Select Menu

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

Selasa, 02 April 2013

Cerita ini untuk murabiyahku, “Kesabaranmu Telah Mengubah Gadis Tomboy Ini..”


Lia Aqeela

Gadis itu berusia dua belas tahun. Ia gadis tomboy, teman-temannya bilang begitu. Jika bukan karena ibunya yang senang mendandaninya, ia pasti akan berangkat ke sekolah dengan rambut yang tidak tersisir. Gadis itu tak menyukai penampilan feminin, termasuk cara berbusana girly. Ia akrab dengan celana jins, kaus oblong dan sandal sporty. Jilbab? Maaf, baginya jilbab adalah aksesori yang tidak simple, merepotkan, dan sama sekali bukan preferensinya dalam berpenampilan.
Dalam sebuah kegiatan outing yang diadakan sekolah, guru agamanya marah besar melihat para siswi yang mengenakan kerudung secara serampangan. Salah satunya adalah si gadis tomboy itu. Kemarahan gurunya tersebut menjadi sebuah beban baginya, beban yang membuat hatinya panas, merasa jengkel, beban yang membuat ia sungkan mengikuti kegiatan keislaman di sekolah.
“Kenapa sih harus pake jilbab?? Dan kalau ngga pake si bapak itu (baca: guru agama) marah-marah.” Ia menyampaikan kekesalan pada salah seorang temannya.
“Tapi elo tuh cantik banget kalau pake jilbab. Suer!” Temannya yang anak ROHIS dan berjilbab rapi nampaknya berusaha memotivasi dengan memberi pujian.
Namun hampir tak ada gadis tomboy yang peduli apakah ia terlihat cantik atau tidak. Yang ia rasakan adalah sebuah ketidaknyamanan. Tiga tahun di SMP, tak banyak ia mengikuti kegiatan keislaman di sekolahnya. Ia lebih suka menonton teman-temannya bertanding bola dengan siswa sekolah lain atau ke toko buku di daerah Matraman untuk berburu komik.
***
Waktu bergulir. Si gadis tomboy diterima di sebuah SMA unggulan. Tentunya persaingan dalam bidang akademik lebih ketat dibandingkan dengan sewaktu ia bersekolah di SMP. Ibaratnya jika dulu dengan gigi tiga ia bisa melesat menjadi juara, di jenjang sekolah barunya ini ia harus berada pada posisi gigi lima untuk bisa mengungguli yang lain. Ia sendiri menargetkan dirinya untuk selalu masuk daftar peringkat sepuluh besar, agar di kelas tiga nanti bisa mengikuti PMDK (sistem penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri tanpa ujian). Ia sadar, itu berarti dirinya harus mengurangi kegiatan leha-lehanya seperti dulu ketika SMP.
Di awal masa putih abu-abu, Allah mempertemukan gadis itu dengan orang-orang yang membuatnya merasa nyaman, orang-orang berprestasi –minimal prestasi akademik di sekolah. Juga orang-orang yang senang berkreasi, berlomba dalam kebaikan dan tak pernah merasa direpotkan ketika orang lain butuh masukan atau second opinion. Sebuah lingkungan yang menurutnya bisa membantu dirinya mencapai target akademis yang telah ia canangkan. Sebuah lingkungan Islami, yang –gadis tomboy itu “syukuri” – tidak memaksanya berjilbab ketika menghadiri acara-acara mereka.
Namanya liqo. Salah satu program kajian Islam sepekan sekali yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. Kegiatan ini menjadi rutinitas bagi si gadis tomboy –sekali lagi, walau diikutinya tanpa mengenakan jilbab. Bukan karena ilmu yang dibagi secara cuma-cuma oleh sang murobbiyah (baca: guru ngaji), tapi lebih karena suasana hangat di dalam kelompok itu.
Murobbiyah-nya, adalah seorang mahasiswi tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Sosok yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, namun tidak dirasa sebagai orang asing. Ya, murobbiyah-nya selalu berhasil menciptakan suasana akrab dengan si gadis tomboy dan teman-temannya. Hampir di setiap tatap muka, ia membawa camilan, walau hanya sekedar seplastik kerupuk!
Suatu kali gadis itu berjalan bersama murobbiyah-nya. Mereka baru saja menengok sebuah tempat kursus bahasa Inggris. Menyusuri jalan aspal, sambil berbincang, sang murobbiyah tiba-tiba berhenti. Rupanya di depan mereka ada sebuah dahan pohon yang cukup panjang merintangi jalan.
Ia meraih salah satu ujung dahan. Sambil menggesernya ke tepi ia berujar, “ini yang namanya menyingkirkan duri dari jalan.”
Si gadis tomboy tercenung. Yang diucapkan murobbiyahnya barusan adalah sebuah nukilan hadits riwayat Bukhari Muslim. Sebelumnya tak terpikir sama sekali untuk melakukan apa yang baru saja dilihatnya. Keduanya kembali berjalan. Dan apa yang terjadi sore itu, baginya, adalah pelajaran bab kepedulian.
***
‘Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ [Qs. al-Ahzab : 59].
‘Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ….’ [Qs. an-Nûr : 31].
Dua ayat yang sangat tak ingin didengar oleh si gadis tomboy. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan untuk menghalangi lisan murobbiyah-nya mengucapkan keduanya. Tak ada cara untuk mencegah gurunya menyampaikan kewajiban berjilbab bagi muslimah.
Beban. Hatinya terbebani.
Beberapa temannya, yang di awal liqo tidak berjilbab, kini sudah menutup diri rapat dan rapi dengan jilbab mereka yang besar. Sementara ia tidak –atau belum. Murobbiyahnya tak pernah memaksa apalagi marah-marah, tak pernah juga menyindir dirinya secara khusus untuk menutup aurat.
Beban itu ia bawa dalam jangka waktu yang tidak sebentar, berbulan-bulan. Semakin banyak temannya yang kini mengenakan jilbab. Anggun (oh, ternyata si tomboy sudah berkenalan dengan kata berbau feminin ini!). Ia merasa terdesak. Antara kewajiban dari Tuhan-nya, dan egonya.
“Gimana nanti aku main basket dengan jilbab?? Gimana kalau aku kegerahan?? Gimana kalau setelah pakai jilbab terus ternyata nggak enak, aku nggak betah??”
Kegalauan menyelimuti hatinya. Bujukan, motivasi dan penguatan untuk berjilbab dari teman-teman liqo dan kakak-kakak kelasnya mengalir semakin deras. Sungguh, ini harus diputuskan, pikirnya. Tapi keputusan yang mana yang harus diambil??
Pagi itu, di bulan September, tanggal enam belas. Usianya tepat enam belas tahun. A birthday-girl, si gadis tomboy, mematut diri di depan cermin. Tangannya memegang sebuah jilbab putih berenda. Hatinya mengucapkan basmalah, berharap agar istiqomah. Ia kenakan jilbabnya. Ya Allah, benda yang dulu tak disukainya itu kini membalut sempurna auratnya.
Di sekolah, kehebohan terjadi. Teman-temannya, kakak-kakak kelasnya begitu surprised. Ia dipeluk, dikerubungi, diberi selamat, bahkan dikecup pipinya. Ia tersipu, masih merasa tidak percaya diri.
Sang murobbiyah tersenyum, tidak berkomentar banyak. Tidak memuji berlebihan. Hal ini justru membuatnya merasa nyaman. Terlebih lagi, apa yang ia khawatirkan sebelum berjilbab, tidak pernah terjadi. Ia masih bisa main basket, ia tidak merasa gerah, dan ia merasa nyaman dengan jilbabnya.
Namun satu hal, ia tidak mengenakan rok seperti murobbiyah atau beberapa kakak kelasnya. Dalam keseharian, ia selalu mengenakan celana panjang. Hanya ada satu jenis rok yang ia punya: rok abu-abu, seragam sekolahnya.
***
Si gadis tomboy bersama dua orang teman liqo-nya yang lain diajak oleh sang murobbiyah mengikuti sebuah event: malam bina iman taqwa (mabit). Sebuah event umum, tapi sudah diprediksi bakal dihadiri oleh para jilbaber dan laki-laki yang kebanyakan berjanggut. Lucunya, gadis-gadis SMA itu bersepakat mengenai dress code.
“Eh, kita pake gamis yok!” si tomboy menyeletuk (hebat, akhirnya dia kenal juga sama gamis :p).
“Okee, tapi di hari kedua aja ya. Hari pertamanya kita pake celana panjang.” Temannya menimpali.
Mereka berangkat bersama sang murobbiyah ke sebuah area perkemahan di timur Jakarta. Dan benarlah prediksi mereka, peserta perempuan di event  itu semuanya berjilbab lebar. Si tomboy dan teman-temannya diam-diam tahu mereka dikelilingi oleh orang-orang Partai Keadilan (aka PKS) dari gantungan tas mereka, atau pembatas bacaan Qur’an yang memuat lambang partai Islam tersebut.
Dan mereka semua begitu ramah, begitu perhatian dengan ketiga anak SMA tersebut. Maklumlah, gadis-gadis itu peserta event paling muda dan paling awam sehingga mungkin mereka berpikir butuh diberikan treatment spesial.
Selesai sholat isya, banyak peserta yang tilawah Qur’an, termasuk sang murobbiyah. Ia membuka mushafnya dan mulai melantunkan ayat-ayat mulia. Si gadis tomboy tak bisa menahan kantuk. Ia rebahkan kepalanya di pangkuan sang murobbiyah, menikmati alunan merdu tilawah Qur’annya. Ia terlelap, kecapekan. Ketika membuka mata, posisinya masih seperti semula, di pangkuan. Namun murobbiyahnya sudah tidak lagi tilawah. Rabbi! Ia terkesiap. Pasti kaki murobbiyahnya sudah pegal menahan beban kepalanya! Ia cepat-cepat bangun. Namun murobbiyahnya bersikap biasa, tidak mengeluh apa-apa. Sungguh sabar ia!
Dan dini hari itu adalah dini hari yang berat bagi si tomboy dengan kedua temannya. Saat itulah kali pertama mereka merasakan sholat malam berjam-jam. Mereka bahkan hampir tertidur sambil berdiri saat imam membaca surat-surat Al-Qur’an. Namun ketiganya berusaha bertahan, malu dengan peserta lain yang –entah energi dari mana – tetap bisa khusyuk dalam tiap rakaatnya.
***
Ketiganya tampil rapi dalam balutan gamis. Ya, untuk event itu si gadis tomboy rela bergamis ria. Mereka memanggul tas ransel, bersiap menuju persinggahan selanjutnya: kediaman sang murobbiyah di ujung timur Jakarta.
Tiga perempuan berjilbab itu berdiri di trotoar, menanti angkutan kota yang muat menampung mereka semua. Tak seberapa jauh di depan, seorang ikhwan peserta mabit juga melakukan hal yang sama. Cukup lama mereka menunggu sampai angkot yang dinanti mulai nampak di kejauhan. Ketiganya merasa lega, namun ternyata si ikhwan menyetopnya lebih dulu. Spontan ketiganya ber-“yaaah” kecewa karena itu berarti mereka harus menunggu lagi angkot berikutnya.
Eh, rupanya ikhwan itu tahu diri. Ia urung naik. Memandang ke arah empat perempuan itu sambil tersenyum. Sebuah gestur yang mereka terjemahkan sebagai, “silakan naik duluan, biar saya yang menunggu angkot berikutnya.”
Itsar. Si gadis tomboy ingat betul kata yang sering diucapkan murobbiyahnya. Mendahulukan kepentingan saudaranya diatas kepentingan pribadi. Kebaikan dengan nilai tertinggi dalam lingkup ukhuwah islamiyah.
Alhamdulillah, ikhwan itu tidak harus menunggu angkot berikutnya karena ternyata masih ada space yang cukup untuk mereka berempat.
***
Kediaman murobbiyah mereka ada di daerah antah berantah –begitulah menurut si gadis tomboy. Ia  dan teman-temannya sudah pernah kesana sebelumnya menggunakan angkutan kota, berangkat bersama-sama dari tempat biasa mereka liqo. Dan itu membutuhkan waktu satu setengah jam! Goodness! Jadi hampir setiap pekannya, murobbiyah mereka menempuh satu setengah jam perjalanan yang melelahkan. Kendati demikan ia selalu bisa memberikan kehangatan dan rasa nyaman untuk para binaannya. Bahkan tak pernah lupa membawa makanan kecil untuk selingan kala liqo.
Setelah acara mabit yang cukup menguras energi, rasanya melegakan pada akhirnya berada di sebuah bangunan rumah permanen –tidak lagi di tenda. Di rumah yang tidak besar tersebut, mereka melihat stiker-stiker menempel di perabotan, di jendela atau di pintu yang isinya sama: lambang Partai Keadilan. Ya, murobbiyah mereka adalah seorang kader PK. Ia tak pernah menyampaikan atau membanggakan dirinya seorang kader partai Islam. Mungkin ia tahu, tanpa perlu diungkapkan, para binaannya mampu membaca sendiri identitas dirinya.
Ketiga gadis SMA itu diajak ke kamar sang murobbiyah. Sebuah kamar sederhana yang hanya diisi sebuah kasur yang diletakkan di lantai. Tak ada lemari pakaian. Tak ada toalet. Mereka duduk melingkar. Liqo.
Si tomboy mengambil posisi dekat kasur yang diletakkan di lantai. Lama-kelamaan tak bisa ia tahan kantuknya. Tak sadar, tahu-tahu ia sudah tertidur pulas di kasur. Rasanya cukup lama, karena ketika terbangun tidak lagi suasana liqo yang ia dapati. Teman-temannya meledek. Namun murobbiyahnya, seperti sebelumnya, bersikap biasa. Tidak marah sedikitpun! Tak keluar ledekan apapun dari lisannya! Ya Rabb, kesabaran level berapa yang Kau sematkan pada dirinya??
***
Epilog
Di akhir tahun ketiganya di SMA, gadis tomboy itu memenuhi seluruh persyaratan untuk pengajuan PMDK ke sebuah PTN di Jakarta, bersama dengan dua orang teman liqo-nya yang lain. Namun ternyata bukan itu jalan untuk diterima di PTN dan jurusan impiannya. Diatas langit, ada langit. Ia tetap harus menempuh ujian masuk PTN (sekarang SNMPTN) dan –Alhamdulillah –lulus. Bahkan prestasi akademiknya ini tak terlepas dari peran murobbiyahnya yang tak sungkan berbagi ilmu, nasihat, dan informasi seputar dunia perkuliahan.
Gadis itu tetap tomboy. Namun sudah banyak terpoles oleh nilai-nilai Islam yang didapatnya sejak masa putih abu-abu. Nilai-nilai mengenai ibadah, kepedulian terhadap sesama, ukhuwah islamiyah, kegigihan, pengorbanan, ah, tak terhitung apa saja yang telah ia dapat. Semuanya diberi secara cuma-cuma oleh para murobbiyah-nya, yang notabene adalah para kader Partai Keadilan Sejahtera.
Entah apa jadinya ia jika tak ada orang-orang yang ikhlas menyerukan agama Tuhannya. Mungkin ia hanya akan memikirkan kesuksesan di dunia dan menyisakan sedikit porsi kesuksesan akhiratnya. Mungkin ia akan menjadi salah satu dari beberapa kawan sekolahnya yang senang clubbing dan pulang malam. Mungkin ia tak bisa mendapatkan nasihat-nasihat menyejukkan dari lisan-lisan yang terjaga...
Ya Allah, gadis itu menjadi salah satu saksi atas keikhlasan para da’i-Mu. Ia kelak menjadi saksi atas keteguhan perjuangan serta pengorbanan para kader da’wah yang menyerukan al-haq. Ia adalah alasan tak terputusnya pahala untuk para murobbiyahnya, walau ruh telah tercerabut dari raga mereka. Duhai Rabb, sungguh ia akan bersaksi di hadapan-Mu kelak.

Terik matahari
Tak surutkan langkahmu
Deru hujan badai
Tak lunturkan azzammu

Semua makhluk bertasbih
Panjatkan ampun bagimu
Semua makhluk berdoa
Limpahkan rahmat atasmu

Cerah hati kami
Kau semai nilai nan suci
Tegak panji Illahi
Bangkit generasi Robbani..

~Sang Murabbi, Izzatul Islam~
 
                    

Jakarta, akhir Maret '13

@liaaqeela
0 Comments
Tweets
Komentar