Ahmad Sarwat |
pkssiak.org - Tema
ini sangat urgen bagi seorang ahli fiqh atau bagi seorang guru untuk
memberikan pemahaman yang benar tentang hukum berpegang dengan salah
satu madzab. Apakah seseorang dianjurkan untuk menganut madzhab
tertentu? Bagaimana hukum bertaklid? Apa batasan-batasan pembolehan?
Peninggalan fiqh yang kita miliki yang
memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi manusia ini tidak terbatas
pada madzhab empat saja (Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafii). Madzhab
dalam Islam banyak dan beragam, baik yang ada hingga sekarang, atau
punah, atau tinggal dalam buku-buku saja seperti yang dijelaskan di
awal. Dalam pendapat- pendapat dari sekian yang ada banyak memberikan
faidah dan guna dalam memberikan alternatif hukum pemecahan suatu
masalah. Sebab agama Allah ini muda dan tidak kesulitan bahkan untuk
mewujudkan kepentingan dan kebutuhan manusia. Berbeda dengan seorang
hakim, menurut Dr. Wahbah Az Zuhaili, ia harus berpegang dengan madzhab
empat karena ini yang diamalkan oleh ulama-ulama ahli sunnah hingga saat
ini sehingga hal ini menjadi semacam ‘Urf.
Yang menjadi kewajiban seseorang dalam
belajar fiqh adalah berusaha – dengan ilmu yang ia miliki – mencari
kebenaran dan maslahah dari pendapat-pendapat fiqh dan meninggalkan
pendapat yang “aneh” dan bertentangan dengan sumber dan dasar-dasar
syariat. Allah memerintahkan kita untuk mengikuti sahabat dan tabi’in.
Allah berfirman,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100)
Imam Syafii mengatakan,”Pendapat mereka
lebih baik dari pada pendapat kami.” Al Izz bin Abdus Salam
mengatakan,”Jika seorang muqallid meyakini kebenaran sebuah pendapat
dalam suatu madzhab maka ia sah untuk mengikutinya meski bukan dari
madzhab empat. Ia sah untuk mengikuti salah satu madzhab yang ada.”
Al Iraqi berkata,”Ijma’ ulama menyatakan
bahwa barangsiapa yang masuk Islam, maka ia boleh bertaqlid dengan
siapa saja tanpa dosa. Para sahabat sepakat bahwa orang yang meminta
fatwa kepada Abu Bakar dan Umar kemudian bertaqlid dengannya, maka ia
sah untuk meminta fatwa kepada Abu Hurairah, Muadz bin Jabal dan lainnya
dan beramal dengan pendapat mereka. Barangsiapa yang mengaku ijma’ ini
tidak berlaku maka ia harus menunjukkan dalil,”
Dari sini bisa disimpulkan bahwa tidak
ada dalil satupun untuk mewajibkan seseorang untuk mengikuti satu dari
empat madzhab yang ada. Keempat madzhab ini dinilai sama. Juga sah saja
mengikuti madzhab selain empat madzhab yang ada.
A. Setia Pada Satu Mazhab
Namun demikian tetap ada perbedaan ulama tentang apakah komitmen dengan satu madzhab tertentu dituntut (diharuskan)?
Pendapat sebagian ulama: Komitmen dengan
satu madzhab tertentu dan imam tertentu hukumnya harus karena ia yakin
bahwa pendapat itu benar sehingga ia harus komitmen dengan keyakinannya.
Pendapat sebagian besar ulama: tidak
harus komitmen dengan satu imam tertentu dalam semua masalah dan hukum.
Namun ia boleh bertaqlid dengan imam mujtahid tertentu yang ia
kehendaki.
Jika berkomitmen dengan satu madzhab
tertentu seperti madzhab Abu Hanifah, Syafii atau yang lain, maka ia
tidak wajib terus-menerus (berkelanjutan) mengikuti mereka dalam setiap
masalah. Ia boleh berpindah dan memilih dari madzhab satu ke madzhab
yang lain. Sebab ia hanya wajib mengikuti apa yang diwajibkan Allah dan
Rasul-Nya.
Sementara Allah dan Rasul- Nya tidak
mewajibkan seseorang untuk mengikuti salah satu dari ulama, Allah hanya
memerintahkan untuk mengikuti mereka secara umum, tanpa mengkhususkan
satu dari yang lain. Allah berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu,
kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,” (An Nahl: 43)
Disamping itu pendapat yang menyatakan
harus komitmen dengan satu madzhab akan menyebabkan kesulitan dan
kerepotan, padahal madzhab-madzhab yang ada adalah nikmat dan rakmat
bagi umat.
B. Murujuk Kepada Banyak Pihak Atau Yang Termudah
Apakah wajib bertanya kepada orang ahli
ilmu yang lebih utama (lebih banyak ilmunya) atau sah baginya bertanya
dengan ahli ilmu yang paling mudah baginya?
Pendapat sebagian pengikut Syafi’i dan
Ahmad bin Hanbal bahwa seseorang harus berusaha bertanya kepada orang
lebih baik kualitas ilmu, wara’, dan agama jika memungkinkan dan ia juga
harus menimbang mana di antara di antara jawaban yang lebih kuat untuk
diikuti. Imam Al Ghazali mengatakan,”Barangsiapa yang yakin bahwa Imam
Asy Syafi’i lebih utama, dan ia yakin Syafii lebih banyak benarnya, maka
ia tidak boleh mengambil madzhab lain hanya karena keininginan dan
selera semata tanpa pertimbangan dalil yang ada.
Sebab pendapat ulama bagi manusia umum
seperti pertanda sehingga seorang penanya hanya melakukan tarjih
(memilih yang lebih kuat). Caranya adalah memilih di antara mereka yang
paling banyak ilmu, kredibilitas agama, wara’ dan sifat-sifat mulia
lainnya.
Menurut Abu Bakr Al Arabi dan kebanyakan
ulama dan ahli usul: Seseorang boleh memilih di antara ulama untuk
diikuti pendapatnya. Ia boleh memilih bertanya baik mereka kwalitasnya
sama atau berbeda dan boleh memilih yang lebih rendah (mafdhul) meski
yang utama (afdhal) ada. Sebab Allah berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu,
kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,” (An Nahl: 43)
Sebab sahabat sepakat; di antara para
sahabat ada yang utama (fadhil) dan ada dibawah itu (mafdhul) dari
kalangan ahli ijtihad, di antara mereka juga ada yang awam, namun tidak
ada seorang pun di antara mereka yang mewajibkan orang awam untuk
mengikuti seorang mujtahid dari sahabat.
Kalau seandainya memilih di antara pendapat yang ada tidak boleh maka tidak mungkin sahabat membiarkannya.
C. Pendapat Yang Harus Diikuti
Sebuah kenyataan yang tidak mungkin
dipungkiri, bahwa para ulama seringkali berbeda pendapat dalam masalah f
uru’ fiqih. Bahkan kita mengenal ada beberapa mazhab fiqih dalam Islam,
4 diantaranya dikaitkan sebagai mazhab-mazhab yang besar.
Lalu bagaimanakah sikap seorang Muslim dalam menghadapi perbedaan fatwa dari beragam mazhab itu.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama ushul. Berikut uraian singkat tentang masalah ini:
- Kebanyakan pengikut Syafii: Manusia boleh memilih pendapat yang mana saja dari pendapat yang ada, sebab ijma’ sahabat tidak mengingkari orang beramal dengan pendapat orang bukan lebih utama dari pada pendapat yang lebih utama. Pendapat ahli dhahir dan Hanbali: seseorang mengambil pendapat yang lebih keras dan berat.
- Seseorang harus mengambil pendapat yang paling ringan.
- Seseorang harus mencari pendapat imam yang paling luas ilmunya untuk diikuti.
- Seseorang harus mengikuti pendapat pertama kali muncul.
- Seseorang harus pendapat yang didasarkan pada riwayat bukan pendapat.
- Seseorang harus berijtihad sendiri.
- Jika suatu masalah terkait dengan hak Allah maka ia mengambil pendapat yang paling ringan dan jika masalah terkait dengan hak manusia maka ia harus mengambil pendapat yang paling berat. Ini pendapat yang dipegang oleh Abu Mansur Al Maturidi.
D. Memilih Hanya Pendapat Yang Paling Ringan
Bila memang umat Islam yang awam boleh
memilih pendapat- pendapat yang ada di dalam tiap mazhab, apakah
dibolehkan bila seseorang melakukan tatabu’ Ar Rukhash, yaitu mencari
dan memilih hanya pendapat- pendapat yang paling ringan dari semua
mazhab? Dan meninggalkan sebuah pendapat dari siapapun, bila dianggapnya
memberatkan? Mengenai tatabbu’ ar rukhash, ada beberapa pendapat di kalangan para ulama, antara lain:
1. Pendapat Hanabilah, Malikiyah, dan Al Ghazali:
Tidak boleh memilih pendapat-pendapat
yang ringan saja karena ini kecenderungan hawa nafsu dan syariat Islam
melarang untuk mengikuti hawa nafsu.
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah
Allah dan ta’atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (An
Nisa: 59)
Berarti tidak sah mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada hawa nafsu namun dikembalikan kepada syariat.
Ibnu Abdul Barr berkata,”Ijma’ mengatakan, tidak boleh seorang awam memilih pendapat-pendapat yang ringan-ringan,”
2. Penegasan madzhab Hanabilah:
Jika dua orang mujtahid sama kualitasnya
menurut orang yang meminta fatwa, namun jawabannya berbeda maka ia
memilih pendapat yang paling berat. Sebab dalam riwayat Tirmizi
mengatakan,”Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Tidaklah
Ammar ketika dihadapkan kepada dua perkara melainkan ia memilih yang
paling berat di antara keduanya,” Tirmizi mengatakan hadits ini Hasan
Gharib.
3. Penegasan Malikiyah:
Dilarang memilih pendapat-pendapat yang
ringan saja dalam semua masalah yang ia hadapi. Bahkan sebagian kelompok
madzhab ini mengatakan orang yang hanya memilih-milih pendapat ringan
termasuk fasik. Yang lebih baik adalah dengan memilih yang paling berat
sebagai langkah untuk berhati-hati, sebab orang yang agamanya kuat ia
bersifat wara’ dan orang yang agamanya lemah ia mencari-cari yang
bid’ah.
4. Pendapat sebagian As Syafii dan Hanbali:
Boleh seseorang mengikuti dan
memilih-milih yang ringan-ringan dalam pendapat madzhab karena dalam
syariat tidak ada yang melarang melakukan itu. Sejumlah hadits baik
sunnah fi’liyah (perbuatan) atau perkataan (qauliyah). Disebutkan dalam
sebuah hadits,
“Tidaklah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam. memilih antara dua perkara kecuali ia memilih yang paling
ringan selama bukan dosa,”
Dalam shahih Bukhari disebutkan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mencintai yang meringankan bagi umatnya (HR. Bukhari)
Beliau bersabda,”Aku diutus dengan (agama) yang lurus lagi ringan,” (HR Ahmad)
Hadits lain, “Agama ini mudah dan tidaklah seseorang memperberat agama ini kecuali ia akan kalah,” (HR Bukhari dan Nasai)
Hadits lain,
“Sesungguhnya Allah mewajibkan sejumlah
kewajiban-kewajiban, memberikan tuntutan sunnah-sunnah (anjuran yang
tidak bersifat wajib), menetapkan hukuman-hukuman, menghalalkan yang
haram, menghalalkan yang haram, memberikan syariat agama dan
dijadikannya mudah, luwes dan leluasa dan tidak dijadikan sempit,” (HR
Thabrani)
Asy Sya’bi mengatakan,”Tidak seseorang diberi dua pilihan dan memilih yang paling mudah kecuali itu lebih dicintai oleh Allah,”
Al Qarafi, salah seorang ulama dari
mazhab Al Malikiyah mengatakan,”Boleh memilih pendapat-pendapat ringan,
dengan syarat tidak menyebabkan perbuatan yang batil menurut semua
madzhab. “
Namun batasan yang diberikan oleh Al
Qarafi ini tidak memiliki landasan nash atau ijma’ seperti yang
ditegaskan oleh Al Kamal bin Hammam,”Jika seseorang boleh berbeda dengan
sebagian mujtahid dalam semua tindakannya, maka tentu juga boleh
berbeda dalam sebagian tindakannya. Adapun ucapan Ibnu Abdul Barr yang
mengatakan,”Ijma’ mengatakan, tidak boleh seorang awam memilih
pendapat-pendapat yang ringan-ringan,” kutipan ijma’ ini tidak sah.
Sementara pemberian status fasiq
terhadap orang yang memilih pendapat-pendapat ringan sebenarnya dalam
madzhab Hanabilah ada dua riwayat. Al Qadhi Abu Ya’la menafsirkan bahwa
fasiq adalah bukan orang yang mutawwil dan bukan muqallid. Sebagian
Hanabilah mengatakan,”Jika dalilnya kuat atau ia awam maka ia tidak
fasik.
Kesimpulan:
Dasar dari mengambil (memilih)
pendapat-pendapat yang ringan adalah sesuatu yang dicintai oleh Islam,
agama Islam ini mudah, tidak ada dalam agama Islam ini kesulitan.
Seharusnya memang seorang muqallid (taklid) tidak bertujuan
memilih-milih pendapat ringan dalam setiap masalah yang ia hadapi dan
setiap urusan agamanya,”
Namun hal ini diboleh tetap dengan
syarat memalingkan seseorang dari syariat Islam. Menurut pendapat
Syatibi: Seorang muqallid harus melakukan tarjih sebatas kemampuannya
dan mengikuti dalil yang paling kuat. Sebab syariat dalam urusan nayata
mengembalikan kepada satu perkataan, maka seorang muqallid tidak boleh
memilih-milih di antara pendapat yang ada. Sebab jika ini terjadi
berarti ia mengikuti pendapat sesuai dengan hawa nafsunya.
Syathibi melanjutkan,”Ada beberapa negatif akibat memilih pendapat-pendapat ringan:
- Mengklaim bahwa perbedaan ulama adalah hujjah (alasan) untuk memilih yang boleh sehingga tersebar di antara manusia bahwa yang dilakukannya boleh padahal sebenarnya masalah itu masih diperdebatkan ulama.
- Prinsip pembolehan ini menyeret seseorang untuk meninggalkan dalil dan mengikuti perbedaan. Padahal kita diperintahkan mengikuti dalil.
- Memberikan kesan seakan agama Islam tidak disiplin seperti meninggalkan yang jelas dalilnya memilih sesuatu yang belum jelas dalilnya karena kebodohan dengan hukum-hukum madzhab lainnya.
- Prinsip ini bisa menjerumuskan seseorang untuk menjauhkan seseorang dari hukum-hukum syariat secara keseluruhan, karena ia memilih yang ringan-ringan saja padahal beban-beban syariat secara umum itu berat.
E. Paham Anti Mazhab
Paham Anti Mazhab di dalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan sebutan al la mazhabiyah
(). Sebuah istilah yang disematkan kepada kalangan yang bukan sekedar
tidak mau merujuk kepada mazhab-mazhab fiqih yang ada, tetapi lebih jauh
dari itu, paham ini secara terbuka memerangi mazhab dan para ulamanya,
bahkan mencaci maki serta menginjak-injak hasil-hasil ijtihad para
mujtahid sepanjang zaman.
Tujuan dari paham sesat ini tidak lain
untuk meruntuhkan ajaran Islam, lewat penikaman langsung ke ulu hati
tubuh agama Islam. Sehingga mereka yang terkena tikaman belati paham
ini, kontan sekarat dan mati.
Ada beragam klaim tidak berdasar yang
sering kali digunakan untuk melakukan penyerangan-penyerangan, yang
sesungguhnya mudah sekali dipatahkan, bila seseorang pernah belajar dan
mengerti hakikat ilmu fiqih dan mazhab.
Namun karena sasarannya adalah
orang-orang awam, seringkali jatuh korban juga. Dan memang yang tidak
pernah berubah adalah sasarannya, yaitu para pemuda Islam yang punya
semangat berislam yang tinggi, namun tidak sempat belajar ilmu fiqih
sejak kecil.
Dengan ilmu yang terbatas, tanpa latar
belakang pendidikan agama yang baku, kecuali hanya lewat ceramah lepas,
atau melalui jalur guru yang bukan ahli di bidang syariah, tiba-tiba
jalan pikiran para pemudia itu dibelokkan sedemikian rupa oleh pendukung
ajaran ini, sehingga akhirnya para pemuda itu tampil sebagai tonggak di
garis terdepan yang memerangi mazhab serta metode dan hasil ijtihad
para ulama yang muktamad dalam sejarah Islam.
Para pemuda yang kurang ilmu tapi
berstamina tinggi ini kadang menguasai forum majelis taklim, bahkan
anehnya seringkali malah menjadi nara sumber berbagai majelis taklim,
yang murid-muridnya memang orang yang jauh lebih awam lagi. Maka
masuklah doktrin-doktrin sesat yang esensinya menyerang habis ilmu fiqih
umumnya, dan mazhab ulama khususnya.
Bukan sekedar menyalahi syariah, bahkan
paham anti mazhab ini termasuk dalam kategori sebuah bid’ah yang paling
berbahaya dan bekerja dengan sangat sistematis merusak syariah Islam.
Sayang sekali hari ini banyak sekali korban berjatuhan di tengah
generasi muda Islam. Sebuah penyesatan yang akan menghancurkan kekuatan
Islam dari dalam meracuni pemikiran kalangan awam dengan label yang
menipu.
Dr. Muhammad Said Ramadhan Al Buthi,
ulama besar Suriah dan aktifis senior pergerakan Islam di negeri itu,
membeberkan betapa berbahayanya paham anti mazhab ini dalam bukunya
setebal 200-an halaman yang berjudul Anti Mazhab: Bid`ah Paling Merusak.
Yang menarik dari buku ini, beliau
menceritakan bagaimana sengitnya serangan kelompok anti mazhab ini
terhadap syariat Islam. Beliau memang terlibat langsung dalam dialog
yang panjang, semalam suntuk, dengan tokoh terbesar kalangan anti
mazhab, yaitu Nashirudin Al Albani.
Ta’ashshub dan fanatisme buta kepada
pemikiran sendiri adalah sumber penyakit yang melanda kalangan anti
mazhab ini. Mereka telah mengurung diri mereka di dalam sangkar
ashabiyah (fanatisme kelompok) yang rendah. [HA]