Akhwat "Melamar" Ikhwan? | by @MinieBintis
By: Abul Ezz
Jumat, 12 April 2013
0
Rusmini Bintis
Medan
Tema yang satu ini sangat sensitif untuk dibahas. Hal ini terkait
perasaan seorang wanita, sebagaimana tema poligami juga banyak
menimbulkan pro kontra. Setiap wanita ingin dijunjung tinggi izzahnya,
sehingga segala aturan Allah beresensi untuk menjaga iffah perempuan. Walaupun terkadang menjadi sebuah dilema dalam menentukan prioritas, pertimbangan akal, perasaan dan kebutuhan.
Menelisik penggalan hidup penulis, pada akhir tahun 2011 perasaan itu
mulai datang. Ya, bisa jadi itu yang disebut dengan cinta. Bedanya cinta
akhwat dengan orang awam adalah cara mengeksprsikan cinta itu. Singkat
cerita saya mengungkapkan perasaan itu pada murobbi pada akhir tahun
2012. Pada semester 4 saat sedang kuliah, saya juga pernah curhat
tentang rasa pada murobbi, tapi hanya curhatan semata. Alasan saya
curhat bukan karena tidak kuasa menahan rasa itu, tapi sebagai bentuk
penghormatan saya pada morobbi. Bagi saya, murobbi itu tidak ubahnya
seperti ummi. Bagi saya, apapun yang terjadi dalam hidup harus melapor
ke murobbi, sebagaimana juga saya mengatakannya pada emak.
Pada 2012 lalu adalah moment kedua saya curhat ke murobbi tentang cinta,
tentang seorang ikhwan. Kali ini saya curhat karena sudah tidak tahan
memendam rasa. Pada satu sisi saya juga baru tamat kuliah, sehingga
tidak hanya mengutarakan, saya juga minta agar murobbi menta’arufkan
saya dengan ikhwan itu. Waktu itu murobbi hanya mengatakan Insya Allah
dan berjanji akan menyampaikan hal itu pada murobbi ikhwan.
Sejak hari itu, saya sempat berpuasa hingga hampir 1 bulan. Setiap hari
berpuasa. Bukan dengan niat agar si ikhwan mengatakan “iya”, tapi agar
apapun yang terjadi adalah yang terbaik buat saya. Setelah 1 bulan
berlalu, murobbi tidak juga memberi laporan tentang jawaban ya atau
tidak. Saya berinisiatif untuk bertanya tentang itu. Alangkah tercengang
ketika murobbi justru berkata kecewa dengan sikap saya yang minta
dita’arufkan, dan beliau tidak pernah mengklarifikasinya ke murobbi
ikhwan. Alasan beliau berkata “Insya Allah nanti kakak sampaikan ke
murobbi ikhwan” hanya untuk menghibur hati saya waktu itu. Dan alasan
tidak disampaikan karena hal itu tidak Islami.
Saya shok, tidak menyangka justru berbuah cercaan. Alhamdulillah, liqo’
terus berlanjut. Tidak sekalipun saya menghindar untuk tidak hadir
halaqoh. Pada sisi yang lain saya juga bersyukur, karena Allah gerakkan
hati saya untuk bertanya ke murobbi, karena menjadi haram hukumnya
berpuasa sepanjang tahun. Saya butuh waktu hampir satu bulan untuk
menetralkan hati. Belajar menerima kenyataan.
Hingga kini hubungan saya dengan murobbi baik. Kami saling mema’afkan. Dan saya yakin, sikap beliau tidak menyampaikan kepada murobbi ikhwan bukan untuk membuat saya menderita, namun agar izzah saya di mata suami kelak terjaga. Merupakan hal yang tabu di Medan seorang akhwat mendatangi ikhwan.
Terlepas dari saya sudah melupakan ikhwan tersebut atau tidak, namun
yang jelas hati saya sudah netral. Berasa sangat bersalah juga, sudah
membuat morobbi repot memikirkan saya. Walau bagaimanapun beliau pasti
mengharapkan yang terbaik bagi mad’u-nya.
Terkadang saya berfikir, apakah benar hal itu tidak Islami? Argumentasi
saya tentang ibunda Khadijah binti Khuwailid ra yang mendatangi
Rasulullah ditolak murobbi, dan beliau membandingkannya dengan Fatimah
Az Zahra. Kisah asmara Fatimah yang suka pada Ali namun tidak meminta
kepada ayahnya untuk menikahkan/menta’arufkan dengan Ali. “Iya, karena
Rasulullah tahu tentang perasaan cinta Fatimah walaupun ia tidak
ungkapkan para Rasulullah”. Itu jawaban saya pada murobbi, sehingga saya
pun menyampaikan pada beliau. Tapi murobbi tidak juga dapat menerima
argumentasi saya.
Saya hanya mampu diam. Dalam tulisan Anis Matta,
saya pernah membaca “Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada yang lebih
baik bagi mereka yang sudah saling jatuh cinta kecuali pernikahan”. Ini
beda lagi ceritanya, ikhwan itu belum tentu seperti Ali yang juga
mencintai Fatimah. Masih dalam tulisan Anis Matta, “Sebab itu
menjodohkan sepasang kekasih yang saling mencintai adalah tradisi
kenabian”. Dalam hal ini tidak ada alasan bagi saya memaksa murobbi
untuk menyampaikannya. Sudahlah... lupakan saja yang telah berlalu, saya
harus sadar diri.
Kearifan Jama’ah Dakwah
Ikhwan yang memilih, akhwat yang menentukan. Begitu tradisi dalam
jama’ah. Mungkin di luar Sumatera Utara, diperbolehkan akhwat mendatangi
ikhwan. Jadi bukan tidak Islami, tapi belum menjadi kewajaran di daerah
Medan. Saya masih berfikir bahwa mendatangi ikhwan adalah bagian dari
budaya Islam. Cerita cinta Khadijah ra saat minta dilamar oleh
Rasulullah tidak bicara langsung, akan tetapi lewat perantara seorang
temannya, yaitu Nafisah binti Munabbih. Apakah hal itu tidak dapat
dijadikan pijakan seorang akhwat mengatakannya pada murobbiyah?
Sah-sah saja kalau ada yang mengikuti jejak ibunda Khadijah ra, dan
tidak harus sekaya, secantik, seterhormat Khadijah ra. Karena kualitas
ikhwan juga tidak ada yang mengimbangi Rasulullah. Yang salah, menurut
saya, apabila akhwat menyampaikan langsung pada ikhwan atau sebaliknya.
Tulisan ini bukan untuk mempengaruhi pembaca agar pro dengan akhwat yang
mendatangi ikhwan. Karena bagi penulis hal itu juga masih dilema. Hanya
sebagai wacana pertimbangan kebijakan jama’ah ke depan. Karena keduanya
mengandung sisi kemaslahatan masing- masing.
Kelebihan jika diperbolehkan akhwat mendatangi ikhwan adalah menutup
tabir setan untuk semakin jauh memberikan angan-anagn kosong bagi akhwat
yang lemah iman. Dengan proses ta’arufan, si akhwat akan lebih mudah
menata hati dengan jawaban ya atau tidak. Kekurangannya secara
psikologis apabila terjadi pernikahan maka suami harus pandai-pandai
menjaga perasaan istri. Karena dalam hal ini, suami berpeluang
merendahkan istri terutama jika terjadi konflik dalam rumah tangga.
Kekurangan jika tidak diperbolehkan akhwat mendatangi ikhwan maka tidak
ada sarana bagi akhwat yang ingin segera mengklarifikasi rasa yang ada
dalam hatinya, sehingga jika telah memuncak dan tidak terkontrol, akan
membuka peluang virus merah jambu (VMJ) yang dilakukan ikhwan akhwat
secara tersembunyi.
Kelebihan jika tidak diperbolehkan adalah melatih para akhwat memiliki
hati sejernih Fatimah binti Muhammad saw. Mencintai dalam diam, tanpa
berharap pada siapapun kecuali kepada Allah sebagai hakim cintanya. Ia
tidak mengatakan pada siapapun kecuali Allah. Sungguh luar biasa menjadi
sosok Fatimah yang sangat takut menodai anugerah cinta yang Allah
berikan, walaupun pada sisi yang lain ia tahu bagaimana beratnya
memendam rasa cinta.
Mengutip kalimat Ustadz Anis Matta, beliau menjelaskan Islam adalah agama kemanusiaan. Sebab itu pula nilai-nilainya selalu ramah dan apresiatif terhadap semua gejolak jiwa manusia. Dan sebab cinta adalah perasaan kemanusiaan yang paling luhur, mengertilah kita mengapa ia mendapat ruang sangat luas dalam tata nilai Islam.
Mau menjadi seperti Khadijah atau Fatimah adalah pilihan akhwat. Islam menghargai kelebihan diantara kekurangan yang dimiliki. Karena setiap manusia memiliki kekuatan berbeda, maka ambillah sisi yang sesuai dengan batas kemampuan diri. Selalu ada hikmah di balik kejadian, karena tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Semua sudah Allah tetapkan dalam lautful Mahfuz. Tugas kita adalah semaksimal mungkin melakukan pengabdian diri untuk mengangkat Izzah Islam di muka bumi.
Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, sekiranya kini diperkenankan akhwat mendatangi ikhwan, penulis tidak akan melakukan yang kedua kalinya. Tapi bukan berarti tidak membenarkan bagi yang melakukan karena hal itu tidak diharamkan oleh Allah, bahkan istri manusia teragung sejagad raya yang telah mencontohkan. Ada kalanya manusia butuh waktu untuk berfikir dan merenung dalam merubah persepsi menuju generasi yang lebih qur’ani. Ilmu dapat diperoleh dari buku-buku, namun kebijaksanaan dan kearifan lebih dekat dengan pengalaman hidup. Wallahu ‘alam...
Mengutip kalimat Ustadz Anis Matta, beliau menjelaskan Islam adalah agama kemanusiaan. Sebab itu pula nilai-nilainya selalu ramah dan apresiatif terhadap semua gejolak jiwa manusia. Dan sebab cinta adalah perasaan kemanusiaan yang paling luhur, mengertilah kita mengapa ia mendapat ruang sangat luas dalam tata nilai Islam.
Mau menjadi seperti Khadijah atau Fatimah adalah pilihan akhwat. Islam menghargai kelebihan diantara kekurangan yang dimiliki. Karena setiap manusia memiliki kekuatan berbeda, maka ambillah sisi yang sesuai dengan batas kemampuan diri. Selalu ada hikmah di balik kejadian, karena tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Semua sudah Allah tetapkan dalam lautful Mahfuz. Tugas kita adalah semaksimal mungkin melakukan pengabdian diri untuk mengangkat Izzah Islam di muka bumi.
Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, sekiranya kini diperkenankan akhwat mendatangi ikhwan, penulis tidak akan melakukan yang kedua kalinya. Tapi bukan berarti tidak membenarkan bagi yang melakukan karena hal itu tidak diharamkan oleh Allah, bahkan istri manusia teragung sejagad raya yang telah mencontohkan. Ada kalanya manusia butuh waktu untuk berfikir dan merenung dalam merubah persepsi menuju generasi yang lebih qur’ani. Ilmu dapat diperoleh dari buku-buku, namun kebijaksanaan dan kearifan lebih dekat dengan pengalaman hidup. Wallahu ‘alam...
*penulis: @MinieBintis on twitter
DPD PKS Siak - Download Android App