Lia Aqeela
Gadis itu berusia dua belas tahun. Ia gadis tomboy, teman-temannya
bilang begitu. Jika bukan karena ibunya yang senang mendandaninya, ia
pasti akan berangkat ke sekolah dengan rambut yang tidak tersisir. Gadis
itu tak menyukai penampilan feminin, termasuk cara berbusana girly.
Ia akrab dengan celana jins, kaus oblong dan sandal sporty. Jilbab?
Maaf, baginya jilbab adalah aksesori yang tidak simple, merepotkan, dan
sama sekali bukan preferensinya dalam berpenampilan.
Dalam sebuah kegiatan outing yang diadakan sekolah, guru agamanya
marah besar melihat para siswi yang mengenakan kerudung secara
serampangan. Salah satunya adalah si gadis tomboy itu. Kemarahan gurunya
tersebut menjadi sebuah beban baginya, beban yang membuat hatinya
panas, merasa jengkel, beban yang membuat ia sungkan mengikuti kegiatan
keislaman di sekolah.
“Kenapa sih harus pake jilbab?? Dan kalau ngga pake si bapak itu (baca:
guru agama) marah-marah.” Ia menyampaikan kekesalan pada salah seorang
temannya.
“Tapi elo tuh cantik banget kalau pake jilbab. Suer!” Temannya yang anak ROHIS dan berjilbab rapi nampaknya berusaha memotivasi dengan memberi pujian.
Namun hampir tak ada gadis tomboy yang peduli apakah ia terlihat cantik
atau tidak. Yang ia rasakan adalah sebuah ketidaknyamanan. Tiga tahun di
SMP, tak banyak ia mengikuti kegiatan keislaman di sekolahnya. Ia lebih
suka menonton teman-temannya bertanding bola dengan siswa sekolah lain
atau ke toko buku di daerah Matraman untuk berburu komik.
***
Waktu bergulir. Si gadis tomboy diterima di sebuah SMA unggulan.
Tentunya persaingan dalam bidang akademik lebih ketat dibandingkan
dengan sewaktu ia bersekolah di SMP. Ibaratnya jika dulu dengan gigi
tiga ia bisa melesat menjadi juara, di jenjang sekolah barunya ini ia
harus berada pada posisi gigi lima untuk bisa mengungguli yang lain. Ia
sendiri menargetkan dirinya untuk selalu masuk daftar peringkat sepuluh
besar, agar di kelas tiga nanti bisa mengikuti PMDK (sistem penerimaan
mahasiswa di perguruan tinggi negeri tanpa ujian). Ia sadar, itu berarti
dirinya harus mengurangi kegiatan leha-lehanya seperti dulu ketika SMP.
Di awal masa putih abu-abu, Allah mempertemukan gadis itu dengan
orang-orang yang membuatnya merasa nyaman, orang-orang berprestasi
–minimal prestasi akademik di sekolah. Juga orang-orang yang senang
berkreasi, berlomba dalam kebaikan dan tak pernah merasa direpotkan
ketika orang lain butuh masukan atau second opinion. Sebuah lingkungan
yang menurutnya bisa membantu dirinya mencapai target akademis yang
telah ia canangkan. Sebuah lingkungan Islami, yang –gadis tomboy itu
“syukuri” – tidak memaksanya berjilbab ketika menghadiri acara-acara
mereka.
Namanya liqo. Salah satu program kajian Islam sepekan sekali yang
dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. Kegiatan ini menjadi rutinitas
bagi si gadis tomboy –sekali lagi, walau diikutinya tanpa mengenakan
jilbab. Bukan karena ilmu yang dibagi secara cuma-cuma oleh sang murobbiyah (baca: guru ngaji), tapi lebih karena suasana hangat di dalam kelompok itu.
Murobbiyah-nya, adalah seorang mahasiswi tingkat akhir di salah satu
perguruan tinggi negeri di Jakarta. Sosok yang tidak pernah ia kenal
sebelumnya, namun tidak dirasa sebagai orang asing. Ya, murobbiyah-nya
selalu berhasil menciptakan suasana akrab dengan si gadis tomboy dan
teman-temannya. Hampir di setiap tatap muka, ia membawa camilan, walau
hanya sekedar seplastik kerupuk!
Suatu kali gadis itu berjalan bersama murobbiyah-nya. Mereka baru saja
menengok sebuah tempat kursus bahasa Inggris. Menyusuri jalan aspal,
sambil berbincang, sang murobbiyah tiba-tiba berhenti. Rupanya di depan
mereka ada sebuah dahan pohon yang cukup panjang merintangi jalan.
Ia meraih salah satu ujung dahan. Sambil menggesernya ke tepi ia berujar, “ini yang namanya menyingkirkan duri dari jalan.”
Si gadis tomboy tercenung. Yang diucapkan murobbiyahnya barusan adalah
sebuah nukilan hadits riwayat Bukhari Muslim. Sebelumnya tak terpikir
sama sekali untuk melakukan apa yang baru saja dilihatnya. Keduanya
kembali berjalan. Dan apa yang terjadi sore itu, baginya, adalah
pelajaran bab kepedulian.
***
‘Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ [Qs. al-Ahzab : 59].
‘Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ….’ [Qs. an-Nûr : 31].
Dua ayat yang sangat tak ingin didengar oleh si gadis tomboy. Tapi tak
ada yang bisa ia lakukan untuk menghalangi lisan murobbiyah-nya
mengucapkan keduanya. Tak ada cara untuk mencegah gurunya menyampaikan
kewajiban berjilbab bagi muslimah.
Beban. Hatinya terbebani.
Beberapa temannya, yang di awal liqo tidak berjilbab, kini sudah menutup
diri rapat dan rapi dengan jilbab mereka yang besar. Sementara ia tidak
–atau belum. Murobbiyahnya tak pernah memaksa apalagi marah-marah, tak
pernah juga menyindir dirinya secara khusus untuk menutup aurat.
Beban itu ia bawa dalam jangka waktu yang tidak sebentar,
berbulan-bulan. Semakin banyak temannya yang kini mengenakan jilbab.
Anggun (oh, ternyata si tomboy sudah berkenalan dengan kata berbau
feminin ini!). Ia merasa terdesak. Antara kewajiban dari Tuhan-nya, dan
egonya.
“Gimana nanti aku main basket dengan jilbab?? Gimana kalau aku
kegerahan?? Gimana kalau setelah pakai jilbab terus ternyata nggak enak,
aku nggak betah??”
Kegalauan menyelimuti hatinya. Bujukan, motivasi dan penguatan untuk
berjilbab dari teman-teman liqo dan kakak-kakak kelasnya mengalir
semakin deras. Sungguh, ini harus diputuskan, pikirnya. Tapi keputusan
yang mana yang harus diambil??
Pagi itu, di bulan September, tanggal enam belas. Usianya tepat enam belas tahun. A birthday-girl,
si gadis tomboy, mematut diri di depan cermin. Tangannya memegang
sebuah jilbab putih berenda. Hatinya mengucapkan basmalah, berharap agar
istiqomah. Ia kenakan jilbabnya. Ya Allah, benda yang dulu tak
disukainya itu kini membalut sempurna auratnya.
Di sekolah, kehebohan terjadi. Teman-temannya, kakak-kakak kelasnya begitu surprised. Ia dipeluk, dikerubungi, diberi selamat, bahkan dikecup pipinya. Ia tersipu, masih merasa tidak percaya diri.
Sang murobbiyah tersenyum, tidak berkomentar banyak. Tidak memuji
berlebihan. Hal ini justru membuatnya merasa nyaman. Terlebih lagi, apa
yang ia khawatirkan sebelum berjilbab, tidak pernah terjadi. Ia masih
bisa main basket, ia tidak merasa gerah, dan ia merasa nyaman dengan
jilbabnya.
Namun satu hal, ia tidak mengenakan rok seperti murobbiyah atau beberapa
kakak kelasnya. Dalam keseharian, ia selalu mengenakan celana panjang.
Hanya ada satu jenis rok yang ia punya: rok abu-abu, seragam sekolahnya.
***
Si gadis tomboy bersama dua orang teman liqo-nya yang lain diajak oleh
sang murobbiyah mengikuti sebuah event: malam bina iman taqwa (mabit).
Sebuah event umum, tapi sudah diprediksi bakal dihadiri oleh para
jilbaber dan laki-laki yang kebanyakan berjanggut. Lucunya, gadis-gadis
SMA itu bersepakat mengenai dress code.
“Eh, kita pake gamis yok!” si tomboy menyeletuk (hebat, akhirnya dia kenal juga sama gamis :p).
“Okee, tapi di hari kedua aja ya. Hari pertamanya kita pake celana panjang.” Temannya menimpali.
Mereka berangkat bersama sang murobbiyah ke sebuah area perkemahan di
timur Jakarta. Dan benarlah prediksi mereka, peserta perempuan di event
itu semuanya berjilbab lebar. Si tomboy dan teman-temannya diam-diam
tahu mereka dikelilingi oleh orang-orang Partai Keadilan (aka PKS) dari
gantungan tas mereka, atau pembatas bacaan Qur’an yang memuat lambang
partai Islam tersebut.
Dan mereka semua begitu ramah, begitu perhatian dengan ketiga anak SMA
tersebut. Maklumlah, gadis-gadis itu peserta event paling muda dan
paling awam sehingga mungkin mereka berpikir butuh diberikan treatment spesial.
Selesai sholat isya, banyak peserta yang tilawah Qur’an, termasuk sang
murobbiyah. Ia membuka mushafnya dan mulai melantunkan ayat-ayat mulia.
Si gadis tomboy tak bisa menahan kantuk. Ia rebahkan kepalanya di
pangkuan sang murobbiyah, menikmati alunan merdu tilawah Qur’annya. Ia
terlelap, kecapekan. Ketika membuka mata, posisinya masih seperti
semula, di pangkuan. Namun murobbiyahnya sudah tidak lagi tilawah.
Rabbi! Ia terkesiap. Pasti kaki murobbiyahnya sudah pegal menahan beban
kepalanya! Ia cepat-cepat bangun. Namun murobbiyahnya bersikap biasa,
tidak mengeluh apa-apa. Sungguh sabar ia!
Dan dini hari itu adalah dini hari yang berat bagi si tomboy dengan
kedua temannya. Saat itulah kali pertama mereka merasakan sholat malam
berjam-jam. Mereka bahkan hampir tertidur sambil berdiri saat imam
membaca surat-surat Al-Qur’an. Namun ketiganya berusaha bertahan, malu
dengan peserta lain yang –entah energi dari mana – tetap bisa khusyuk
dalam tiap rakaatnya.
***
Ketiganya tampil rapi dalam balutan gamis. Ya, untuk event itu si gadis
tomboy rela bergamis ria. Mereka memanggul tas ransel, bersiap menuju
persinggahan selanjutnya: kediaman sang murobbiyah di ujung timur
Jakarta.
Tiga perempuan berjilbab itu berdiri di trotoar, menanti angkutan kota
yang muat menampung mereka semua. Tak seberapa jauh di depan, seorang
ikhwan peserta mabit juga melakukan hal yang sama. Cukup lama mereka
menunggu sampai angkot yang dinanti mulai nampak di kejauhan. Ketiganya
merasa lega, namun ternyata si ikhwan menyetopnya lebih dulu. Spontan
ketiganya ber-“yaaah” kecewa karena itu berarti mereka harus menunggu
lagi angkot berikutnya.
Eh, rupanya ikhwan itu tahu diri. Ia urung naik. Memandang ke arah empat
perempuan itu sambil tersenyum. Sebuah gestur yang mereka terjemahkan
sebagai, “silakan naik duluan, biar saya yang menunggu angkot
berikutnya.”
Itsar. Si gadis tomboy ingat betul kata yang sering diucapkan
murobbiyahnya. Mendahulukan kepentingan saudaranya diatas kepentingan
pribadi. Kebaikan dengan nilai tertinggi dalam lingkup ukhuwah
islamiyah.
Alhamdulillah, ikhwan itu tidak harus menunggu angkot berikutnya karena
ternyata masih ada space yang cukup untuk mereka berempat.
***
Kediaman murobbiyah mereka ada di daerah antah berantah –begitulah
menurut si gadis tomboy. Ia dan teman-temannya sudah pernah kesana
sebelumnya menggunakan angkutan kota, berangkat bersama-sama dari tempat
biasa mereka liqo. Dan itu membutuhkan waktu satu setengah jam!
Goodness! Jadi hampir setiap pekannya, murobbiyah mereka menempuh satu
setengah jam perjalanan yang melelahkan. Kendati demikan ia selalu bisa
memberikan kehangatan dan rasa nyaman untuk para binaannya. Bahkan tak
pernah lupa membawa makanan kecil untuk selingan kala liqo.
Setelah acara mabit yang cukup menguras energi, rasanya melegakan pada
akhirnya berada di sebuah bangunan rumah permanen –tidak lagi di tenda.
Di rumah yang tidak besar tersebut, mereka melihat stiker-stiker
menempel di perabotan, di jendela atau di pintu yang isinya sama:
lambang Partai Keadilan. Ya, murobbiyah mereka adalah seorang kader PK.
Ia tak pernah menyampaikan atau membanggakan dirinya seorang kader
partai Islam. Mungkin ia tahu, tanpa perlu diungkapkan, para binaannya
mampu membaca sendiri identitas dirinya.
Ketiga gadis SMA itu diajak ke kamar sang murobbiyah. Sebuah kamar
sederhana yang hanya diisi sebuah kasur yang diletakkan di lantai. Tak
ada lemari pakaian. Tak ada toalet. Mereka duduk melingkar. Liqo.
Si tomboy mengambil posisi dekat kasur yang diletakkan di lantai.
Lama-kelamaan tak bisa ia tahan kantuknya. Tak sadar, tahu-tahu ia sudah
tertidur pulas di kasur. Rasanya cukup lama, karena ketika terbangun
tidak lagi suasana liqo yang ia dapati. Teman-temannya meledek. Namun
murobbiyahnya, seperti sebelumnya, bersikap biasa. Tidak marah
sedikitpun! Tak keluar ledekan apapun dari lisannya! Ya Rabb, kesabaran
level berapa yang Kau sematkan pada dirinya??
***
Epilog
Di akhir tahun ketiganya di SMA, gadis tomboy itu memenuhi seluruh
persyaratan untuk pengajuan PMDK ke sebuah PTN di Jakarta, bersama
dengan dua orang teman liqo-nya yang lain. Namun ternyata bukan itu
jalan untuk diterima di PTN dan jurusan impiannya. Diatas langit, ada
langit. Ia tetap harus menempuh ujian masuk PTN (sekarang SNMPTN) dan
–Alhamdulillah –lulus. Bahkan prestasi akademiknya ini tak terlepas dari
peran murobbiyahnya yang tak sungkan berbagi ilmu, nasihat, dan
informasi seputar dunia perkuliahan.
Gadis itu tetap tomboy. Namun sudah banyak terpoles oleh nilai-nilai
Islam yang didapatnya sejak masa putih abu-abu. Nilai-nilai mengenai
ibadah, kepedulian terhadap sesama, ukhuwah islamiyah, kegigihan,
pengorbanan, ah, tak terhitung apa saja yang telah ia dapat. Semuanya
diberi secara cuma-cuma oleh para murobbiyah-nya, yang notabene adalah
para kader Partai Keadilan Sejahtera.
Entah apa jadinya ia jika tak ada orang-orang yang ikhlas menyerukan
agama Tuhannya. Mungkin ia hanya akan memikirkan kesuksesan di dunia dan
menyisakan sedikit porsi kesuksesan akhiratnya. Mungkin ia akan menjadi
salah satu dari beberapa kawan sekolahnya yang senang clubbing dan pulang malam. Mungkin ia tak bisa mendapatkan nasihat-nasihat menyejukkan dari lisan-lisan yang terjaga...
Ya Allah, gadis itu menjadi salah satu saksi atas keikhlasan para
da’i-Mu. Ia kelak menjadi saksi atas keteguhan perjuangan serta
pengorbanan para kader da’wah yang menyerukan al-haq. Ia adalah alasan
tak terputusnya pahala untuk para murobbiyahnya, walau ruh telah
tercerabut dari raga mereka. Duhai Rabb, sungguh ia akan bersaksi di
hadapan-Mu kelak.
Terik matahari
Tak surutkan langkahmu
Deru hujan badai
Tak lunturkan azzammu
Semua makhluk bertasbih
Panjatkan ampun bagimu
Semua makhluk berdoa
Limpahkan rahmat atasmu
Cerah hati kami
Kau semai nilai nan suci
Tegak panji Illahi
Bangkit generasi Robbani..
~Sang Murabbi, Izzatul Islam~
Jakarta, akhir Maret '13
@liaaqeela