Select Menu

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

Kamis, 25 April 2013

Kejeniusan Rasulullah SAW Menata Politik Negara


Oleh : Muhammad Widus Sempo, MA

pkssiak.orgTulisan ini bukan jawaban dari pertanyaan sebagian kalangan yang mengatakan: “Apakah Rasulullah Saw seorang politik ulung? Apakah kota Madinah terhitung negara Islam pertama yang memiliki kedaulatan dilihat dari keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw dalam menata pemerintahan?” Ia hadir bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang demikian itu karena kejeniusan Rasulullah Saw dalam memerankan politik Negara Islam telah terbukti dan diamini kebenarannya oleh para ahli tahkik dan pemerhati politik dunia Islam.

Di samping itu, kepemimpinannya tidak dapat diukur atau dibandingkan dengan kepemimpinan siapa pun dari mereka yang ditakdirkan jadi pemimpin, corak dan naskah kepemimpinan tunggal yang hanya sekali terjadi dan tidak akan pernah terulang. Yang demikian itu karena kepemimpinannya selalu terkait dengan masalah keimanan. Rasulullah Saw tidak melakukan manuver-manuver politik, jihad, perjanjian damai, kecuali dengan dasar iman yang menjadi penggerak utama perbuatannya, iman yang menjadi tema sentral dari ajaran yang diembannya. Olehnya itu, ia senantiasa dimonitoring oleh wahyu samawi dalam menjalankan kepemimpinannya.

Abbas Aqqad berkata:

 “Hakikat yang dilihat oleh mereka yang jernih menghukumi setiap masalah, muslim atau non-muslim, sesungguhnya invasi Muhammad invasi keimanan dan kekuatan Muhammad kekuatan iman. Tidak ada tanda yang paling mendasar dari setiap usahanya kecuali tanda ini, dan tidak ada alasan lain dari semua itu selain alasan ini. Dia tidak goyah dalam menanamkan nilai-nilai keimanan yang mengesakan Allah meski godaan-godaan duniawi datang menghampirinya, fitnah duniawi yang tidak akan pernah ditemukan di mana pun dan kepada siapa pun kecuali Rasulullah Saw.

Beliau didatangi Atabah bin Rabiah, pemuka kaum Quraisy, di hari-hari pertama dakwah Islam menyinari sudut-sudut kota Mekah. Atabah dengan lembut dan penuh kesopanan menggoda Rasulullah Saw dengan godaan-godaan duniawi supaya ia meninggalkan tugas sucinya setelah mereka putus asa mengintimidasinya: “Wahai putra saudaraku, Anda itu dari kami, Anda yang paling terbaik dari kami dilihat dari nasab dan strata sosial. Tetapi, Anda mendatangi kaum Anda sendiri dengan perkara besar yang telah memecah jamaah mereka, bukan hanya itu, Anda pun memudarkan mimpi-mimpi mereka, memandang hina tuhan-tuhan dan agama mereka, mengkafirkan nenek moyang mereka. Wahai putra saudaraku, dengarkanlah aku! Saya memberikan Anda beberapa pilihan, semoga Anda menerima salah satunya.” Rasulullah Saw menjawab: “Katakanlah wahai Abu al-Walid!” Jawabnya: Wahai putra saudaraku! Jika engkau menginginkan harta dari perkara (Islam) yang engkau datangkan, kami siap mengumpulkan untukmu dari harta-harta kami sehingga Anda yang terkaya, dan jika Anda ingin kemuliaan, kami pun siap menobatkan Anda tuan terhadap kami sehingga kami tidak memutuskan sebuah perkara kecuali denganmu, dan jika Anda ingin kekuasaan, kami juga siap mengukuhkanmu sebagai raja kami, dan jika yang mendatangimu itu pengaruh jin yang sulit ditepis, kami akan mencari obatnya dan menafkahkan harta kami demi kesembuhanmu.” Rasulullah Saw menjawab: “Apakah ucapan Anda selesai wahai Abu al-Walid? Jawabnya: “Ya.” Rasulullah Saw pun membacakan kepadanya Q.S Fussilat [41]: 2-4, jawaban kuat tidak terbantah bahwa mustahil baginya meninggalkan misi kenabian suci ini hanya dengan fitnah duniawi yang murah.”([1])

Selanjutnya, Anda diajak melihat hakikat lain, arti kedaulatan negara. Baik Allah SWT atau pun hamba-Nya punya hak dari negara yang berdaulat. Umat ingin jiwa, agama, harta, kehormatan, dan kreasi-kreasi daya pikir mereka terlindungi. Tentunya, hak-hak tersebut mustahil tercapai tanpa berdirinya negara yang punya kedaulatan. Di lain sisi, umat yang negaranya tidak memiliki kedaulatan senantiasa dirongrong ketakutan dan dihantui kemusnahan. Jika mereka takut dan musnah, wajah dunia murung ditinggal pergi syiar-syiar agama dengan perginya hamba-hamba abid yang musnah tidak terlindungi oleh kekuatan negara yang berdaulat. Kebutuhan mereka terhadapnya di atas segala kebutuhan fisik, kebutuhan yang telah menjadi hak umum setiap orang. Olehnya itu, tegaknya kedaulatan negara kewajiban bersama demi tercapainya hak-hak Allah SWT dan umat.

Prof. Dr. Muhammad Imarah berkata:

“Bukanlah hal berlebihan jika kita melihat negara khilafah yang kedaulatannya dijaga oleh para sahabat dari ancaman orang-orang murtad dan memposisikannya sebagai perangkat utama dari tegaknya syiar-syiar Islam, tujuannya jauh lebih tinggi dari sekadar menegakkan kewajiban zakat yang diingkari mereka yang murtad. Olehnya itu, negara -dilihat dari sisi ini- telah berperan aktif menyebarkan Islam di luar semenanjung Arab dengan kembali mengobarkan panji Islam memerangi kemurtadan orang-orang Arab.
Seandainya saja negara khilafah ini tidak ada, Islam senantiasa terancam bahaya yang setiap saat siap menerkam. Tanpanya, Islam mungkin sebatas nama saja yang dikenang sejarah, seperti agama-agama lain, atau sekadar agama yang dianut sebagian kecil umat manusia. Sesungguhnya negara ini telah menjadi alat bantu utama dalam mewujudkan janji Allah menjaga Al-Quran dari tangan-tangan kotor yang ingin mencoreng kesuciannya sebagai kitab suci umat Islam seperti yang difirmankan Q.S. Al-Hijr [15]: 9:

Hakikat lain yang sepatutnya Anda ketahui juga sebelum Anda diajak mengenal sebagian dari keberhasilan politik Rasulullah Saw, hakikat Sunnah yang telah menjadi pegangan utama politik Islam. Hakikat yang mengajak Anda untuk peka mengkategorikan segala perilaku Rasulullah Saw dan menempatkannya di icon yang tepat dan benar. Apakah Nabi saw berperilaku sebagai seorang rasul yang bertugas menyampaikan wahyu, atau selaku mufti (pemberi fatwa), atau sebagai hakim yang menyelesaikan apa yang dipersengketakan manusia, atau ia diposisikan sebagai pemimpin negara yang sedang menangani urusan-urusan politik?
Salah melihat denah Sunnah hijab tersendiri terhadap makna-makna yang mungkin saja dapat teraba dan terbaca jika seandainya ia terlihat dengan kaca mata pendekatan yang benar. Namun, tidak berarti bahwa jika Anda mengabaikan ini Anda tidak punya kesempatan memahami dan menuai petunjuk hidup Sunnah. Yang demikian itu karena dari sudut mana pun Anda melihatnya, Anda akan mendapatkan percikan cahaya kesuciannya, seperti Al-Quran yang makna-maknanya senantiasa mengalir tidak henti-hentinya mengisi kekosongan jiwa dan menyejukkan kalbu para pemerhati dan perindunya sesuai tingkat kesiapan masing-masing. Dari sudut pandang apa pun Anda mendekatinya, Anda tidak akan dibiarkan pulang dengan tangan kosong, jika bukan mutiara makna-maknanya, maka keagungan dan kebersahajaan ayat-ayatnya sebagai kalam ilahi yang terjaga sepanjang zaman dari kejahilan mereka yang tidak bertanggung jawab. Seperti Al-Quran punya kunci-kunci ma’nawi dalam memeras sari pati maknanya, Sunnah pun seperti itu, dan apa yang dikenalkan kepada Anda di atas terhitung salah satu kunci utama dalam memberikan pendekatan makna. Inilah yang diyakini penulis kebenarannya.

Olehnya itu, sekularisme bagi mereka obat penawar ampuh dari pahitnya zaman kegelapan Eropa yang menayangkan kegelapan dan kemunduran dari pelbagai aspek kehidupan. Sementara itu, sekularisme bagi kita, umat Islam, racun mematikan yang ingin melucuti pribadi Islam kita dari ajaran-ajaran agama, sehingga kita dengan mudahnya menafikan agama dari sendi-sendi kehidupan.
Jadi, apa lagi yang menyebabkan kita mengimpor produk asing ini, mengadopsi, dan menelannya mentah-mentah, kecuali taklid bodoh yang membabi buta meniru produk-produk mereka yang jauh dari nilai-nilai agama. Apa yang menyebabkan kita alergi dari segala yang islami dan lebih tamak kepada apa yang kebarat-baratan, kecuali gengsi dan angkuh atas nama modernitas yang diberkahi sekularisme dan westernisasi.
Bukankah sekularisme dengan segala corak, filsafat, dan kerusakannya yang berusaha keras menjauhkan agama dari negara dan mendesain kehidupan dengan desain hawa nafsu, undang-undang buatan manusia, dan kesalahan-kesalahan mereka, bukankah paham seperti ini menyalahi syariat?
Jika mereka ingin melihat Islam hanya sebatas agama tanpa penghayatan dan penerapan hidup, bukankah keinginan seperti ini menyalahi tujuan kedatangan Islam, kedatangannya yang ingin mengibarkan panji syariat di muka bumi?
Yah, Islam itu bukanlah seperti teori arsitek atau cara kerja mesin yang tidak menuntut apa-apa dari seseorang kecuali meyakini dan menyebutkan dalil-dalil kebenarannya, ia pun bukan seperti filsafat akal yang dengan membacanya seseorang akan terhibur, atau ia hanya dipegang dan dibaca oleh para pemerhatinya jika timbul dalam diri mereka keinginan yang mendorong mereka untuk membaca dan mengamati. Islam bukan seperti ini dan itu, tetapi Islam metode hidup yang meliputi seluruh bentuk pembelajaran, baik rohani, praktek, atau yang bersifat ilmiah, ia pun menyuguhkan kaidah-kaidah yang jelas dalam mencapai kemaslahatan umum yang erat kaitannya dengan masalah-masalah pribadi, lingkungan, negara, dan umat.
Itulah Islam yang ingin dipudarkan bahkan ditutup cahayanya oleh mereka, tetapi, bagaimana mungkin mereka melakukannya, Islam metode kehidupan sempurna dunia-akhirat yang diridhai Allah, pemilik matahari kehidupan. ([9])
Kini, penulis yakin bahwa Anda dengan penuh percaya diri mengamini apa yang telah dikatakan oleh kebanyakan para ahli tahkik dan pemerhati sejarah politik Islam bahwa Rasulullah Saw pemimpin negara Islam pertama di Madinah yang menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya demi menjaga kedaulatan Islam dari rongrongan kafir Mekah dan Yahudi di Madinah.
Sekarang, Anda diajak berikutnya melihat beberapa bentuk keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw yang di antaranya:

Pertama: Kemampuannya menyatukan kaum Aus dan Khasraj

Yang diketahui bersama, Rasulullah Saw tidak hijrah ke Madinah sebelum kota ini layak menerima kedatangannya.
Yang diketahui juga, kota Madinah, sebelum Rasulullah Saw hijrah ke sana, kota yang penuh hiruk-pikuk perselisihan kaum Aus dan Khazraj yang dipicu oleh fitnah-fitnah busuk orang-orang Yahudi. ([10]) Api kebencian di antara mereka senantiasa berkobar dan mustahil dipadamkan meski menghabiskan yang kecil dan besar, yang hina dan mulia dari perbendaharaan alam. Kebencian ini mewariskan dendam membara di hati mereka yang memicu terjadinya perang Buats yang kekal dikenang sejarah. Kenyataan ini telah diukir abadi Q.S. Al-Anfal [8]: 63, namun, dengan kehendak Allah SWT Rasulullah Saw berhasil memadamkan kobaran api kebencian itu dengan persaudaraan Islam yang menyejukkan hati mereka.
Apa yang Rasulullah Saw lakukan sehingga ia berhasil mendamaikan mereka?
Seperti adat kaum Arab di musim ibadah, mereka berbondong-bondong menuju kota Mekah untuk beribadah di Ka’bah. Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja Rasulullah Saw, tetapi ia memanfaatkannya dengan mendatangi mereka memaparkan dirinya dan agama yang ia emban. Di tahun itu, secercah harapan terbit dari kejauhan sana. Rasulullah Saw mendatangi kaum Khazraj pada bulan Rajab –seperti yang disepakati kebanyakan ahli sejarah- mengajak mereka masuk Islam setelah memaparkan kebenaran dan keindahannya.
Mereka pun dengan antusias mendengarkan dakwah Rasulullah Saw tersebut, mengingat masalah besar yang mereka tinggalkan di Madinah, perpecahan yang disebabkan oleh orang-orang Yahudi di antara mereka, Aus dan Khasraj. Di lain sisi, mereka pun menakuti ancaman orang-orang Yahudi yang selalu mengintimidasi mereka dengan kedatangan seorang Rasul yang akan memimpin orang-orang Yahudi membasmi mereka.
Kedua faktor ini sebab utama yang menarik perhatian mereka mendengarkan apa yang disampaikan Rasulullah Saw.
Mereka pun sejenak termenung merenungkan perihal buruk mereka di kota Madinah dan sifat-sifat kenabian Rasulullah Saw seperti yang diberitakan oleh ahli kitab orang-orang Yahudi, dan tidak lama kemudian setelah mereka bermusyawarah, mereka dengan tekad bulat yang didasari mufakat mengumumkan keislaman mereka. ([11])
Rasulullah Saw melakukan hal serupa terhadap kaum Aus. Namun, sejarah mencatat bahwa kaum Khazraj lebih cepat menerima dan mempercayai kebenaran kenabian dan kerasulannya dari kaum Aus. Mereka inilah yang menyebarkan Islam secara diam-diam di rumah-rumah mereka, jauh dari pengetahuan orang-orang Yahudi, sehingga kota Madinah sudah layak menjadi kota hijrah Rasulullah Saw.([12])
Setibanya di Madinah, yang pertama kali dilakukan Rasulullah Saw sebagai kepala negara membangun masjid, rumah Allah yang tidak mengenal kata perbedaan di antara manusia, tempat ibadah yang kondusif menangani masalah-masalah kenegaraan yang membutuhkan keteduhan dan kejernihan berpikir. Di sini masjid Rasulullah Saw memainkan peranan tersebut dengan baiknya.
Kemudian, Rasulullah Saw sebagai pemimpin negara mengajak orang-orang Yahudi menyepakati sebuah perjanjian suci, perjanjian yang mewajibkan mereka untuk hidup damai berdampingan dengan orang-orang mukmin, Muhajirin dan Anshar, dan mempertahankan kedaulatan negara Madinah dari rongrongan orang-orang kafir yang sewaktu-waktu dapat mengancam stabilitas negara. Tetapi, Yahudi Madinah melanggar perjanjian tersebut dan tidak menepatinya, bahkan bersekutu dengan kafir Mekah mengepung bala tentara Islam yang dipimpin langsung Rasulullah Saw di perang Khandaq. Olehnya itu, wajar jika mereka diusir Rasulullah Saw dari kota Madinah karena telah melanggar piagam suci perdamaian tersebut.
Keberhasilan yang cemerlang ini bukti nyata kepiawaian Rasulullah Saw dan ketajaman analisa politiknya dalam menangani masalah-masalah kenegaraan yang menuntut ketepatan dan ketangkasan khusus.

Kedua: Perjanjian Hudaibiyyah

Di perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah Saw beserta 1.300 muslim keluar menuju kota Mekah dengan maksud ziarah, dan bukan menginginkan perang. Setelah berita ini didengar orang-orang musyrik, mereka pun menghalang orang-orang mukmin di Hudaibiyyah sebelum memasuki kota Mekah. Situasi ini menyebabkan ketegangan urat saraf di antara kedua belah pihak yang berujung perjanjian damai yang bersyarat. Mereka mensyaratkan orang-orang Islam mengurungkan niat menziarahi kota Mekah tahun ini, dan dibolehkan mengunjunginya tahun depan. Di samping itu, mereka pun menambahkan syarat yang tidak kalah kerasnya dengan di atas, mereka meminta pihak Islam mengembalikan siapa pun dari mereka yang ditemukan mendatangi Madinah dalam keadaan beriman atau tidak, dan mereka tidak diwajibkan memulangkan seseorang dari pihak muslim jika ditemukan mendatangi kota Mekah.
Syarat yang secara lahiriah telah mencoreng kehormatan mereka dan kedaulatan negara Islam, syarat yang sulit diterima oleh sebagian sahabat. Yang demikian itu karena yang mereka yakini kemampuan mereka meraih kemenangan jika terjadi peperangan dengan kafir Mekah. Mereka tidak peka melihat apa yang mendasari Rasulullah Saw menerima perjanjian tersebut, pandangan singkat mereka tidak mampu melihat sudut pandang Rasulullah Saw yang jauh meneropong kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.
Dengan perjanjian ini kota Mekah dan Madinah diselimuti sejuknya kedamaian dan perasaan aman, terbentang benang pertemuan dan perjumpaan antara kedua belah pihak, sehingga orang-orang Islam dengan leluasa memperdengarkan mereka Al-Quran dan melakukan debat tentang kebenaran ajaran Islam. Kejadian-kejadian seperti ini tidak pernah dijumpai sebelum terjadinya perjanjian damai di Hudaibiyyah. Olehnya itu, banyak dari mereka yang memeluk Islam. ([13])
Kenyataan ini seperti arus deras yang terpancar kuat menerpa dan mengangkat keraguan sebagian dari mereka yang enggan menerima kecemerlangan Rasulullah Saw dalam menjalankan politik negara.
Di penghujung tulisan ini saya mengajak pemerhati Sunnah Rasulullah Saw dan tatanan politik Islam menyuarakan kesimpulan berikut ini:
“Peka terhadap pemetaan Sunnah Rasulullah Saw langkah pertama dan yang terpenting dalam memeras kekayaan khazanah makna-makna kenabian dan kerasulan, buta terhadap pemetaan ini boleh jadi menjadi hijab tersendiri terhadap khazanah tersebut. Keberhasilan manuver-manuver politik Rasulullah Saw dalam menjaga stabilitas negara Islam pertama di Madinah tidak dapat dipungkiri lagi. Yang mengingkarinya seperti menutup cahaya matahari dari muka bumi dengan kedua telapak tangannya. Islam tidak dapat dipisahkan dari tatanan hukum negara. Yang menanggalkannya dari organ-organ tubuh negara seperti menggali kuburan sendiri, mereka yang menginginkan kebebasan yang didasari nafsu hewani dan dekadensi moral yang meruntuhkan. Kenakakan gaun Islam Anda dan lambaikan tangan perpisahan meninggalkan corak-corak sekularisme yang mengaburkan dan membutakan pandangan hidup Anda! Sekarang, negara Islam yang berdaulat perangkat utama dalam menegakkan ajaran dan hikmah syariat.”


Sumber:
 http://www.dakwatuna.com
0 Comments
Tweets
Komentar