Demokrat Harus Belajar dari PKS
By: Abul Ezz
Selasa, 09 April 2013
0
pkssiak.org - Di Pemilu 2004, Demokrat dan PKS menjadi rising star.
Sebagai kekuatan baru, keduanya telah berhasil menyisihkan belasan
partai lain yang punya modal finansial besar, tokoh populer dan jejaring
kokoh. Merekapun menjadi bahan pembicaraan luas, entah di kalangan
politisi, akademisi, mahasiswa hingga pedagang kaki lima. Banyak pihak
memprediksikan kedua partai baru ini akan sukses menanjak di perhelatan
Pemilu berikutnya. Ramalan pengamat itu pun terbukti di Pemilu 2009.
Malahan Demokrat berhasil menjadi juara pertama kompetisi kepercayaan
publik itu, sementara PKS juga naik ke posisi 4 sebagai partai Islam
terbesar.
Kini menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, masih di tahun politik 2013, badai dahsyat menerpa kedua partai tersebut. Dugaan korupsi melilit tokoh kedua partai tersebut. Tak tanggung-tanggung mantan presiden PKS, Luthfi Hassan Ishaq telah ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga terlibat kasus suap impor daging yang dilakukan PT Indoguna Utama. Sementara itu, topan yang berhembus ke Demokrat tak kalah kencang. Setelah bendahara umum Nazaruddin menjadi tersangka, telah menyusul anggota DPR RI Angelina Sondakh, Menpora Andi Malarangeng dan terakhir ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menjadi pesakitan. Bedanya, memang LHI dari PKS langsung ditahan di Rutan Guntur karena sudah ada dua alat bukti dari KPK, sedangkan Andi dan Anas walaupun sudah ada dua alat bukti, masih bebas jalan-jalan keliling Indonesia.
Namun, persoalan utamanya adalah bagaimana sikap partai politik dalam menghadapi badai. Dalam satu episode Indonesia Lawyers Club di TV One, budayawan Betawi Ridwan Saidi mengatakan bahwa Demokrat lebih matang dalam menghadapi badai ketimbang PKS. Akan tetapi, faktanya kemudian menunjukkan bahwa PKS jauh lebih dewasa daripada Partai Demokrat yang sedang berkuasa.
Di tengah terpaan badai, PKS justru semakin solid. Di berbagai daerah, ribuan orang berbondong-bondong mendaftar menjadi anggota PKS. Bahkan, kader lama yang sempat hengkang kini banyak yang kembali sebab tahu betul bahwa PKS kian hari kian difitnah. Tak pelak kekuatan PKS bertambah mantap. Hebatnya, di tengah kejamnya media menghakimi LHI, PKS sukses memenangkan Pilkada dan menghantarkan kader intinya sebagai Gubernur di dua provinsi vital: Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Di lain sisi, Partai Demokrat malah semakin karam dengan badai ini. Konflik dan perpecahan internal tak terelakkan. Sebelum Anas mundur, di sejumlah daerah kader-kader menyatakan mengundurkan diri. Malahan ada yang membakar atribut partai seperti bendera dan kaos. Faksi-faksi mengemuka secara jelas memperebutkan kursi kepemimpinan partai. Sensitifitas dan emosi begitu tajam. Bahkan sebuah inisiaitif kebaikan pun bisa dimaknai sebagai ancaman pengkhianatan hingga memperoleh SMS teguran. Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turun tangan. Memutuskan untuk menggerakkan langsung partai ini, merangkap jabatannya sebagai Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Umum sekaligus. Publik pun menjadi sinis melihat peristiwa ini, “Apakah ini artinya SBY menjadi presiden Indonesia secara part-time?”
Dari semua ini, saya berpendapat bahwa sudah selayaknyalah elit Partai Demokrat bercermin dan belajar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam banyak hal, terutama perihal berDEMOKRASI. Harus diakui secara jujur, PKS lebih matang berdemokrasi dan berpolitik ketimbang Demokrat. Maka tak salah jika Demokrat diam-diam ataupun terang-terangan dari partai Islam ini. Ada banyak pelajaran dan teladan dari PKS yang patut ditiru oleh Demokrat dan partai politik lainnya.
Pertama, dari sisi regenerasi kepemimpinan. PKS tak pernah ribut saat menggelar Musyawarah Nasional. Demokrasi benar-benar berjalan apa adanya. Semua boleh berpendapat. Berbeda menjadi hal lumrah. Tapi begitu palu diketuk, semua wajib tunduk pada konsensus musyawarah. Bahkan ketika LHI tiba-tiba menyatakan pengunduran dirinya, PKS dalam waktu singkat bisa menentukan pilihan. Cepat, tanpa kisruh dan penuh nuansa persaudaraan.
Sedangkan di Demokrat, Kongres dipenuhi intrik, banyak issu dan berbiaya tinggi. Belakangan, PD juga kebingungan untuk mencari pengganti Anas, sampai-sampai tidak ada figur yang dianggap layak untuk menjadi pemimpin yang dapat menyatukan semua kepentingan di Demokrat kecuali sosok SBY. Jadi, dimana hasi kaderisasi Partai Demokrat yang dulu juga mengklaim sebagai partai anak muda?
Kedua, persoalan rangkap jabatan. Di PKS, ada tradisi bagi kadernya bila telah memegang jabatan publik maka wajib mundur dari jabatan struktural partai. Hal ini sudah dicontohkan Nurmahmudi Ismail ketika menjadi Menhutbun, Hidayat Nur Wahid ketika menjadi Ketua MPR dan Tifatul Sembiring ketika menjadi Menkominfo. Sebaliknya, Anis Matta mundur dari posisi Wakil Ketua DPR ketika diamanahkan menjadi Presiden PKS. Sebaliknya di Partai Demokrat, SBY tak ubahnya The Godfather. Tak akan ada keputusan partai tanpa restu Baginda SBY. Hingga akhirnya SBY merangkap posisi sebagai Presiden, Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Umum Partai sekaligus. Begitupula dengan menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II yang rata-rata juga pengurus inti di DPP Partai Demokrat.
Ketiga, posisi Majelis Syura/Dewan Pembina terhadap AD/ART. Di PKS, KH Hilmi Aminuddin sebagai Ketua Majelis Syura tunduk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai. Perubahan AD/ART hanya bisa terjadi dengan mekanisme resmi yang tercantum dalam AD/ART tersebut. Sementara di Demokrat, Ketua Dewan Pembina punya kekuasaan penuh untuk mengubah AD/ART partai sesuai kepentingannya.
Jika Partai Demokrat mau secara tulus belajar ketiga hal ini dari PKS, saya yakin PD akan berubah menjadi lebih demokratis dan Insya Allah bisa mempertahankan kemenangan elektoralnya tahun depan. Namun, bila tak ada upaya untuk belajar, saya optimis pula PD akan terus semakin merosot ke titik nadir keterpurukannya.
Banda Aceh, 8 April 2013
Anugrah Roby Syahputra
*http://politik.kompasiana.com
Kini menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, masih di tahun politik 2013, badai dahsyat menerpa kedua partai tersebut. Dugaan korupsi melilit tokoh kedua partai tersebut. Tak tanggung-tanggung mantan presiden PKS, Luthfi Hassan Ishaq telah ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga terlibat kasus suap impor daging yang dilakukan PT Indoguna Utama. Sementara itu, topan yang berhembus ke Demokrat tak kalah kencang. Setelah bendahara umum Nazaruddin menjadi tersangka, telah menyusul anggota DPR RI Angelina Sondakh, Menpora Andi Malarangeng dan terakhir ketua umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menjadi pesakitan. Bedanya, memang LHI dari PKS langsung ditahan di Rutan Guntur karena sudah ada dua alat bukti dari KPK, sedangkan Andi dan Anas walaupun sudah ada dua alat bukti, masih bebas jalan-jalan keliling Indonesia.
Namun, persoalan utamanya adalah bagaimana sikap partai politik dalam menghadapi badai. Dalam satu episode Indonesia Lawyers Club di TV One, budayawan Betawi Ridwan Saidi mengatakan bahwa Demokrat lebih matang dalam menghadapi badai ketimbang PKS. Akan tetapi, faktanya kemudian menunjukkan bahwa PKS jauh lebih dewasa daripada Partai Demokrat yang sedang berkuasa.
Di tengah terpaan badai, PKS justru semakin solid. Di berbagai daerah, ribuan orang berbondong-bondong mendaftar menjadi anggota PKS. Bahkan, kader lama yang sempat hengkang kini banyak yang kembali sebab tahu betul bahwa PKS kian hari kian difitnah. Tak pelak kekuatan PKS bertambah mantap. Hebatnya, di tengah kejamnya media menghakimi LHI, PKS sukses memenangkan Pilkada dan menghantarkan kader intinya sebagai Gubernur di dua provinsi vital: Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Di lain sisi, Partai Demokrat malah semakin karam dengan badai ini. Konflik dan perpecahan internal tak terelakkan. Sebelum Anas mundur, di sejumlah daerah kader-kader menyatakan mengundurkan diri. Malahan ada yang membakar atribut partai seperti bendera dan kaos. Faksi-faksi mengemuka secara jelas memperebutkan kursi kepemimpinan partai. Sensitifitas dan emosi begitu tajam. Bahkan sebuah inisiaitif kebaikan pun bisa dimaknai sebagai ancaman pengkhianatan hingga memperoleh SMS teguran. Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turun tangan. Memutuskan untuk menggerakkan langsung partai ini, merangkap jabatannya sebagai Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Umum sekaligus. Publik pun menjadi sinis melihat peristiwa ini, “Apakah ini artinya SBY menjadi presiden Indonesia secara part-time?”
Dari semua ini, saya berpendapat bahwa sudah selayaknyalah elit Partai Demokrat bercermin dan belajar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam banyak hal, terutama perihal berDEMOKRASI. Harus diakui secara jujur, PKS lebih matang berdemokrasi dan berpolitik ketimbang Demokrat. Maka tak salah jika Demokrat diam-diam ataupun terang-terangan dari partai Islam ini. Ada banyak pelajaran dan teladan dari PKS yang patut ditiru oleh Demokrat dan partai politik lainnya.
Pertama, dari sisi regenerasi kepemimpinan. PKS tak pernah ribut saat menggelar Musyawarah Nasional. Demokrasi benar-benar berjalan apa adanya. Semua boleh berpendapat. Berbeda menjadi hal lumrah. Tapi begitu palu diketuk, semua wajib tunduk pada konsensus musyawarah. Bahkan ketika LHI tiba-tiba menyatakan pengunduran dirinya, PKS dalam waktu singkat bisa menentukan pilihan. Cepat, tanpa kisruh dan penuh nuansa persaudaraan.
Sedangkan di Demokrat, Kongres dipenuhi intrik, banyak issu dan berbiaya tinggi. Belakangan, PD juga kebingungan untuk mencari pengganti Anas, sampai-sampai tidak ada figur yang dianggap layak untuk menjadi pemimpin yang dapat menyatukan semua kepentingan di Demokrat kecuali sosok SBY. Jadi, dimana hasi kaderisasi Partai Demokrat yang dulu juga mengklaim sebagai partai anak muda?
Kedua, persoalan rangkap jabatan. Di PKS, ada tradisi bagi kadernya bila telah memegang jabatan publik maka wajib mundur dari jabatan struktural partai. Hal ini sudah dicontohkan Nurmahmudi Ismail ketika menjadi Menhutbun, Hidayat Nur Wahid ketika menjadi Ketua MPR dan Tifatul Sembiring ketika menjadi Menkominfo. Sebaliknya, Anis Matta mundur dari posisi Wakil Ketua DPR ketika diamanahkan menjadi Presiden PKS. Sebaliknya di Partai Demokrat, SBY tak ubahnya The Godfather. Tak akan ada keputusan partai tanpa restu Baginda SBY. Hingga akhirnya SBY merangkap posisi sebagai Presiden, Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi dan Ketua Umum Partai sekaligus. Begitupula dengan menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II yang rata-rata juga pengurus inti di DPP Partai Demokrat.
Ketiga, posisi Majelis Syura/Dewan Pembina terhadap AD/ART. Di PKS, KH Hilmi Aminuddin sebagai Ketua Majelis Syura tunduk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai. Perubahan AD/ART hanya bisa terjadi dengan mekanisme resmi yang tercantum dalam AD/ART tersebut. Sementara di Demokrat, Ketua Dewan Pembina punya kekuasaan penuh untuk mengubah AD/ART partai sesuai kepentingannya.
Jika Partai Demokrat mau secara tulus belajar ketiga hal ini dari PKS, saya yakin PD akan berubah menjadi lebih demokratis dan Insya Allah bisa mempertahankan kemenangan elektoralnya tahun depan. Namun, bila tak ada upaya untuk belajar, saya optimis pula PD akan terus semakin merosot ke titik nadir keterpurukannya.
Banda Aceh, 8 April 2013
Anugrah Roby Syahputra
*http://politik.kompasiana.com
DPD PKS Siak - Download Android App