaklah laki-laki kafir menyerang Islam
melainkan pasti di sampingnya perempuan kafir juga menyokong mereka.
Tidaklah laki-laki sekuler menyerang agama, melainkan berdiri di
sampingnya pula perempuan sekuler. Hal ini dengan jelas disebutkan oleh
Allah Tabaraka wa Ta’ala:
“Orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka
menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka
menggenggamkan tangannya …” (QS. At Taubah (9): 67)
Dalam ayat lainnya:
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian
mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para
Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu,
niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
(QS. Al Anfal (8): 73).
Maka, tuntutan saling tolong menolong
dalam kebaikan antara laki-laki dan perempuan, termasuk yang ada pada
dunia politik, merupakan tuntutan syariat yang sangat jelas dan
realistis.
Peran Muslimah Pada Masa Awal Islam
Pada masa-masa terbaik Islam, justru menampakkan peran serta Muslimah yang sangat penting.
Suara pertama yang mendukung dan membenarkan kenabiannya adalah suara wanita yakni Khadijah binti Khuwailid.
Syuhada pertama dalam Islam adalah
seorang wanita, yakni Sumayyah, ibu Ammar bin Yasir, yang dibunuh oleh
Abu Jahal karena mempertahankan keislamannya.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu bersembunyi di goa (Jabal Tsur), Asma binti Abu Bakar-lah[13] yang bolak-balik membawakan makanan untuk mereka berdoa, padahal kondisinya sedang hamil.
Ketika perang Uhud, Ummu Salith adalah
wanita yang paling sibuk membawakan tempat air untuk pasukan Islam,
sebagaimana yang diceritakan Umar bin al Khathab.[14] Ummu Salith juga pernah berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya, membuat enam bab tentang peran Muslimah dalam peperangan yang dilakukan kaum laki-laki.
- Bab Ghazwil Mar’ah fil Bahr (Peperangan kaum wanita di lautan)
- Bab Hamli Ar Rajuli Imra’atahu fil Ghazwi Duna Ba’dhi Nisa’ihi (Laki-laki membawa isteri dalam peperangan tanpa membawa isteri lainnya)
- Bab Ghazwin Nisa’ wa Qitalihinna ma’a Ar Rijal (Pertempuran wanita dan peperangan mereka bersama laki-laki)
- Bab Hamlin Nisa’ Al Qiraba Ilan Nas fil Ghazwi (Wanita membawa (tempat) minum kepada manusia dalam peperangan)
- Bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi (Pengobatan Wanita untuk yang terluka dalam peperangan)
- Bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah (Wanita Memulangkan Pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah)
Selain Ummu Salith, kaum Muslimah juga ikut berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
seperti Ummu ‘Athiyah, Umaimah binti Ruqaiqah, dan kaum wanita Anshar.
Sebagaimana yang diceritakan secara shahih oleh Imam An Nasa’i.[15]
Masih banyak lagi peran Muslimah pada
masa awal seperti peran ketika hijrah ke Habasyah, peran dalam
pendidikan, dan lainnya. Semuanya menunjukkan bahwa Islam menempatkan
keduanya seimbang saling mengisi dan bekerjasama secara normal.
Syubhat dan Jawabannya
Ada beberapa syubhat (keraguan) yang dilontarkan oleh sebagian orang untuk mencegah wanita keluar rumah dan mengambil hak-haknya yang syar’i. Apalagi berpolitik dan berperan di parlemen, itu lebih haram lagi menurut mereka.
Syubhat Pertama: Wanita Diperintah untuk Tinggal di Rumah
Mereka berdalil dengan ayat:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu ..” (QS. Al Ahzab (33): 33)
Ayat ini dijadikan alasan agar para
Muslimah tidak ke mana-mana, hanya di rumah saja. Pemahaman tersebut
tertolak, karena lima hal:
Pertama, ayat tersebut adalah khusus bagi para isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana tertera dalam ayat sebelumnya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain ..” (QS.
Al Ahzab 933): 32). Meneladani para isteri nabi adalah keharusan,
tetapi tidak berarti mencegah para wanita selain mereka untuk keluar
rumah dalam rangka mengambil hak-haknya yang syar’i seperti menuntut
ilmu, mengajar kaum wanita lain, berobat, berdakwah, ke pasar,
mengunjungi famili dan orang tua, menjenguk orang sakit, dan lainnya.
Taruhlah, ayat ini juga berlaku bagi semua wanita beriman, tapi itu
–sekali lagi- bukan alasan untuk mencegah mereka untuk melakukan
aktifitas syar’i yang butuh mereka lakukan.
Kedua, para sahabiyah
adalah kaum wanita yang paling bertaqwa kepada Allah Ta’ala, paling
tahu adab, paling paham agama, dan paling meneladani isteri nabi,
dibanding wanita zaman ini. Namun demikian, mereka tetap ikut berjuang
bersama laki-laki sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, mereka
mendatangi majelis ilmu bahkan nabi punya pertemuan di hari tertentu
untuk mengajarkan mereka, mereka ikut berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan aktifitas lainnya yang membutuhkan mereka harus keluar rumah bahkan berinteraksi dengan laki-laki. Para sahabiyah
yang memiliki keahlian mengobati ketika berperang, tentu keahlian
tersebut tidak datang sendirinya melainkan mereka harus mencari ilmunya.
Untuk zaman ini, maka para wanita harus belajar di fakultas kedokteran,
apalagi keberadaan dokter Muslimah sangat dibutuhkan untuk mengobati
atau mengurus wanita Muslimah yang ingin melahirkan.
Ketiga, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, wanita yang paling faqih pada zamannya, juga keluar rumah bahkan memimpin pasukan ketika konflik dengan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal
(Unta). Beliau memimpin pasukan dari Madinah ke Bashrah, dan para
sahabat nabi pun ada yang ikut dalam rombongannya, dua orang dia
antaranya adalah sahabat yang tergolong dijamin masuk surga dan seorang
lagi termasuk enam ahli syura yaitu Thalhah dan Az Zubeir. Walau,
akhirnya ‘Aisyah menyesali ijtihadnya untuk menuntut kematian Utsman bin
Affan kepada Ali bin Abi Thalib hingga terjadi pertumpahan darah sesama
Muslim. ‘Aisyah (bersama ayahnya) pun pernah menjenguk Bilal bin Rabbah
ketika sakit (HR. Bukhari), oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan bolehnya wanita menjenguk laki-laki sakit selama aman dari
fitnah, dan beliau membuat bab tersendiri untuk masalah ini. ‘Aisyah
juga pernah nonton pertunjukkan orang Habsyah ketika Idul Fithri bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kisah ini masyhur.
Empat, keluarnya para
wanita kafir, munafiq, dan sekuler, menuntut keluar pula para Muslimah
untuk melawan mereka, menahan pemikiran jahat mereka, dan membendung
akhlak kotor mereka. Tidak cukup melawan mereka di dalam rumah sambil
mematikan acara televisi yang buruk, atau menidurkan anak bercerita
kisah sahabat nabi, itu semua baik dan penting, namun tidak cukup.
Fenomena penolakan RUU APP yang dilakukan oleh kaum wanita kafir (yakni
Kristen), munafiq, dan sekuler, semakin membuktikan betapa pentingnya
kaum wanita Muslimah mendampingi kaum laki-laki untuk melawan mereka
secara umum.
Kelima, melarang wanita
keluar rumah adalah benar hanya pada kondisi tertentu, yakni ketika
mereka dihukum karena kekejian (zina) yang mereka lakukan. Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan (terhadap) Para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara
kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya.” (QS. An Nisa’ (4): 15)
Syubhat Kedua: Wanita Bukan Pemimpin Laki-Laki
Mereka menganggap wanita yang menjadi
anggota parlemen telah menjadi pemimpin bagi laki-laki. Pernyataan ini
tertolak karena dua hal:
Pertama, anggota dewan
bukanlah pemimpin, bukan presisden, bukan perdana menteri, bukan pula
kepala daerah, atau definisi apa pun yang bermakna pemimpin. Anggota
dewan, sesuai dengan namanya, adalah wakil rakyat dari masing-masing
daerah. Oleh karena itu parlemen dikenal dengan istilah Majlis An Niyabiyah (majelis perwakilan) bukan Majlis Al Imamah (majelis kepemimpinan). Mereka adalah pengawas pemerintah dan legislator (perumus undang-undang).
Dalam Islam, fungsi pengawasan bisa
diartikan dengan penegak amar ma’ru nahi munkar dan pemberi nasihat,
maka di sinilah letak pentingnya keberadaan para da’i dan da’iyah di
sana. Telah masyhur kisah seorang wanita yang menasihati Khalifah Umar
dalam hal pemberian mahar, dan kisah ini sanadnya dikatakan bagus oleh
Imam Ibnu Katsir. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun pernah mendapat masukan dari Ummu Salamah pada saat perjanjian Al Hudaibiyah dan langsung diterapkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Intinya wanita berhak memberikan masukan, nasihat, amar ma’ruf nahi
munkar, kepada pemimpin, baik dia sebagai rakyat biasa, apalagi sebagai
anggota dewan yang memang ktulah tugasnya.
Sebagai fungsi legislator, tugas
mereka bukan mencipta hukum dan undang-undang, sebab itu hanyalah hak
Allah Ta’ala semata. Namun, yang mereka lakukan adalah merumuskan
hukum dan undang-undang yang belum ada nashnya, atau masih nash
umum yang masih membutuhkan perincian. Tugas ini (ijtihad/legislasi)
bukanlah kekhususan buat laki-laki, melainkan untuk setiap Muslim yang
memiliki kecakapan. Ummul Mu’minin, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha
merupakan wanita mujtahid dan mufti di zamannya. Para sahabat nabi
sering meminta pejelasan dalam berbagai hal kepadanya. Hal ini telah
dihimpun oleh Imam Az Zarkasyi dalam kitab Al Ijabah Li Istidrakati Aisyah ‘Alash Shahabah, lalu diringkas oleh Imam As Suyuthi dalam Ainul Ishabah.
Memang, dalam sejarah masa lalu amat jarang wanita yang menjadi ahli
ijtihad, namun saat ini banyak Muslimah yang memiliki kecakapan seperti
laki-laki, bahkan melebihinya.
Syubhat Ketiga: Sad Adz Dzara’i (Pencegahan) Agar Wanita Terhindar dari Fitnah
Ini adalah alasan selanjutnya. Mencegah
diri dari potensi fitnah adalah baik dan mulia. Namun, berlebihan dalam
pencegahan adalah sama bahayanya dengan sikap tanpa pencegahan, yaitu
sama-sama menghilangkan maslahat, lalu lahirnya mudharat. Atau, bebas
dari mudharat kecil dan pribadi, namun mengorbankan maslahat
besar dan umum. Melarang wanita keluar rumah untuk ikut pemilu, atau
kiprah politik lainnya, dengan alasan khawatir terjadi fitnah, yang
dengan pelarangan itu maka hilanglah setengah (bahkan lebih) kekuatan
(suara) umat Islam, atau hilang potensi kebaikan, hingga akhirnya
kekalahan dan kelemahan dialami umat Islam. Maka, itulah fitnah yang
sesungguhnya! Takut dengan fitnah pribadi yang akan dialami seorang
wanita (alasan ‘fitnah’ ini pun masih bisa diperdebatkan), akhirnya
mengorbankan kemaslahatan yang lebih besar dan jelas.
Ini adalah penempatan sad adz dzari’i
(pencegahan) yang tidak pas. Tindakan ini memang harus diterapkan jika
memang benar-benar terjadi fitnah yang jelas, bisa menghilangkan kemudharatan dan mendapatkan maslahat.
Kita memiliki kaidah akhafu dharurain
(memilih kerusakan yang lebih ringan di antara dua kerusakan). Inilah
jalan yang kita tempuh jika berhadapan dengan kondisi seperti ini.
Terjadinya fitnah karena keluarnya wanita adalah sebuah mudharat, namun kekalahan umat Islam atau kekalahan kekuatan kebaikan, karena suara wanita tidak diidzinkan keluar, maka itu mudharat yang lebih besar lagi dan berkepanjangan. Selanjutnya, ini semua membutuhkan kejelian dan analisa yang mendalam.
Peringatan
Kiprah Muslimah dalam dunia sosial dan
politik, bukanlah kiprah tanpa syarat dan catatan. Ada beberapa patokan
syar’i yang tidak boleh ditinggalkannya. Semua ini demi kebaikan
Muslimah itu sendiri, dan menjadikan apa yang dilakukannya adalah
benar-benar amal shalih yang diterima di sisi Allah Ta’ala.
- Aktifitas politik, khususnya parlemen, hanya untuk wanita yang benar-benar layak, pantas, punya waktu luang, dan sedang tidak ada tugas domestik (kerumahtanggaan) yang sangat sulit jika ditinggalkan, seperti: menyusui, dan memiliki anak-anak yang masih butuh perhatian kasih sayang, dan pendidikannya. Memaksakan kehendak dalam hal ini, sama juga mengorbankan masa depan mereka, bahkan masa depan sepenggal generasi manusia, dan khianat terhadap amanah (sebab anak adalah amanah). Maka, tidak semua wanita dibenarkan untuk menjadi anggota parlemen, namun mereka masih bisa berkiprah pada kehidupan sosial politik lainnya yang lebih mungkin.
- Tidak melupakan tugas asasinya sebagai isteri dari suaminya, dan ibu bagi anak-anaknya.
- Tetap teguh memegang prinsip-prinsip akhlak Islam: menutup aurat secara sempurna, tidak bersolek seperti wanita jahiliyah, tidak mendayu-dayu dalam bicara, tidak berduaan dengan laki-laki bukan mahram, dan menjauhi ikhtilat (campur baur) dengan laki-laki yang tidak diperlukan.
- Meluruskan niat, bahwa yang dilakukan adalah untuk mencari ridha Allah Ta’ala, dakwah Ilallah dan amar ma’ruf nahi munkar. Bukan karena kekayaan dan popularitas.
Demikian. Wallahu A’lam
[1] Ahmad Warson Munawir, Al Munawwir, Hal. 677.
[2] Ibid, Hal. 678
[3] Zainuddin Ar Razi, Al Mukhtar Ash Shihah, Juz. 1, hal. 154
[4] Al Fairuzabadi, Al Qamus Al Muhith, Juz. 2, Hal. 89
[5] Imam Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai salah satu manusia paling cerdas di muka bumi.
[6] Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, Juz. 6, Hal. 26.
[7] Ibid
[8] Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah, Ath Thuruq Al Hukmiyah, Hal. 17.
[9] HR. Bukhari, Kitab Al Ahadits Al Anbiya Bab Maa Dzukira ‘An Bani Israil, Juz. 11, Hal. 271, no hadits. 3196. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Wujud Al Wafa’ bi Bai’atil Khulafa Al Awwal fal Awwal, Juz. 9, Hal. 378, no hadits. 3429.
[10] Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz. 6, Hal. 316.
[11]
Gelar yang diberikan untuk orang yang telah hafal ratusan ribu hadits
dan mengetahui seluk beluknya dan bisa membedakan antara yang shahih dan
dhaif.
[12] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 10 Hal. 255.
[13] Asma binti Abu Bakar dijuluki Dzuniqathain
(yang memiliki dua ikatan selendang), karena saat itu satu selendangnya
dibuat untuk menahan perutnya yang hami, dan yang satu lagi untuk
menyangga makanan.
[14] HR. Bukhari, Kitab Al Maghazi Bab Dzikri Ummi Salith, Juz. 12, Hal. 4649. No hadits. 3763.
[15] HR. An Nasa’i, Kitab Al Bai’ah Bab Bai’atin Nisa, Juz. 13, Hal. 72-74, No hadits. 4108-4110. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 9, hal. 251-253, no. 4179-4181.
[HA]
DPD PKS Siak - Download Android App