"Kapan Golput Menang?"
By: Abul Ezz
Sabtu, 16 Maret 2013
0
Oleh Akmal Sjafril
*http://akmalsjafril.com/blog/data/Kapan-Golput-Menang
Setelah gegap-gempita Pilgub Jabar dan Sumut berlalu, muncullah berbagai
analisis seputar proses demokrasi yang baru dijalankan. Dari kelompok
yang bersikap skeptis – bahkan apatis – kepada parpol dan sistem yang
berlaku di negeri ini, sebuah pernyataan mengemuka: Golput telah menang!
Kata “Golput” atau “Golongan Putih” sering dipakai orang pada era Orde
Baru. Ada suasana yang khas pada masa-masa itu yang menyebabkan nama ini
terasa pas untuk digunakan. Salah satunya adalah identifikasi diri para
peserta pemilu pada masa itu dengan warna-warna tertentu, dan peserta
pemilunya hanya tiga (dengan sendirinya, warnanya pun cuma tiga). Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) identik dengan warna hijau, Golongan Karya
(Golkar) identik dengan warna kuning, dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) identik dengan warna merah.
Begitu identiknya para peserta pemilu dengan tiga warna itu, sehingga di
musim kampanye pun orang terpaksa berpikir masak-masak hendak
mengenakan baju apa ketika keluar rumah. Kalau hari itu jadwal kampanye
PDI, misalnya, rasanya was-was kalau jalan-jalan pakai baju kuning.
Fanatisme partai pun berujung pada fanatisme warna. Begitu pentingnya
masalah warna ini, sampai-sampai Megawati Soekarnoputri – ketika
menjabat sebagai Presiden menggantikan Gus Dur – sangat sering terlihat
mengenakan setelan pakaian berwarna merah dengan berbagai variasi model
dan coraknya.
Dalam suasana seperti itulah, di mana rakyat selama bertahun-tahun hanya
boleh memilih satu di antara tiga warna, muncul kelompok ‘baru’ yang
menyebut dirinya ‘golongan tanpa warna’, meskipun akhirnya mereka
memilih sendiri warna putih sebagai representasinya. Maka muncullah nama
“Golput”, sebagai semacam tandingan atas golongan hijau, kuning dan
merah tadi.
Sejak era reformasi, masih banyak partai yang mengidentifikasi dirinya
melalui warna, meskipun sudah tidak menjadi ‘kewajiban’ lagi. Warna
biru, misalnya, identik dengan Partai Amanat Nasional (PAN) atau Partai
Demokrat (PD). Warna merah masih identik dengan PDI-Perjuangan (PDIP).
Warna kuning masih ‘milik’ Golkar, sedangkan warna kuning yang agak
berbeda (agak dekat ke jingga) digunakan oleh Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura). Warna hijau sudah banyak sekali yang menggunakan, yaitu dari
partai-partai Islam selain Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Yang disebut
terakhir ini malah anomali. Sebab, meski logonya menggunakan warna
hitam dan kuning, ternyata yang lebih dominan dalam pakaian dan asesoris
kader-kader PKS justru putih. Untuk warna kedua setelah putih, PKS
bersikap ‘luwes’ dengan warna-warna lainnya. Dalam Pilgub Jabar 2013
tempo hari, misalnya, warna yang digunakan oleh kandidat dari PKS adalah
putih dan merah.
Kembali pada klaim ‘kemenangan Golput’, kita dapat menjadikan Pilgub
Jabar 2013 sebagai studi kasus. Sebuah lembaga survei mengatakan bahwa
sekitar 35% warga Jabar yang berhak memilih tidak menggunakan hak
pilihnya. Sementara itu, perolehan suara pasangan Ahmad Heryawan dan
Deddy Mizwar – sebagai pemenang Pilgub – tidak sampai jumlah itu.
Artinya, jumlah Golput lebih banyak daripada jumlah pemilih Aher-Deddy.
Tapi apakah dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa Golput telah
menang dalam Pilgub Jabar?
Jika kita amati, ada beberapa kesalahan logika yang mendasari
pengambilan kesimpulan ini. Pertama, kesalahan dalam mendudukkan Golput
sebagai ‘lawan’ dari kandidat Aher-Deddy. Jika logika yang demikian
digunakan, maka seolah-olah ‘jika tidak memilih Aher-Deddy pastilah ia
Golput’. Padahal, kenyataannya, yang tidak Golput dihadapkan pada lima
pilihan, dan kandidat Aher-Deddy hanya satu dari kelima pilihan
tersebut. Dengan demikian, ‘lawan’ atau pembanding yang tepat untuk
Golput sesungguhnya bukan salah satu dari kelima kandidat tersebut,
melainkan keseluruhannya. Dengan demikian, kita seharusnya menyebutkan
bahwa ada sekitar 35% yang Golput, namun masih ada 65% yang non-Golput.
Artinya, Golput-lah yang sebenarnya kalah telak.
Kedua, jika kita menganalisis secara lebih mendalam lagi ketimbang yang
sudah dilakukan pada paragraf sebelumnya, kita pun akan menyadari bahwa
Golput sebagai satu golongan sebenarnya adalah sebuah ‘ilusi’. Pada
hakikatnya, Golput bukanlah satu golongan, melainkan banyak golongan
yang kebetulan membuat keputusan yang di atas permukaan terlihat sama,
yaitu keputusan untuk tidak memilih (dalam hal ini, tidak memilih pada
Pilgub Jabar). Meski pada tataran perbuatannya sama, bukan berarti
motifnya sama pula.
Mereka yang tidak memilih bisa jadi memiliki banyak alasan yang berbeda.
Ada yang tidak memilih karena menganggap berdemokrasi itu haram. Ada
pula yang tidak memilih karena sedang dirawat di rumah sakit. Ada yang
mendapat musibah pada hari pencoblosan, sehingga tidak bisa memilih. Ada
yang sudah bersikap apatis kepada semua parpol, ada yang tidak apatis
pada parpol, namun tidak menemukan satu kandidat pun yang dianggapnya
cocok untuk dipilih. Mungkin ada juga yang dulunya habis-habisan
mendukung kandidat tertentu, namun apa dinyana kandidat yang didukungnya
tidak diloloskan oleh KPU. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak
memilih saja. Ada juga yang secara kebetulan sudah memiliki agenda lain
yang sudah dipastikan sejak jauh-jauh hari, dan kebetulan agenda itu
jatuh pada hari pencoblosan, sehingga ia tidak bisa memilih. Yang
terakhir ini terjadi pada penulis sendiri. Dan, tentu saja, ada juga
golongan yang tidak memilih karena memang tidak peduli. Tidak semuanya
menganggap Pilgub itu penting, bukan?
Jelaslah bahwa Golput – meski disebut demikian – bukanlah satu golongan.
Dengan demikian, Golput sebenarnya tidak mudah untuk dijadikan bahan
analisis, sebab motif dan pendapat mereka berbeda-beda. Lain halnya
dengan mereka yang memilih, yang sudah menentukan pilihannya dengan
jelas.
Dari perspektif kedua ini pun, agaknya kita tidak bisa mengatakan bahwa
Golput telah menang. Andai pun ingin mengatakan demikian, tidaklah jelas
ke mana kemenangan itu akan disematkan, sebab Golput terdiri dari
banyak golongan.
Selanjutnya, kita pun dapat mengatakan bahwa Golput yang 35% itu tidak
mungkin dinyatakan sebagai pemenang, sebab ia tidak membawa pengaruh
yang pasti pada kemenangan atau kekalahan kandidat yang bertarung di
Pilgub. Setelah Pilgub pun, Golput harus berjuang keras untuk
menyampaikan aspirasinya, sebab mereka tidak punya perwakilan di
mana-mana. Bisa saja mereka berdemonstrasi kelak untuk menyampaikan
pendapat, namun semua orang pun tahu bahwa demonstrasi memiliki
dimensinya sendiri yang berlainan lagi dengan Pilgub. Lagi pula, siapa
yang bilang bahwa mereka yang Golput di suatu Pilkada kelak akan kompak
menyuarakan aspirasinya? Dengan logika tersebut, lagi-lagi, kita tidak
menemukan bukti ‘kemenangan Golput’.
Yang lebih mengenaskan lagi, menurut penulis, adalah ketika sekelompok
aktivis Islam mereduksi Golput menjadi ‘anti demokrasi’, atau yang
disingkatnya menjadi golongan Andem. Menurutnya, karena jumlah Golput di
Pilgub Jabar sudah lebih besar daripada jumlah pemilih Aher-Deddy, ini
membuktikan ‘kemenangan dakwahnya’ sendiri, yaitu dakwah yang
mengumandangkan sikap anti demokrasi.
Sudah barang tentu, analisis ini jauh lebih lemah lagi daripada yang
sebelum-sebelumnya. Sebab, mensubstitusi Golput dengan Andem sudah jelas
tidak tepat. Sebab, sekali lagi, Golput bukanlah satu golongan. Mereka
yang tidak memilih belum tentu anti demokrasi, melainkan bisa jadi
karena beberapa alasan yang sudah disebutkan di atas. Bahkan mungkin ada
pula yang tidak memilih karena menganggap Pilgub Jabar justru tidak
demokratis (bagaimana pun, kemungkinan itu ada!). Lebih parah lagi jika
fenomena banyaknya Golput ini dianggap sebagai hasil dari ‘dakwah anti
demokrasi’. Pasalnya, yang tidak memilih belum tentu anti demokrasi,
yang anti demokrasi pun belum tentu dilandasi oleh alasan-alasan agama,
dan mereka pun belum tentu Muslim. Berapa banyak warga Non-Muslim yang
tidak memilih? Apakah pilihan mereka ini adalah hasil dari kerja ‘dakwah
anti demokrasi’? Berapa banyak Muslim yang tidak memilih karena tidak
peduli? Apakah ini juga hasil dari kerja ‘dakwah’?
Sesungguhnya, memilih atau tidak memilih adalah hak setiap warga negara
yang harus dihormati. Demikian juga sikap pro-kontra seputar sistem
demokrasi yang berlaku di negeri ini, semuanya harus dihormati. Segala
diskusi dan perdebatan yang berkembang niscaya memperkaya umat, selama
ia dilandasi oleh keilmuan yang mendalam, yang tercermin dari kualitas
argumen-argumen dan analisis yang diajukan. Hanya dengan ilmulah kita
bisa memuliakan Islam. Oleh karena itu, debat tanpa ilmu semestinya
disudahi dan jangan sampai dilakukan lagi. Klaim-klaim yang tidak
berdasarkan ilmu – jika dilakukan oleh para aktivis dakwah Islam – hanya
akan mempermalukan Islam. []
*http://akmalsjafril.com/blog/data/Kapan-Golput-Menang
DPD PKS Siak - Download Android App