Fahmi Salim Zubair |
pkssiak.org - Allah Ta’ala berfirman:
“dan mereka mengikuti apa [kitab sihir] yang dibaca oleh syaitan-syaitan [Syaitan-syaitan itu menyebarkan berita-berita bohong, bahwa Nabi Sulaiman menyimpan lembaran-lembaran sihir (Ibnu Katsir)] pada
masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu
mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya
tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
“Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan
sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
isterinya [Bermacam-macam sihir yang dikerjakan orang Yahudi, sampai
kepada sihir untuk mencerai-beraikan masyarakat seperti
mencerai-beraikan suami isteri]. dan mereka itu (ahli sihir) tidak
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin
Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah
meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir
itu, Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS Al Baqarah: 102)
Hubungan ayat 102 ini dengan ayat
sebelum dan setelahnya telah dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Abu Zahrah.
Beliau menulis, “Ayat-ayat Allah datang untuk menjelaskan dan mengajak
umat Yahudi kepada kebenaran, tapi mereka campakkan. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi mereka dengan membawa kitab
suci yang membenarkan kebenaran yang ada pada mereka, tapi mereka juga
memunggunginya. Mereka tinggalkan kebenaran yang tampak cahayanya.
Kebiasaan Yahudi meninggalkan cahaya, dan mengikuti kegelapan (…)
dinyatakan di dalam ayat 11 kitab Raja-raja, “Para penyihir, merekalah
yang membangun kekuasaan Sulaiman. Dan sungguh Sulaiman telah murtad dan
kafir, lalu mereka menyebutkan sihir.” (Zahrat Al Tafasir, vol.1/336-337)
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menyatakan
bahwa tafsir ayat ini adalah, “Sulaiman tidaklah kafir, dan tidak pula
Allah turunkan sihir kepada 2 malaikat, akan tetapi setan-setan itulah
yang telah kafir dan mengajarkan sihir kepada manusia di daerah
Babilonia (Irak). Karena para tukang sihir Yahudi meyakini bahwa Allah
telah ajarkan sihir melalui Jibril dan Mikail kepada Saulaiman bin Daud,
yang dibantah oleh Allah, dan telah mengkabarkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Jibril dan Mikail tidak pernah
mengajarkan sihir. Sulaiman juga terbebas dari tuduhan sihir. Sebab
sihir adalah perbuatan setan yang mengajarkannya kepada manusia di
daerah Babilonia” (Tafsir Ibn Katsir, vol.1/199)
Imam Ibnu Abi Hatim, dengan sanadnya,
mengutip perkataan Al Hasan Al Bashri, “Lembaran-lembaran yang dibaca
setan ada 3 macam, sepertiganya syair, sepertiganya sihir, sepertiganya
perdukunan.” (Tafsir Ibn Katsir, vol.1/198)
Jelasnya, ayat ini menghukumi praktik
sihir itu adalah haram karena ia adalah salah satu perbuatan/ajaran
setan. Selain sihir, praktik perdukunan (kahanah) dan peramalan
(‘irafah), sesuai keterangan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah juga haram karena ia adalah perbuatan
kekufuran. “Orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian
membenarkan apa yang dikatakannya maka orang tersebut telah kufur
terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam.” (HR. Ahmad dan Al Hakim dari Abu Hurairah ra)
Bukan saja terlarang, efek sampingnya
adalah shalat orang yang mempercayai dukun selama 40 tahun tidak akan
diterima Allah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang
yang mendatangi tukang ramal (paranormal) kemudian ia bertanya kepadanya
tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 tahun.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Selain itu, Rasulullah merinci tiga (3)
macam dosa besar yang bisa mengakibatkan muslim menjadi lepas dari agama
Islam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang
bersetubuh dengan istri yang sedang haid atau dari duburnya, atau
mendatangi dukun kemudian membenarkan apa yang dikatakannya, maka
sungguh orang tersebut telah lepas (kafir) dari apa yang telah
dinuzulkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh).
Di dalam keterangan lain, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengharamkan kita membawa jimat atau semua
sarana yang dihasilkan praktik sihir dan perdukunan. “Orang yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Al Hakim dari Uqbah bin ‘Amir Al Juhani). Ini sesuai dengan kaidah fikih, “Segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram maka jalan (wasilah) itu juga haram.”
Menurut ajaran Islam, praktik sihir,
perdukunan dan peramalan tidak boleh dijadikan profesi, alias haram
dikerjakan dan haram memberi atau menerima upah dari praktik perdukunan
tersebut. Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiyallahu ‘Anh, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang pemanfaatan harga jual beli anjing, upah pelacuran (zina), dan upah dukun.” (HR. Bukhari-Muslim)
Islam sangat membenci dan melarang
perdukunan karena terkandung makna seseorang mengklaim dirinya
mengetahui hal-hal yang ghaib (belum dan akan terjadi), sebagaimana
ditegaskan oleh Al Hafiz Ibnu Hajar Al ‘Asqallani dalam kitab Fathul Bari.
Seorang dukun menggunakan bantuan jin untuk mencuri kabar malaikat,
lalu dia bocorkan kepada si dukun. (Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Mawqif Al Islam min Al Ilham wa Al Kasyf wa Al Ru’a wa Al Tamaim wa Al Kahanah wa Al Ruqya, hal.185)
Mengapa perdukunan, seperti ditegaskan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dinilai kekafiran dan menolak wahyu
yang diterima oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Itu
karena salah satu prinsip Al Quran yang diwahyukan kepada beliau adalah
perkara gaib itu menjadi urusan Allah semata, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah dan rasul yang Ia ridhai untuk mengetahuinya
atas dasar izin dari-Nya.
Perhatikan wahyu Al Quran berikut ini yang menyatakan bahwa, Katakanlah:
“tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan
dibangkitkan. (An-Naml: 65); dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan
Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai
daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (Al An’am: 59); Katakanlah:
“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula)
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah
pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.” (Al A’raf: 188); (dia adalah Tuhan) yang mengetahui
yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang
ghaib itu. kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya
Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (Al Jinn: 26-27)
Sehingga apabila seseorang mengklaim
mengetahui perkara gaib ia telah menempatkan dirinya sebagai sekutu
Allah. dalam arti, ia bersama-sama Allah bersekutu dalam hal pengetahuan
yang gaib. Ini artinya akan berdampak kepada kemusyrikan. Allah
berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan
Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Annisa’: 48); “..Barangsiapa
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh
dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat
yang jauh.” (Al Hajj: 31). Kita berlindung kepada Allah dari segala bentuk kemusyrikan.
Relevansi RUU KUHP dengan Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia dalam Munas Alim
Ulama tahun 2005 telah memfatwakan haram praktik perdukunan. Ditegaskan
bahwa: 1) Segala bentuk praktik perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘irafah)
hukumnya haram. 2) Mempublikasikan praktik perdukunan dan peramalan
dalam bentuk apa pun hukumnya haram. 3) Memanfaatkan, menggunakan dan
atau mempercayai segala praktik perdukunan dan peramalan hukumnya haram.
(Fatwa MUI tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M)
Substansi dan semangat fatwa MUI tahun
2005 itu sejalan dengan salah satu pasal dalam Rancangan Undang-Undang
yang kini sedang digodok dan dibahas oleh DPR RI. Isi pasal 293 RUU KUHP
menyatakan bahwa: “(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya
mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau
memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya
dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori IV. (2) Jika pembuat tindak
pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan
tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata
pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3
(satu per tiga).”
Sudah saatnya, praktik perdukunan dan
paranormal yang tak jarang melakukan santet sesuai pemesanan pihak
tertentu untuk mencelakakan orang lain yang tidak disukai, harus
dipidana sesuai aturan hukum positif Indonesia. Delik yang dipakai
adalah formil, dan bukan delik materil. Yang dipidana bukanlah hakikat
pembunuhan/penganiayaan terselubung yang dilakukan penyihir/tukang
santet, melainkan perbuatan mereka yang mengganggu ketertiban umum.
Selain itu, menurut pakar hukum pidana, dimasukkannya pasal ‘Santet’
(lebih tepatnya ‘Perdukunan’ [witchratf & sorcery]) sangat penting
karena dampak sosial yang ditimbulkan seperti keresahan masyarakat dan
main hakim sendiri terhadap orang terduga tukang santet. Lebih dari pada
itu, jelas sekali dalam pandangan Islam, praktik itu berdampak besar
yaitu pelecehan agama, melahirkan kemunkaran yang mengantarkan kepada
kekafiran dan kemusyrikan.
Wallahu a’lam. [