Membongkar Rangkap Jabatan, Perlukah?
By: Abul Ezz
Minggu, 21 April 2013
0
Kursi jabatan (ilustrasi) |
pkssiak.org - Sudah
terlalu lama rakyat Indonesia disuguhi oleh sebuah praktek manajemen
organisasi perpolitikan yang kurang sehat terutama pada posisi “elit
politik” khususnya para Ketua Umum Partai. Pada masa Orde Baru, penguasa
tunggal pemerintahan adalah Golkar dan 2 partai lain sebagai
penggembira saja, maka Golkar menerapkan rangkap jabatan sesuatu yang
biasa bahkan “harus”. Rangkap jabatan yang dimaksud adalah sebagai Ketua
Partai atau Fungsionaris Partai lainnya merangkap menjadi Ketua DPR /
Menteri / Wakil Presiden / Presiden, ini berlangsung terus menerus.
Di era Reformasi pun praktek yang seperti itu tidak ada perubahan, sebagai contoh ketika Presiden ke 3 dijabat oleh Pak Habibi, beliau sebagai Pembina Golkar, ketika ganti presiden Gus Dur beliau juga masih menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PKB, Wakil Presidennya Ibu Megawati menjabat sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan sampai akhir jabatan di Pemerintahan, ketika Ibu Mega jadi presiden pun tetap menjabat sebagai Ketua Umum PDIP. Sewaktu Bapak Hamzah Haz menjadi Wakil Presiden posisinyapun masih merangkap sebagai Pengurus PPP, namun berbeda ketika Bapak Yusul Kala menjadi Wakil Presiden, beliau tidak sedang menjabat posisi tertinggi di Partai Golkar, demikian pula ketika Bapak Budiono sebagai Wakil Presiden beliau bukan sebagai Fungsionaris Partai tetapi dari Profesional.
Kita berharap banyak kepada Presiden ke 6 yakni Pak SBY, itu pun tidak terjadi bahkan selain sebagai Presiden Republik Indonesia beliau di Partai Demokrat sebagai : Ketua Majelis Tinggi Partai, Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, bahkan setelah KLB di Bali akhir Maret 2013 ditetapkan juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Ini menunjukkan tanda-tanda kemunduran dalam berorganisasi diera modern.
Di era pemerintahan Pak SBY ini, masih terdapat juga para menteri yang merangkap sebagai Ketua Umum Partai antara lain adalah Bapak Suryadarma Ali (Menteri Agama / Ketua PPP), Bapak Hatta Rajasa (Menko Ekonomi dan Keuangan / Ketua PAN), Bapak Muhaimin Iskandar (Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja) dan beberapa menteri dari Partai Politik yang merangkap jabatan di Partai Politik pada posisi elit politik.
Jabatan Politis/Publik Sebuah Karier Seorang Politikus, Posisi yang Sangat Mulia
Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR/DPR/DPD, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Pejabat Tinggi Negara lainnya yang di Indonesia jumlahnya tidak banyak adalah Jabatan Politis yang tentunya merupakan posisi yang sangat terhormat untuk berbuat yang sebanyak-banyaknya dalam pengabdian kepada Bangsa dan Negara sebagai perwujudan pengabdian kepada Allah SWT bagi seorang yang beriman. Seorang yang sudah menjabat sebagai pejabat politis diatas bisa dibayangkan betapa kesibukannya karena harus mengurus aset yang besar dan manusia yang sangat banyak sesuai dengan dimana mereka menjabat, sebagai contoh seorang Bupati / Walikota harus mengelola sumber daya alam dan sumberdaya manusia yang terdapat di wilayah kerjanya serta harus melakukan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal, bertanggung jawab mensejahterakan seluruh penduduk yang ada didalamnya, selain itu harus mengkordinasikan semua instansi yang ada di wilayah kerjanya, sungguh merupakan kegiatan yang sangat menyita waktu, tenaga dan pemikiran seorang pejabat politis.
Kalau seorang pejabat politis masih juga menjadi pimpinan partai, pertanyaannya apakah masih bisa fokus dalam bekerja di pemerintahan? Kalau seperti ini dipaksakan maka pasti ada yang dikorbankan, jalan keluarnya adalah meletakan jabatan yang ada di partai, tetapi kalau tetap menjadi fungsionaris partai seyogyanya menolak menjadi pejabat politis / publik. Kenapa harus memilih posisi pada saat bersamaan (menjadi pejabat politis atau menjadi pengurus partai) disebabkan ada 3 alasan yang penulis temukan :
(1) manusia bukan superman tetapi makhluk yang lemah seperti disebutkan dalam AlQuran Surat An-Nisa’ ayat 28:
Artinya : “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah”
(2) setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban, Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
"Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki / suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita / istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya." (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma)
Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)
(3) untuk menghindari konflik kepentingan (sebagai pejabat pemerintahan sekaligus sebagai pengurus tinggi partai) berdampak pada korupsi yang merajalela, penyalahgunaan wewenang, penegakan hukum yang tumpul kalau seorang pejabat dan keluarganya punya masalah hukum.
Untuk memperbaiki sistem perpolitikan di Indonesia harus ada persepsi yang sama dari stakeholder bangsa ini terutama para Legeslator memasukkan pasal larangan rangkap jabatan dalam Undang-Undang Kepresidenan atau Pejabat Tinggi lainnya.
PKS Telah Memulai dan Memberikan Contoh yang Baik
"Satu-satunya partai yang sudah memiliki aturan kader pejabat publik tidak boleh menjabat sebagai ketum partai itu PKS," kata Indria Samego di Habibie Center, Jakarta, Sabtu (29/3). PKS dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) nya telah mengatur tentang aturan rangkap jabatan. Sehingga, saat Nur Mahahmudi Ismail terpilih menjadi Wali Kota Depok jabatannya sebagai presiden PKS dilepas. Hal yang sama juga dilakukan Hidayat Nur Wahid waktu menjabat ketua MPR. Dan Tiffatul Sembiring yang terpilih menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo).
Disamping para Presiden Partai, anggota DPR yang diangkat menjadi Menteri pun juga harus meletakkan jabatannya di Struktur Partai, misalnya Menteri Pertanian saat ini (Pak Suswono, sebelum jadi menteri menjabat Ketua Wilayah Dakwah), Menteri Sosial (Pak Salim Segaf Al-Jufri), mantan Menteri Riset dan Teknologi dari PKS (Pak Suharna, sebelum jadi Menteri menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Pusat). Semua politikus dari PKS tersebut ketika menjabat sebagai Menteri harus fokus pada pekerjaannya dan tidak boleh diganggu dengan urusan lain di partai, dan hasilnya diakui bahwa prestasi menteri-menteri dari PKS lebih baik dibandingkan menteri-menteri dari partai lain.
Ada lagi anggota DPR RI yang menjadi Gubernur Sumatra Barat (Pak Irwan Prayitno, juga meletakkan jabatan di Partai), Gubernur Jawa Barat (Pak Ahmad Heriyawan, sebelum jadi Gubernur menjabat Ketua DPW PKS DKI, dan masih banyak contoh yang lain.
Contoh yang Harus Disistemkan Sampai ke Tingkat Struktur Terbawah
Selain contoh melepas jabatan di Partai seperti disebutkan diatas, ada peristiwa yang menjadi sorotan mata penduduk Indonesia adalah melepaskan jabatan sebagai Wakil Ketua DPR RI, karena yang bersangkutan diangkat sebagai Presiden Partai, yakni Pak Anis Matta. Peristiwa ini tergolong langka saat ini di Indonesia. Dengan beban yang sangat berat sebagai Presiden Partai, keputusan beliau tersebut sangat tepat terbukti dapat merubah banyak hal.
Secara eksternal membuat posisi PKS semakin diperhitungkan, karena dengan gebrakan Pak Anis, Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara dimenangkan oleh Kader terbaik PKS, termasuk Pilkada Sukabumi dan Pilkada Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan juga dimenangkan oleh Kader PKS. Kalau Pak Anis masih rangkap jabatan hasilnya mungkin lain.
Yang sangat dirasakan adalah pengaruh secara internal (kepada kader partai), dimana-mana kader bangkit, soliditas dan ukhuwah kader semakin kuat, meningkatnya sikap mau berkorban dari para kader, juga aura kemenangan untuk tiga besar dapa pemilu 2014 sangat dirasakan. Ketika Presiden Partai masih menjabat sebagai Anggota DPR RI, kader di daerah-daerah di Indonesia hanya bermimpi bisa bertemu dengan Presidennya, saat ini hampir setiap hari kader bisa berinteraksi dengan Pimpinan Partai, semoga istiqomah, aamiin.
Akan bertambah yakin lagi apabila contoh nyata dari Presiden Partai ini bisa segera diikuti oleh Pengurus Harian DPP (Sekretaris, Bendahara), MPP, DSP, Bidang Kaderisasi, dan Bidang Perempuan yakni meletakkan Jabatan sebagai Anggota DPR RI (dengan catatan sudah dipandang cukup mendapatkan pengalaman di Lembaga Legeslatif) dan lebih fokus pada pembangunan sistem kepartaian yang kuat dan membangun komunikasi dengan pihak-pihak lain yang menjadi potensi bangsa, sehingga setiap hari ada pemandangan yang indah dan menarik bahwa pejabat PKS dekat dengan rakyat. Pejabat dari DPP setiap hari terjun ke propinsi-propinsi, kekuatan yang luar biasa.
Selanjutnya diikuti juga oleh Pengurus Harian DPW (minimal Ketua DPW, Ketua DSW, dan Ketua MPW), meninggalkan jabatan politis untuk menyapa kader-kader dan tokoh-tokoh di daerah-daerah Kabupaten yang ada di propinsi tersebut. Demikian pula Ketua DPD yang masih menjadi Aleg segera turun gunung menyapa kader-kader di Desa-desa dan tokoh-tokoh masyarakat, sesungguhnya basis masa yang besar ada di desa-desa. Pergantian Antar Waktu (PAW) juga berdampak positif kepada semakin banyaknya kader yang berpengalaman di medan dakwah Legeslatif.
Di era Reformasi pun praktek yang seperti itu tidak ada perubahan, sebagai contoh ketika Presiden ke 3 dijabat oleh Pak Habibi, beliau sebagai Pembina Golkar, ketika ganti presiden Gus Dur beliau juga masih menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PKB, Wakil Presidennya Ibu Megawati menjabat sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan sampai akhir jabatan di Pemerintahan, ketika Ibu Mega jadi presiden pun tetap menjabat sebagai Ketua Umum PDIP. Sewaktu Bapak Hamzah Haz menjadi Wakil Presiden posisinyapun masih merangkap sebagai Pengurus PPP, namun berbeda ketika Bapak Yusul Kala menjadi Wakil Presiden, beliau tidak sedang menjabat posisi tertinggi di Partai Golkar, demikian pula ketika Bapak Budiono sebagai Wakil Presiden beliau bukan sebagai Fungsionaris Partai tetapi dari Profesional.
Kita berharap banyak kepada Presiden ke 6 yakni Pak SBY, itu pun tidak terjadi bahkan selain sebagai Presiden Republik Indonesia beliau di Partai Demokrat sebagai : Ketua Majelis Tinggi Partai, Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, bahkan setelah KLB di Bali akhir Maret 2013 ditetapkan juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Ini menunjukkan tanda-tanda kemunduran dalam berorganisasi diera modern.
Di era pemerintahan Pak SBY ini, masih terdapat juga para menteri yang merangkap sebagai Ketua Umum Partai antara lain adalah Bapak Suryadarma Ali (Menteri Agama / Ketua PPP), Bapak Hatta Rajasa (Menko Ekonomi dan Keuangan / Ketua PAN), Bapak Muhaimin Iskandar (Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja) dan beberapa menteri dari Partai Politik yang merangkap jabatan di Partai Politik pada posisi elit politik.
Jabatan Politis/Publik Sebuah Karier Seorang Politikus, Posisi yang Sangat Mulia
Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR/DPR/DPD, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Pejabat Tinggi Negara lainnya yang di Indonesia jumlahnya tidak banyak adalah Jabatan Politis yang tentunya merupakan posisi yang sangat terhormat untuk berbuat yang sebanyak-banyaknya dalam pengabdian kepada Bangsa dan Negara sebagai perwujudan pengabdian kepada Allah SWT bagi seorang yang beriman. Seorang yang sudah menjabat sebagai pejabat politis diatas bisa dibayangkan betapa kesibukannya karena harus mengurus aset yang besar dan manusia yang sangat banyak sesuai dengan dimana mereka menjabat, sebagai contoh seorang Bupati / Walikota harus mengelola sumber daya alam dan sumberdaya manusia yang terdapat di wilayah kerjanya serta harus melakukan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal, bertanggung jawab mensejahterakan seluruh penduduk yang ada didalamnya, selain itu harus mengkordinasikan semua instansi yang ada di wilayah kerjanya, sungguh merupakan kegiatan yang sangat menyita waktu, tenaga dan pemikiran seorang pejabat politis.
Kalau seorang pejabat politis masih juga menjadi pimpinan partai, pertanyaannya apakah masih bisa fokus dalam bekerja di pemerintahan? Kalau seperti ini dipaksakan maka pasti ada yang dikorbankan, jalan keluarnya adalah meletakan jabatan yang ada di partai, tetapi kalau tetap menjadi fungsionaris partai seyogyanya menolak menjadi pejabat politis / publik. Kenapa harus memilih posisi pada saat bersamaan (menjadi pejabat politis atau menjadi pengurus partai) disebabkan ada 3 alasan yang penulis temukan :
(1) manusia bukan superman tetapi makhluk yang lemah seperti disebutkan dalam AlQuran Surat An-Nisa’ ayat 28:
Artinya : “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah”
(2) setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban, Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
"Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki / suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita / istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya." (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma)
Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)
(3) untuk menghindari konflik kepentingan (sebagai pejabat pemerintahan sekaligus sebagai pengurus tinggi partai) berdampak pada korupsi yang merajalela, penyalahgunaan wewenang, penegakan hukum yang tumpul kalau seorang pejabat dan keluarganya punya masalah hukum.
Untuk memperbaiki sistem perpolitikan di Indonesia harus ada persepsi yang sama dari stakeholder bangsa ini terutama para Legeslator memasukkan pasal larangan rangkap jabatan dalam Undang-Undang Kepresidenan atau Pejabat Tinggi lainnya.
PKS Telah Memulai dan Memberikan Contoh yang Baik
"Satu-satunya partai yang sudah memiliki aturan kader pejabat publik tidak boleh menjabat sebagai ketum partai itu PKS," kata Indria Samego di Habibie Center, Jakarta, Sabtu (29/3). PKS dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) nya telah mengatur tentang aturan rangkap jabatan. Sehingga, saat Nur Mahahmudi Ismail terpilih menjadi Wali Kota Depok jabatannya sebagai presiden PKS dilepas. Hal yang sama juga dilakukan Hidayat Nur Wahid waktu menjabat ketua MPR. Dan Tiffatul Sembiring yang terpilih menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo).
Disamping para Presiden Partai, anggota DPR yang diangkat menjadi Menteri pun juga harus meletakkan jabatannya di Struktur Partai, misalnya Menteri Pertanian saat ini (Pak Suswono, sebelum jadi menteri menjabat Ketua Wilayah Dakwah), Menteri Sosial (Pak Salim Segaf Al-Jufri), mantan Menteri Riset dan Teknologi dari PKS (Pak Suharna, sebelum jadi Menteri menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Pusat). Semua politikus dari PKS tersebut ketika menjabat sebagai Menteri harus fokus pada pekerjaannya dan tidak boleh diganggu dengan urusan lain di partai, dan hasilnya diakui bahwa prestasi menteri-menteri dari PKS lebih baik dibandingkan menteri-menteri dari partai lain.
Ada lagi anggota DPR RI yang menjadi Gubernur Sumatra Barat (Pak Irwan Prayitno, juga meletakkan jabatan di Partai), Gubernur Jawa Barat (Pak Ahmad Heriyawan, sebelum jadi Gubernur menjabat Ketua DPW PKS DKI, dan masih banyak contoh yang lain.
Contoh yang Harus Disistemkan Sampai ke Tingkat Struktur Terbawah
Selain contoh melepas jabatan di Partai seperti disebutkan diatas, ada peristiwa yang menjadi sorotan mata penduduk Indonesia adalah melepaskan jabatan sebagai Wakil Ketua DPR RI, karena yang bersangkutan diangkat sebagai Presiden Partai, yakni Pak Anis Matta. Peristiwa ini tergolong langka saat ini di Indonesia. Dengan beban yang sangat berat sebagai Presiden Partai, keputusan beliau tersebut sangat tepat terbukti dapat merubah banyak hal.
Secara eksternal membuat posisi PKS semakin diperhitungkan, karena dengan gebrakan Pak Anis, Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara dimenangkan oleh Kader terbaik PKS, termasuk Pilkada Sukabumi dan Pilkada Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan juga dimenangkan oleh Kader PKS. Kalau Pak Anis masih rangkap jabatan hasilnya mungkin lain.
Yang sangat dirasakan adalah pengaruh secara internal (kepada kader partai), dimana-mana kader bangkit, soliditas dan ukhuwah kader semakin kuat, meningkatnya sikap mau berkorban dari para kader, juga aura kemenangan untuk tiga besar dapa pemilu 2014 sangat dirasakan. Ketika Presiden Partai masih menjabat sebagai Anggota DPR RI, kader di daerah-daerah di Indonesia hanya bermimpi bisa bertemu dengan Presidennya, saat ini hampir setiap hari kader bisa berinteraksi dengan Pimpinan Partai, semoga istiqomah, aamiin.
Akan bertambah yakin lagi apabila contoh nyata dari Presiden Partai ini bisa segera diikuti oleh Pengurus Harian DPP (Sekretaris, Bendahara), MPP, DSP, Bidang Kaderisasi, dan Bidang Perempuan yakni meletakkan Jabatan sebagai Anggota DPR RI (dengan catatan sudah dipandang cukup mendapatkan pengalaman di Lembaga Legeslatif) dan lebih fokus pada pembangunan sistem kepartaian yang kuat dan membangun komunikasi dengan pihak-pihak lain yang menjadi potensi bangsa, sehingga setiap hari ada pemandangan yang indah dan menarik bahwa pejabat PKS dekat dengan rakyat. Pejabat dari DPP setiap hari terjun ke propinsi-propinsi, kekuatan yang luar biasa.
Selanjutnya diikuti juga oleh Pengurus Harian DPW (minimal Ketua DPW, Ketua DSW, dan Ketua MPW), meninggalkan jabatan politis untuk menyapa kader-kader dan tokoh-tokoh di daerah-daerah Kabupaten yang ada di propinsi tersebut. Demikian pula Ketua DPD yang masih menjadi Aleg segera turun gunung menyapa kader-kader di Desa-desa dan tokoh-tokoh masyarakat, sesungguhnya basis masa yang besar ada di desa-desa. Pergantian Antar Waktu (PAW) juga berdampak positif kepada semakin banyaknya kader yang berpengalaman di medan dakwah Legeslatif.
Untuk menopang sistem seperti ini harus diikuti oleh kuatnya ekonomi kader (dari sumber pendapatan swasta) yang menjadi pengurus partai untuk bekalan terjun di masyarakat, .... dibahas edisi berikutnya. Semoga mimpi kami segera terwujud bahwa Kader Dakwah itu sebagai Pemimpin sekaligus Pelayan Masyarakat dan Umat dengan mengedepankan Kemandirian Ekonomi.
Wallahu a’lam, Mohon maaf kalau disana-sini ada kekurangan dan kesalahan.
By: Danar Widiantoro (via e-mail)
Kabid Kaderisasi PKS Wonosobo, Jateng
Kabid Kaderisasi PKS Wonosobo, Jateng
DPD PKS Siak - Download Android App