Saya PKS dan Saya Bahagia...
By: Abul Ezz
Rabu, 13 Maret 2013
0
Umi Kulsum | Kompasiana
(seorang ibu, guru, dan pembelajar)
Gak penting-penting amat, sebenarnya. Tapi saya ingin menyampaikannya. Nah, mari mulai.
Saya PKS, dan suami saya juga. Dan kami bahagia. Anda tertarik?
*http://politik.kompasiana.com/2013/03/12/saya-pks-dan-saya-bahagia-541467.html
(seorang ibu, guru, dan pembelajar)
Gak penting-penting amat, sebenarnya. Tapi saya ingin menyampaikannya. Nah, mari mulai.
Saya PKS. Suami saya pun juga. Anak-anak saya sering ikut aksi damai,
mulai dari peringatan hari Ibu, aksi damai Palestine, dan lain-lain.
Anak-anak saya juga sering ikut kajian bersama-sama. Bertemu dengan
anak-anak kecil lain. Mereka bermain, kami orang tuanya menimba ilmu.
Ada satu dua tiga empat bapak/ibu atau para akhwat yang menjaga
anak-anak. Sukarela saja. Saling membantu dan meringankan. Ada yang
menangis, maka sebagian akan membantu menenangkan. Terjadi begitu saja.
Mengalir dengan indah.
Saya PKS. Suami saya juga. Sejak kapan? Sejak sebelum PKS lahir. Karena
PKS cuma nama, cuma bentuk. Inti gerakannya sama: berbenah diri,
mengembangkan kapasitas pribadi dan keluarga. Lalu sama-sama bergerak di
masyarakat. Melakukan yang kami bisa. Membenahi yang kami mampu. Tentu
tetap sambil membenahi diri. Karena kami kumpulan manusia. Yang bisa
bersemangat suatu waktu, dan loyo diwaktu lain. Kami bisa merasa sempit
di satu kesempatan, dan sangat lapang di kesempatan lain. Saat loyo,
maka ada teman-teman yang menyemangati. Tidak selalu lewat nasehat
verbal. Sering kali nasehat yang didapat justru nasehat lain: ada contoh
kesabaran dari satu orang. Contoh kesederhanaan dari orang lain. Contoh
kekokohan hati dari lain lagi. Mengalir begitu saja. Dengan indah,
tentunya.
Saya PKS. Suami saya juga. Dapat apa? Harta? Oh, tidak. Kami
masing-masing bekerja. Dan memang itulah yang diajarkan. Kami harus
bekerja, berbuat. Lakukan yang maslahat. Agar banyak memberi manfaat.
Kerja itu ibadah. Bermain bersama anak-anak itu ibadah. Membahagiakan
orang tua itu ibadah. Bercengkrama bersama suami itu ibadah. Menuntut
ilmu itu ibadah. Membuang sampah pada tempatnya itu ibadah. Meringankan
kesulitan orang lain itu ibadah. Bersikap ramah itu ibadah.
Berkata-kata baik itu ibadah. Tersenyum itu ibadah. Mengalir begitu
saja, dengan indah.
Saya PKS. Asli, kader tulen. Ketika saya mengadu karena sakit hati, maka
saya didorong untuk memaafkan. Ketika menceritakan keburukan kata-kata
orang lain, maka saya diminta untuk berlapang dada dan mendoakan. Satu
dua tiga empat (bahkan berkali-kali) kesalahan saya buat. Dan selalu
(alhamdulillah) ada tangan-tangan yang menjawil. Ada yang bergerak
mengingatkan. Membuat kesadaran muncul, dan kembali lagi. Begitu terus.
Ada kesepakatan tak tertulis antar kader: bahwa nasehat menasehati harus
menjadi kebiasaan, karena dakwahlah panglima kami. Mengalir begitu
saja, dengan indah.
Saya PKS, asli. Tulen. Tidak selalu hubungan antar kader mulus dan
tenang. Karena kami kumpulan manusia, dengan emosi yang normal ala
manusia. Tak satupun dari kami mengaku atau merasa malaikat. Konflik itu
selalu muncul, dimana saja, kapan saja. Irama penyelesaiannya nyaris
sama: jika sangat gawat, maka musyawarah harus dikedepankan. Jika
ringan, maka melapangkan dada adalah satu-satunya pilihan. Tidak
meributkan konflik, kami memilih bergerak memikirkan kerja. Proyek
kebaikan apakah yang harus dikerjakan sekarang? Jika sudah, proyek apa
yang berikutnya? Begitu terus. Kami dibiasakan bekerja. Bicara banyak
saat meeting, untuk merencanakan kerja. Melokalisir konflik hanya pada
telinga-telinga yang layak dan boleh mendengar. Karena sungguh sebagian
besar masalah manusia adalah bermula dari tidak terkendalinya lisan.
Lisan yang dibebani dengan prasangka lebih gawat lagi. Tajam
mengiris-iris. Bukan mengiris korbannya, tapi mengiris pelakunya.
Bukankah berita buruk tapi tidak benar akan kembali pada si pelaku?
Saya PKS, dan suami saya juga. Kami terbiasa dengan ta’awun, atau
tolong menolong. Ada yang sakit dan dirawat di rumah sakit, maka
bantuan akan mudah mengalir. Ada yang hendak menikah dan tergolong tidak
mampu, maka bantuan juga mengalir. Sudah sangat biasa kami dikabari
kecamatan A banjir, dan butuh nasi bungkus untuk malam ini juga, sekian
bungkus. Nasi-nasi bungkus itu akan muncul dengan jumlah seperti yang
diharapkan. Bahkan lebih. Disertai dengan bantuan-bantuan lain. Kayakah
semua kadernya? Tentu tidak. Tapi kami terbiasa mendahulukan kesempatan
berbuat baik.
Saya PKS, dan suami saya juga. Ada yang terang-terangan mengatakan bahwa
saya terlalu loyal pada PKS. Menuruti segalanya tanpa reserve. Saya
terlalu taklid. Dia yang mengatakan itu tentu tidak tahu bagaimana
dinamika saya di dalamnya. Tidak mengikuti betul bagaimana
konflik-konflik terjadi, dan bagaimana mengatasinya. Yang dilihat
hanyalah pilihan kami bertahan di dalamnya. Pilihan yang dilakukan
dengan rela dan gembira.
Saya PKS, dan suami saya juga. Ada yang mengatakan saya jumud. Stagnan.
Penilaian yang tidak saya temukan kebenarannya. Di PKS justru saya bisa
berkembang. Saya bisa berbagi dan berdiskusi dengan ibu-ibu pengusaha
dan birokrat dalam kajian rutin mingguan. Selain itu, saya juga bisa
masuk di kalangan ibu-ibu ekonomi lemah lewat program bantuan usaha.
Saya juga mengembangkan diri di sekolah dasar islam terpadu, sebagai
guru atau wakil kepala sekolah. Dari PKS lah saya mendapatkan semangat
membuat lembaga pendidikan usia dini di rumah dan mengelolanya bersama
empat belas guru yang tulus. PKS juga mengajarkan saya untuk melakukan
yang terbaik di institusi pendidikan dimana saya ditugaskan sebagai guru
bahasa inggris. Semua dilakukan dengan indah.
Saya PKS, dan suami saya juga. Maka ketika tudingan-tudingan miring
terjadi, sempat kami tertegun. Bukan menyesali pilihan untuk bertahan di
PKS. Tapi heran dan takjub dengan komentar, tulisan yang muncul dari
orang-orang yang merasa sangat tahu lika-liku PKS. Setelahnya, kami tak
peduli. Ada prioritas lain yang harus kami kejar: proyek kebaikan yang
belum selesai. Yang sedang dan akan dikerjakan. Itu jauh lebih penting.
Karena kami yakin, yang bisa membuktikan hanyalah kerja.
Maka apapun yang disampaikan itu, adalah nasehat. Tak peduli yang
menyampaikan dilandasi dengki, benci, kasih sayang, atau eman-eman.
Tidak penting. Kami tetap akan bekerja, melakukan yang kami bisa.
Membenahi yang perlu. Menggandeng yang mau bergerak bersama.
Saya PKS, dan suami saya juga. Dan kami bahagia. Anda tertarik?
*http://politik.kompasiana.com/2013/03/12/saya-pks-dan-saya-bahagia-541467.html
DPD PKS Siak - Download Android App