Para Jurnalis Berdakwahlah untuk Kemuliaan Islam
By: Abul Ezz
Kamis, 07 Maret 2013
0
Sudah bukan
rahasia lagi bahwa dunia media, baik di tanah air maupun di dunia
internasional umumnya cukup sering menggambarkan Islam secara sepihak.
Akibatnya umat Islam menjadi komunitas yang selalu mendapat sorotan yang
tidak semestinya.
Jika itu terjadi pada dunia internasional, mungkin masih bisa
dimaklumi, karena hegemoni Amerika dan Eropa terhadap pemberitaan
sungguh sangat kuat. Tetapi, jika hal serupa terjadi di tanah air, maka
di sini ada satu pertanyaan besar, mengapa bisa terjadi? Padahal, para
jurnalis di tanah air, sebagian besar juga beragama Islam.
Tentu ini suatu kecerobohan. Sebab setiap Muslim pada hakikatnya berkewajiban mendakwahkan kebenaran Islam bukan malah menjatuhkannya, apalagi hanya atas nama profesi dan ambisi. Karena dakwah di zaman modern tidak saja melalui mimbar Masjid, tetapi yang lebih massif adalah melalui media.
Rasulullah telah memberikan perintah kepada setiap Muslim untuk menyampaikan kebenaran walau satu ayat. Jadi, dakwah tidak saja tugas para da’i, ustadz atau ulama semata, tetapi juga para jurnalis dan pegiat media.
Berarti, seorang jurnalis terkena kewajiban mendakwahkan Islam meski hanya satu ayat. Apalagi, tulisan seorang jurnalis akan dibaca oleh ribuan bahkan mungkin jutaan mata. Jika benar yang ditulisnya, maka pahala besar telah menantinya. Sebaliknya, jika salah dengan disengaja, maka neraka siap melahapnya.
Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang menyeru pada kebaikan di dalam Islam, baginya pahala atas perbuatan baiknya itu dan pahala dari orang-orang yang mengikuti jejak kebaikannya itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Siapa saja yang menyeru pada keburukan di dalam Islam, baginya dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa dari orang-orang yang mengikuti jejak keburukannya itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim).
Menyeru Kepada Kebenaran
Tentu ini suatu kecerobohan. Sebab setiap Muslim pada hakikatnya berkewajiban mendakwahkan kebenaran Islam bukan malah menjatuhkannya, apalagi hanya atas nama profesi dan ambisi. Karena dakwah di zaman modern tidak saja melalui mimbar Masjid, tetapi yang lebih massif adalah melalui media.
Rasulullah telah memberikan perintah kepada setiap Muslim untuk menyampaikan kebenaran walau satu ayat. Jadi, dakwah tidak saja tugas para da’i, ustadz atau ulama semata, tetapi juga para jurnalis dan pegiat media.
Berarti, seorang jurnalis terkena kewajiban mendakwahkan Islam meski hanya satu ayat. Apalagi, tulisan seorang jurnalis akan dibaca oleh ribuan bahkan mungkin jutaan mata. Jika benar yang ditulisnya, maka pahala besar telah menantinya. Sebaliknya, jika salah dengan disengaja, maka neraka siap melahapnya.
Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang menyeru pada kebaikan di dalam Islam, baginya pahala atas perbuatan baiknya itu dan pahala dari orang-orang yang mengikuti jejak kebaikannya itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Siapa saja yang menyeru pada keburukan di dalam Islam, baginya dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa dari orang-orang yang mengikuti jejak keburukannya itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim).
Menyeru Kepada Kebenaran
Dengan demikian, dakwah (apalagi di zaman modern seperti sekarang) juga menjadi tanggung jawab para jurnalis Muslim. Oleh karena itu, sangat penting dan mendesak bagi setiap jurnalis Muslim untuk benar-benar menjadikan profesi jurnalisnya sabagai media untuk meraih keridhoan-Nya. Apalagi, ganjaran bagi jurnalis yang mendakwahkan Islam sungguh sangat luar biasa.
Pernah suatu ketika, Rasulullah shallahu alayhi wasallam bersabda, "Wahai Ali, sungguh sekiranya Allah memberi hidayah kepada seseorang karena dakwahmu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah." (HR. Bukhari-Muslim).
Unta merah kala itu adalah unta yang paling didamba masyarakat Arab. Mungkin di zaman sekarang, unta merah sama dengan kendaraan terbaik dan termahal kelas dunia. Tetapi, kemewahan kendaraan itu sama sekali tidak berarti jika dibanding dengan nikmat hidayah.
Artinya, menuliskan kebenaran tentang Islam kemudian banyak orang yang tersadarkan dengan tulisan tersebut sungguh sangat mulia. Jadi, sudah semestinya setiap jurnalis memanfaatkan profesinya untuk meraih kemuliaan tersebut.
Di dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman;
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
"Hai anakku, dirikanlah shalat, dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman [31]: 17).
Ayat tersebut secara gamblang memerintahkan setiap Muslim unguk amar ma’ruf nahi mungkar. Di sini jurnalis tentu termasuk di dalamnya, karena pekerjaannya adalah menulis yang tulisannya akan dibaca banyak orang. Jadi, seorang jurnalis secara langsung berkewajiban untuk mengajak manusia pada kebaikan dan menjauh dari kemunkaran. Bukan sebaliknya.
Tugas para jurnalis (atau da’i pena) adalah meluruskan segala macam bentuk pemberitaan yang tidak benar yang dituduhkan terhadap Islam dan umat Islam. Tugas ini harus diperhatikan betul oleh para jurnalis Muslim.
Identitas seorang jurnalis Muslim itu melekat di setap dada wartawan/redaktur/penulis dan jajaran pengelola media selama dirinya beridentitas seorang Muslim. Enteh medianya umum --bahkan media sekuler-- sekalipun. Sebab sebagai seorang Muslim, kemuslimannya akan ditanya di akherat, bukan di media mana dia bekerja.
Bahkan, menurut pakar peradaban itu, menulis atau dakwah bil qolam adalah bagian dari bentuk jihad fi sabilillah. Jadi, betapa ruginya jika ada seorang Muslim berprofesi sebagai jurnalis, tetapi tidak mau tahu (tidak peduli) terhadap segala macam tuduhan miring yang ditimpakan kepada umat Islam dan Islam itu sendiri.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah amanah Allah Subhanahu Wata’ala kepada seluruh umat Islam (QS. 3 : 110). Jika tidak, maka akan diharamkan keberkahan wahyu (al-Qur’an) dalam kehidupan kita.
Tentu ini bukan perkara tanpa rintangan, apalagi jika seorang Muslim berada pada media yang tidak memiliki visi dakwah. Di sinilah kita patut merenungkan dengan kedalaman hati apa yang dipesankan Luqman kepada putranya (generasinya) agar bersabar dengan apa yang menimpa, sebagai konsekuensi dari menjalankan perintah Allah untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Allah Ta’ala berfirman;
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl [16]: 125).
Kekuatan Tulisan
Pepatah Yunani mengatakan, verba volant scripta manent (ucapan akan hilang, sementara tulisan akan abadi). Bisa dibayangkan jika seorang jurnalis Muslim menulis sesuatu yang salah secara sengaja terhadap Islam, tulisan itu akan dibaca oleh banyak manusia bahkan mungkin dari generasi ke generasi. Jika itu benar-benar terjadi, maka terancam sia-sia amal ibadah yang telah dilakukannya. Karena tulisan itu akan merusak cara berpikir orang lain.
Maka dari itu, selagi masih hidup di dunia, mari kita gunakan profesi sebagai seorang jurnalis untuk mendapatkan keridhoan Allah Ta’ala. Zaman dahulu memang belum ada surat kabar, tetapi para ulama tak pernah berhenti untuk menulis.
Seorang Fakhrudin Al-Razi misalnya, beliau mampu menulis kitab tidak kurang dari 120 judul dalam berbagai macam disiplin ilmu. Semangat menulis itu hampir merata pada seluruh ulama kala itu, mulai dari Imam Hanafi hingga Imam Ghazali, mulai dari Ibn Sina hingga Buya Hamka. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan memiliki peran sangat vital.
Terkait dengan hal ini, Imam Zarkasyi, mengatakan, “Andaikata murid saya tinggal satu, akan tetap saya ajar. Yang satu ini sama dengan seribu,. Jika yang satu ini pun tidak ada, saya akan mengajar dunia dengan pena.”
Jika mereka yang ulama memiliki tekad luar biasa dalam kepenulisan, sudah selayaknya para jurnalis tidak kalah bersemangat untuk melakukan hal yang sama. Paling tidak jangan menulis hal-hal yang bisa menciderai umat Islam atau merusak ajaran Islam. Apalagi secara sadar lebih memilih mengikuti arus sekularisme-liberalisme yang membawa agenda deislamisasi.
Para jurnalis harus belajar kepada para ulama dalam semangat menulis kebenaran. Satu di antaranya adalah Imam Ghazali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membawa umat Islam dari keterpurukan. Akhirnya, keluarlah karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin yang 50 tahun kemudian menjadi inspirasi penting bagi Shalahuddin Al-Ayyubi untuk membawa Palestina menuju kemerdekaan dari penjajahan tentara Salib Eropa.
Jadi, menulislah dengan niat memuliakan Islam, bukan mengajak orang untuk salah paham apalagi membenci Islam, hanya karena tulisan kita keliru, disalahpahami atau justru karena kekeliruan bahasa yang kita gunakan.
Pertanyaannya, jika Anda saat ini bekerja di media massa, apa yang akan Anda bawa kelak di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala atas semua huruf, kata, kalimat, opini, foto, berita yang telah Anda siarkan? Apakah semua berita yang kita tulis itu telah mendapat ridho Allah Subahanahu Wata'ala atau hanya untuk menyenangkan sang redaktur/pimred atau pemilik perusahaan?
Benarkah semua itu akan membantu kita lebih memudahkan hisab kita di yaumul qiyamah atau justru sebaliknya akan menyulitkan kita dalam mahkamah Allah Subhanahu Wata'ala?*/Imam Nawawi [hidayatullah]
DPD PKS Siak - Download Android App