Oleh : Muhammad Widus Sempo, MA
pkssiak.org - Tulisan ini bukan jawaban dari pertanyaan sebagian kalangan yang mengatakan: “Apakah Rasulullah Saw seorang politik ulung? Apakah kota Madinah terhitung negara Islam pertama yang memiliki kedaulatan dilihat dari keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw dalam menata pemerintahan?” Ia hadir bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang demikian itu karena kejeniusan Rasulullah Saw dalam memerankan politik Negara Islam telah terbukti dan diamini kebenarannya oleh para ahli tahkik dan pemerhati politik dunia Islam.
Di samping itu, kepemimpinannya tidak dapat
diukur atau dibandingkan dengan kepemimpinan siapa pun dari mereka yang
ditakdirkan jadi pemimpin, corak dan naskah kepemimpinan tunggal yang hanya
sekali terjadi dan tidak akan pernah terulang. Yang demikian itu karena
kepemimpinannya selalu terkait dengan masalah keimanan. Rasulullah Saw tidak
melakukan manuver-manuver politik, jihad, perjanjian damai, kecuali dengan
dasar iman yang menjadi penggerak utama perbuatannya, iman yang menjadi tema
sentral dari ajaran yang diembannya. Olehnya itu, ia senantiasa dimonitoring oleh
wahyu samawi dalam menjalankan kepemimpinannya.
Abbas Aqqad berkata:
“Hakikat yang dilihat oleh mereka yang jernih menghukumi
setiap masalah, muslim atau non-muslim, sesungguhnya invasi Muhammad invasi
keimanan dan kekuatan Muhammad kekuatan iman. Tidak ada tanda yang paling
mendasar dari setiap usahanya kecuali tanda ini, dan tidak ada alasan lain dari
semua itu selain alasan ini. Dia tidak goyah dalam menanamkan nilai-nilai
keimanan yang mengesakan Allah meski godaan-godaan duniawi datang
menghampirinya, fitnah duniawi yang tidak akan pernah ditemukan di mana pun dan
kepada siapa pun kecuali Rasulullah Saw.
Beliau didatangi Atabah bin Rabiah, pemuka kaum Quraisy, di
hari-hari pertama dakwah Islam menyinari sudut-sudut kota Mekah. Atabah dengan
lembut dan penuh kesopanan menggoda Rasulullah Saw dengan godaan-godaan duniawi
supaya ia meninggalkan tugas sucinya setelah mereka putus asa
mengintimidasinya: “Wahai putra saudaraku, Anda itu dari kami, Anda yang paling
terbaik dari kami dilihat dari nasab dan strata sosial. Tetapi, Anda mendatangi
kaum Anda sendiri dengan perkara besar yang telah memecah jamaah mereka, bukan
hanya itu, Anda pun memudarkan mimpi-mimpi mereka, memandang hina tuhan-tuhan
dan agama mereka, mengkafirkan nenek moyang mereka. Wahai putra saudaraku,
dengarkanlah aku! Saya memberikan Anda beberapa pilihan, semoga Anda menerima
salah satunya.” Rasulullah Saw menjawab: “Katakanlah wahai Abu al-Walid!”
Jawabnya: Wahai putra saudaraku! Jika engkau menginginkan harta dari perkara
(Islam) yang engkau datangkan, kami siap mengumpulkan untukmu dari harta-harta
kami sehingga Anda yang terkaya, dan jika Anda ingin kemuliaan, kami pun siap
menobatkan Anda tuan terhadap kami sehingga kami tidak memutuskan sebuah
perkara kecuali denganmu, dan jika Anda ingin kekuasaan, kami juga siap
mengukuhkanmu sebagai raja kami, dan jika yang mendatangimu itu pengaruh jin
yang sulit ditepis, kami akan mencari obatnya dan menafkahkan harta kami demi
kesembuhanmu.” Rasulullah Saw menjawab: “Apakah ucapan Anda selesai wahai Abu
al-Walid? Jawabnya: “Ya.” Rasulullah Saw pun membacakan kepadanya Q.S Fussilat
[41]: 2-4, jawaban kuat tidak terbantah bahwa mustahil baginya meninggalkan
misi kenabian suci ini hanya dengan fitnah duniawi yang murah.”([1])
Selanjutnya, Anda diajak melihat hakikat lain,
arti kedaulatan negara. Baik Allah SWT atau pun hamba-Nya punya hak dari negara
yang berdaulat. Umat ingin jiwa, agama, harta, kehormatan, dan kreasi-kreasi
daya pikir mereka terlindungi. Tentunya, hak-hak tersebut mustahil tercapai
tanpa berdirinya negara yang punya kedaulatan. Di lain sisi, umat yang
negaranya tidak memiliki kedaulatan senantiasa dirongrong ketakutan dan
dihantui kemusnahan. Jika mereka takut dan musnah, wajah dunia murung ditinggal
pergi syiar-syiar agama dengan perginya hamba-hamba abid yang musnah tidak
terlindungi oleh kekuatan negara yang berdaulat. Kebutuhan mereka terhadapnya
di atas segala kebutuhan fisik, kebutuhan yang telah menjadi hak umum setiap
orang. Olehnya itu, tegaknya kedaulatan negara kewajiban bersama demi
tercapainya hak-hak Allah SWT dan umat.
Prof. Dr. Muhammad Imarah berkata:
“Bukanlah hal berlebihan jika kita melihat negara khilafah yang
kedaulatannya dijaga oleh para sahabat dari ancaman orang-orang murtad dan
memposisikannya sebagai perangkat utama dari tegaknya syiar-syiar Islam,
tujuannya jauh lebih tinggi dari sekadar menegakkan kewajiban zakat yang
diingkari mereka yang murtad. Olehnya itu, negara -dilihat dari sisi ini- telah
berperan aktif menyebarkan Islam di luar semenanjung Arab dengan kembali
mengobarkan panji Islam memerangi kemurtadan orang-orang Arab.
Seandainya saja negara khilafah ini tidak ada, Islam senantiasa
terancam bahaya yang setiap saat siap menerkam. Tanpanya, Islam mungkin sebatas
nama saja yang dikenang sejarah, seperti agama-agama lain, atau sekadar agama
yang dianut sebagian kecil umat manusia. Sesungguhnya negara ini telah menjadi
alat bantu utama dalam mewujudkan janji Allah menjaga Al-Quran dari
tangan-tangan kotor yang ingin mencoreng kesuciannya sebagai kitab suci umat
Islam seperti yang difirmankan Q.S. Al-Hijr [15]: 9:
Hakikat lain yang sepatutnya Anda ketahui juga sebelum Anda diajak
mengenal sebagian dari keberhasilan politik Rasulullah Saw, hakikat Sunnah yang
telah menjadi pegangan utama politik Islam. Hakikat yang mengajak Anda untuk
peka mengkategorikan segala perilaku Rasulullah Saw dan menempatkannya di icon yang tepat dan benar. Apakah Nabi saw
berperilaku sebagai seorang rasul yang bertugas menyampaikan wahyu, atau selaku
mufti (pemberi fatwa), atau sebagai hakim yang menyelesaikan
apa yang dipersengketakan manusia, atau ia diposisikan sebagai pemimpin negara
yang sedang menangani urusan-urusan politik?
Salah melihat denah Sunnah hijab tersendiri terhadap makna-makna
yang mungkin saja dapat teraba dan terbaca jika seandainya ia terlihat dengan
kaca mata pendekatan yang benar. Namun, tidak berarti bahwa jika Anda
mengabaikan ini Anda tidak punya kesempatan memahami dan menuai petunjuk hidup
Sunnah. Yang demikian itu karena dari sudut mana pun Anda melihatnya, Anda akan
mendapatkan percikan cahaya kesuciannya, seperti Al-Quran yang makna-maknanya
senantiasa mengalir tidak henti-hentinya mengisi kekosongan jiwa dan
menyejukkan kalbu para pemerhati dan perindunya sesuai tingkat kesiapan
masing-masing. Dari sudut pandang apa pun Anda mendekatinya, Anda tidak akan
dibiarkan pulang dengan tangan kosong, jika bukan mutiara makna-maknanya, maka
keagungan dan kebersahajaan ayat-ayatnya sebagai kalam ilahi yang terjaga
sepanjang zaman dari kejahilan mereka yang tidak bertanggung jawab. Seperti
Al-Quran punya kunci-kunci ma’nawi dalam memeras sari pati maknanya, Sunnah pun
seperti itu, dan apa yang dikenalkan kepada Anda di atas terhitung salah satu
kunci utama dalam memberikan pendekatan makna. Inilah yang diyakini penulis
kebenarannya.
Olehnya itu, sekularisme bagi mereka obat penawar ampuh dari
pahitnya zaman kegelapan Eropa yang menayangkan kegelapan dan kemunduran dari
pelbagai aspek kehidupan. Sementara itu, sekularisme bagi kita, umat Islam,
racun mematikan yang ingin melucuti pribadi Islam kita dari ajaran-ajaran
agama, sehingga kita dengan mudahnya menafikan agama dari sendi-sendi
kehidupan.
Jadi, apa lagi yang menyebabkan kita mengimpor produk asing ini,
mengadopsi, dan menelannya mentah-mentah, kecuali taklid bodoh yang membabi
buta meniru produk-produk mereka yang jauh dari nilai-nilai agama. Apa yang
menyebabkan kita alergi dari segala yang islami dan lebih tamak kepada apa yang
kebarat-baratan, kecuali gengsi dan angkuh atas nama modernitas yang diberkahi
sekularisme dan westernisasi.
Bukankah sekularisme dengan segala corak, filsafat, dan
kerusakannya yang berusaha keras menjauhkan agama dari negara dan mendesain
kehidupan dengan desain hawa nafsu, undang-undang buatan manusia, dan
kesalahan-kesalahan mereka, bukankah paham seperti ini menyalahi syariat?
Jika mereka ingin melihat Islam hanya sebatas agama tanpa penghayatan
dan penerapan hidup, bukankah keinginan seperti ini menyalahi tujuan kedatangan
Islam, kedatangannya yang ingin mengibarkan panji syariat di muka bumi?
Yah, Islam itu bukanlah seperti teori arsitek atau cara kerja
mesin yang tidak menuntut apa-apa dari seseorang kecuali meyakini dan
menyebutkan dalil-dalil kebenarannya, ia pun bukan seperti filsafat akal yang
dengan membacanya seseorang akan terhibur, atau ia hanya dipegang dan dibaca
oleh para pemerhatinya jika timbul dalam diri mereka keinginan yang mendorong
mereka untuk membaca dan mengamati. Islam bukan seperti ini dan itu, tetapi
Islam metode hidup yang meliputi seluruh bentuk pembelajaran, baik rohani,
praktek, atau yang bersifat ilmiah, ia pun menyuguhkan kaidah-kaidah yang jelas
dalam mencapai kemaslahatan umum yang erat kaitannya dengan masalah-masalah
pribadi, lingkungan, negara, dan umat.
Itulah Islam yang ingin dipudarkan bahkan ditutup cahayanya oleh
mereka, tetapi, bagaimana mungkin mereka melakukannya, Islam metode kehidupan
sempurna dunia-akhirat yang diridhai Allah, pemilik matahari kehidupan. ([9])
Kini, penulis yakin bahwa Anda dengan penuh percaya diri mengamini
apa yang telah dikatakan oleh kebanyakan para ahli tahkik dan pemerhati sejarah
politik Islam bahwa Rasulullah Saw pemimpin negara Islam pertama di Madinah
yang menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya demi menjaga kedaulatan Islam
dari rongrongan kafir Mekah dan Yahudi di Madinah.
Sekarang, Anda diajak berikutnya melihat beberapa bentuk
keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw yang di antaranya:
Pertama: Kemampuannya menyatukan kaum Aus dan Khasraj
Yang diketahui bersama, Rasulullah Saw tidak hijrah ke Madinah
sebelum kota ini layak menerima kedatangannya.
Yang diketahui juga, kota Madinah, sebelum Rasulullah Saw hijrah
ke sana, kota yang penuh hiruk-pikuk perselisihan kaum Aus dan Khazraj yang
dipicu oleh fitnah-fitnah busuk orang-orang Yahudi. ([10]) Api
kebencian di antara mereka senantiasa berkobar dan mustahil dipadamkan meski
menghabiskan yang kecil dan besar, yang hina dan mulia dari perbendaharaan
alam. Kebencian ini mewariskan dendam membara di hati mereka yang memicu
terjadinya perang Buats yang kekal dikenang sejarah. Kenyataan ini telah diukir
abadi Q.S. Al-Anfal [8]: 63, namun, dengan kehendak Allah SWT Rasulullah Saw
berhasil memadamkan kobaran api kebencian itu dengan persaudaraan Islam yang
menyejukkan hati mereka.
Apa yang Rasulullah Saw lakukan sehingga ia berhasil mendamaikan
mereka?
Seperti adat kaum Arab di musim ibadah, mereka berbondong-bondong
menuju kota Mekah untuk beribadah di Ka’bah. Kesempatan ini tidak dilewatkan
begitu saja Rasulullah Saw, tetapi ia memanfaatkannya dengan mendatangi mereka
memaparkan dirinya dan agama yang ia emban. Di tahun itu, secercah harapan
terbit dari kejauhan sana. Rasulullah Saw mendatangi kaum Khazraj pada bulan
Rajab –seperti yang disepakati kebanyakan ahli sejarah- mengajak mereka masuk
Islam setelah memaparkan kebenaran dan keindahannya.
Mereka pun dengan antusias mendengarkan dakwah Rasulullah Saw
tersebut, mengingat masalah besar yang mereka tinggalkan di Madinah, perpecahan
yang disebabkan oleh orang-orang Yahudi di antara mereka, Aus dan Khasraj. Di
lain sisi, mereka pun menakuti ancaman orang-orang Yahudi yang selalu
mengintimidasi mereka dengan kedatangan seorang Rasul yang akan memimpin
orang-orang Yahudi membasmi mereka.
Kedua faktor ini sebab utama yang menarik perhatian mereka
mendengarkan apa yang disampaikan Rasulullah Saw.
Mereka pun sejenak termenung merenungkan perihal buruk mereka di
kota Madinah dan sifat-sifat kenabian Rasulullah Saw seperti yang diberitakan
oleh ahli kitab orang-orang Yahudi, dan tidak lama kemudian setelah mereka
bermusyawarah, mereka dengan tekad bulat yang didasari mufakat mengumumkan
keislaman mereka. ([11])
Rasulullah Saw melakukan hal serupa terhadap kaum Aus. Namun,
sejarah mencatat bahwa kaum Khazraj lebih cepat menerima dan mempercayai
kebenaran kenabian dan kerasulannya dari kaum Aus. Mereka inilah yang
menyebarkan Islam secara diam-diam di rumah-rumah mereka, jauh dari pengetahuan
orang-orang Yahudi, sehingga kota Madinah sudah layak menjadi kota hijrah
Rasulullah Saw.([12])
Setibanya di Madinah, yang pertama kali dilakukan Rasulullah Saw
sebagai kepala negara membangun masjid, rumah Allah yang tidak mengenal kata
perbedaan di antara manusia, tempat ibadah yang kondusif menangani
masalah-masalah kenegaraan yang membutuhkan keteduhan dan kejernihan berpikir.
Di sini masjid Rasulullah Saw memainkan peranan tersebut dengan baiknya.
Kemudian, Rasulullah Saw sebagai pemimpin negara mengajak
orang-orang Yahudi menyepakati sebuah perjanjian suci, perjanjian yang
mewajibkan mereka untuk hidup damai berdampingan dengan orang-orang mukmin,
Muhajirin dan Anshar, dan mempertahankan kedaulatan negara Madinah dari
rongrongan orang-orang kafir yang sewaktu-waktu dapat mengancam stabilitas negara.
Tetapi, Yahudi Madinah melanggar perjanjian tersebut dan tidak menepatinya,
bahkan bersekutu dengan kafir Mekah mengepung bala tentara Islam yang dipimpin
langsung Rasulullah Saw di perang Khandaq. Olehnya itu, wajar jika mereka
diusir Rasulullah Saw dari kota Madinah karena telah melanggar piagam suci
perdamaian tersebut.
Keberhasilan yang cemerlang ini bukti nyata kepiawaian Rasulullah
Saw dan ketajaman analisa politiknya dalam menangani masalah-masalah kenegaraan
yang menuntut ketepatan dan ketangkasan khusus.
Kedua: Perjanjian Hudaibiyyah
Di perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah Saw beserta 1.300 muslim
keluar menuju kota Mekah dengan maksud ziarah, dan bukan menginginkan perang.
Setelah berita ini didengar orang-orang musyrik, mereka pun menghalang orang-orang
mukmin di Hudaibiyyah sebelum memasuki kota Mekah. Situasi ini menyebabkan
ketegangan urat saraf di antara kedua belah pihak yang berujung perjanjian
damai yang bersyarat. Mereka mensyaratkan orang-orang Islam mengurungkan niat
menziarahi kota Mekah tahun ini, dan dibolehkan mengunjunginya tahun depan. Di
samping itu, mereka pun menambahkan syarat yang tidak kalah kerasnya dengan di
atas, mereka meminta pihak Islam mengembalikan siapa pun dari mereka yang
ditemukan mendatangi Madinah dalam keadaan beriman atau tidak, dan mereka tidak
diwajibkan memulangkan seseorang dari pihak muslim jika ditemukan mendatangi
kota Mekah.
Syarat yang secara lahiriah telah mencoreng kehormatan mereka dan
kedaulatan negara Islam, syarat yang sulit diterima oleh sebagian sahabat. Yang
demikian itu karena yang mereka yakini kemampuan mereka meraih kemenangan jika
terjadi peperangan dengan kafir Mekah. Mereka tidak peka melihat apa yang
mendasari Rasulullah Saw menerima perjanjian tersebut, pandangan singkat mereka
tidak mampu melihat sudut pandang Rasulullah Saw yang jauh meneropong
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.
Dengan perjanjian ini kota Mekah dan Madinah diselimuti sejuknya
kedamaian dan perasaan aman, terbentang benang pertemuan dan perjumpaan antara
kedua belah pihak, sehingga orang-orang Islam dengan leluasa memperdengarkan
mereka Al-Quran dan melakukan debat tentang kebenaran ajaran Islam.
Kejadian-kejadian seperti ini tidak pernah dijumpai sebelum terjadinya
perjanjian damai di Hudaibiyyah. Olehnya itu, banyak dari mereka yang memeluk
Islam. ([13])
Kenyataan ini seperti arus deras yang terpancar kuat menerpa dan
mengangkat keraguan sebagian dari mereka yang enggan menerima kecemerlangan
Rasulullah Saw dalam menjalankan politik negara.
Di penghujung tulisan ini saya mengajak pemerhati Sunnah Rasulullah
Saw dan tatanan politik Islam menyuarakan kesimpulan berikut ini:
“Peka terhadap pemetaan Sunnah Rasulullah Saw langkah pertama dan
yang terpenting dalam memeras kekayaan khazanah makna-makna kenabian dan
kerasulan, buta terhadap pemetaan ini boleh jadi menjadi hijab tersendiri
terhadap khazanah tersebut. Keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw
dalam menjaga stabilitas negara Islam pertama di Madinah tidak dapat dipungkiri
lagi. Yang mengingkarinya seperti menutup cahaya matahari dari muka bumi dengan
kedua telapak tangannya. Islam tidak dapat dipisahkan dari tatanan hukum
negara. Yang menanggalkannya dari organ-organ tubuh negara seperti menggali
kuburan sendiri, mereka yang menginginkan kebebasan yang didasari nafsu hewani
dan dekadensi moral yang meruntuhkan. Kenakakan gaun Islam Anda dan lambaikan
tangan perpisahan meninggalkan corak-corak sekularisme yang mengaburkan dan
membutakan pandangan hidup Anda! Sekarang, negara Islam yang berdaulat
perangkat utama dalam menegakkan ajaran dan hikmah syariat.”
Sumber: http://www.dakwatuna.com