Mengejar Muwashofat Seorang Muslimah
By: admin
Kamis, 25 April 2013
0
pkssiak.org - Istilah muwashofat atau sifat-sifat sejati seorang aktivis, sudah tidak asing lagi di kalangan tarbiyah. Muwashofat tarbawiyah
atau sifat-sifat sejati seorang aktivis yang ditarbiyah adalah suatu
keharusan untuk meningkatkan mutu kita semua. Walaupun sosialisasi muwashofat
untuk tiap level telah diberikan berikut motivasi untuk mencapainya dan
dilengkapi pula rekomendasi media, lembaga, sarana yang menunjang,
tetapi muwashofat hanya tinggal muwashofat, yang cukup diketahui dan
sulit (baca; tidak mungkin) dicapai.
Berikut ini beberapa kenyataan di sekeliling penulis berkaitan dengan pencapaian muwashofat. Pertama, sejumlah orang muda, belum berkeluarga dan enerjik, yang semestinya mampu dan berkesempatan memenuhi muwashofat dengan baik ternyata dengan berbagai argumen kesibukan aktivitas mereka, banyak yang tidak tercapai.
Kedua, sejumlah ummahat dengan segala dinamika (kesibukan) keluarganya, juga menemui kesulitan mencapai muwashofat. Ketiga, ada lagi sejumlah ikhwan, yang konon sibuk dengan kerja/keluarga dan dakwah dengan jam terbangnya yang tinggi, juga tidak berbeda: sulit mencapai muwashofat.
Jika demikian adanya, sebenarnya siapa atau apa yang salah? Apakah muwashofat baik primer maupun sekunder yang ada demikian berat dan sulit sekali dicapai? Ataukah kita sebagai muslimah kurang (tidak) sungguh-sungguh untuk mencapainya?
Lima tahun ke depan, dakwah akan berhadapan dengan peluang sekaligus tantangan yang besar. Peluang itu berupa terbukanya lahan-lahan dakwah di berbagai bidang yang membutuhkan ketersediaan kader dakwah dalam jumlah banyak, yang memiliki keunggulan-keunggulan. Tetapi di saat yang sama, ada tantangan besar. Yakni, dinamika dunia yang tidak bersahabat dengan dakwah, ketidakpastian kondisi dalam negeri serta penyakit sosial yang semakin parah.
Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pencapaian muwashofat.
Pertama, menumbuhkan motivasi kesadaran diri bahwa usaha pencapaian miwashofat adalah bagian dari usaha kita untuk semakin berprestasi di hadapan Allah. Motivasi ini tidak cukup sekali atau sesekali. Tapi, perlu sering diingatkan agar benar-benar sampai ada tarbiyah dzatiyah atau tarbiyah secara mandiri. Hal ini khususnya berkaitan dengan aktivitas harian atau muwashofat primer lainnya.
Kedua, melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencapai muwashofat baik secara individu maupun bersama. Ada muwashofat yang bisa terpenuhi dengan penugasan yang dievaluasi, atau ada pula muwashofat yang akan lebih ringan dan nyaman bila dilakukan bersama. Untuk itu, perlu inisiatif dan kreativitas mencapai muwashofat. Jadi, tidak cukup hanya jalan di tempat atau pasrah dengan segala keterbatasan yang ada.
Ketiga, evaluasi secara kontinyu. Umumnya manusia (termasuk kader) ingin yang serba enak dan tidak suka ada ujian, tugas atau beban. Padahal, dari ujian, tugas dan beban itulah akan ada pembelajaran dan peningkatan. Kontrol yang ada tentu harus bijaksana dan fleksibel, sehingga kader pun akan nyaman. Tidak seperti robot yang hanya bisa nurut tanpa variasi.
Keempat, adanya solusi dan saran. Bisa jadi, ketidaktercapaian selama ini banyak kendala yang dihadapi, sehingga perlu kearifan untuk mengetahui pokok permasalahannya yang ditindaklanjuti dengan solusi dan saran.
Ada kasus, seorang muslimah merasa telah menceritakan kesulitannya di pertemuan pekanan, tapi tidak ada solusi tepat yang ia dapatkan. Semua kesulitan itu akhirnya dipendam sendiri. Karena itu, butuh keterbukaan mengemukakan kesulitan-kesulitan yang ada, untuk kemudian bisa memberikan solusi dan saran yang tepat. Allahu a’lam.
Ensi Rahmayani, SE
Berikut ini beberapa kenyataan di sekeliling penulis berkaitan dengan pencapaian muwashofat. Pertama, sejumlah orang muda, belum berkeluarga dan enerjik, yang semestinya mampu dan berkesempatan memenuhi muwashofat dengan baik ternyata dengan berbagai argumen kesibukan aktivitas mereka, banyak yang tidak tercapai.
Kedua, sejumlah ummahat dengan segala dinamika (kesibukan) keluarganya, juga menemui kesulitan mencapai muwashofat. Ketiga, ada lagi sejumlah ikhwan, yang konon sibuk dengan kerja/keluarga dan dakwah dengan jam terbangnya yang tinggi, juga tidak berbeda: sulit mencapai muwashofat.
Jika demikian adanya, sebenarnya siapa atau apa yang salah? Apakah muwashofat baik primer maupun sekunder yang ada demikian berat dan sulit sekali dicapai? Ataukah kita sebagai muslimah kurang (tidak) sungguh-sungguh untuk mencapainya?
Lima tahun ke depan, dakwah akan berhadapan dengan peluang sekaligus tantangan yang besar. Peluang itu berupa terbukanya lahan-lahan dakwah di berbagai bidang yang membutuhkan ketersediaan kader dakwah dalam jumlah banyak, yang memiliki keunggulan-keunggulan. Tetapi di saat yang sama, ada tantangan besar. Yakni, dinamika dunia yang tidak bersahabat dengan dakwah, ketidakpastian kondisi dalam negeri serta penyakit sosial yang semakin parah.
Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pencapaian muwashofat.
Pertama, menumbuhkan motivasi kesadaran diri bahwa usaha pencapaian miwashofat adalah bagian dari usaha kita untuk semakin berprestasi di hadapan Allah. Motivasi ini tidak cukup sekali atau sesekali. Tapi, perlu sering diingatkan agar benar-benar sampai ada tarbiyah dzatiyah atau tarbiyah secara mandiri. Hal ini khususnya berkaitan dengan aktivitas harian atau muwashofat primer lainnya.
Kedua, melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencapai muwashofat baik secara individu maupun bersama. Ada muwashofat yang bisa terpenuhi dengan penugasan yang dievaluasi, atau ada pula muwashofat yang akan lebih ringan dan nyaman bila dilakukan bersama. Untuk itu, perlu inisiatif dan kreativitas mencapai muwashofat. Jadi, tidak cukup hanya jalan di tempat atau pasrah dengan segala keterbatasan yang ada.
Ketiga, evaluasi secara kontinyu. Umumnya manusia (termasuk kader) ingin yang serba enak dan tidak suka ada ujian, tugas atau beban. Padahal, dari ujian, tugas dan beban itulah akan ada pembelajaran dan peningkatan. Kontrol yang ada tentu harus bijaksana dan fleksibel, sehingga kader pun akan nyaman. Tidak seperti robot yang hanya bisa nurut tanpa variasi.
Keempat, adanya solusi dan saran. Bisa jadi, ketidaktercapaian selama ini banyak kendala yang dihadapi, sehingga perlu kearifan untuk mengetahui pokok permasalahannya yang ditindaklanjuti dengan solusi dan saran.
Ada kasus, seorang muslimah merasa telah menceritakan kesulitannya di pertemuan pekanan, tapi tidak ada solusi tepat yang ia dapatkan. Semua kesulitan itu akhirnya dipendam sendiri. Karena itu, butuh keterbukaan mengemukakan kesulitan-kesulitan yang ada, untuk kemudian bisa memberikan solusi dan saran yang tepat. Allahu a’lam.
Ensi Rahmayani, SE
DPD PKS Siak - Download Android App