Oleh: Jonathan Arief | Kompasiana
Asyik
saya memainkan gadget yang belum sebulan dibelikan oleh ibu, sambil
dikerumuni saudara-saudara sebaya yang sedang berkumpul untuk acara
arisan keluarga di rumah saya. Nenek adalah orang yang dituakan untuk
meneruskan tradisi keluarga ini. Isinya bukan hanya kumpul-kumpul arisan
dan makan-makan, tapi ada juga siraman rohani dari ustadz yang biasanya
sengaja diundang. Kali ini yang seharusnya ngisi adalah Pak De yang
juga seorang ustadz di kampungnya. Dan gadis-gadis itu, biasanya lebih
asyik ngobrol sendiri daripada menyimak ceramah. Saya, mau gak mau harus
solider ngikut nimbrung cekikikan. Sementara yang lain, sudah di posisi masing-masing, duduk melingkar sambil nyender, siap menerima santapan ruhani sambil ngemil santapan jasmani.
Tiba-tiba;
“Jess…” nenek memanggil saya
Saya yang sedang asyik di kerumunan gadis-gadis sepupu dan keponakan tidak refleks menengok. Saking asyiknya mainin gadget.
“Uwak Amin mungkin telat, motornya mogok katanya.” nenek melanjutkan pengumuman. Tapi kenapa tadi manggil saya.
“Sudah, kamu buka saja Jess, sekalian kasih kultum.” lanjutnya.
“Hah?” baru sadar kalimat-kalimat itu tertuju ke saya, hampir semua menengok ke arah saya dengan wajah penuh tanya.
“Loh kok saya nek?” protes saya.
Jelas saja saya protes. Kenapa harusa saya? Kan masih ada paman saya, ada adiknya nenek yang juga pemimpin yayasan pendidikan, atau sepupu saya yang lebih senior dan jebolan pesantren, atau bapak saya sekalian. Mereka lebih pantas ngomong di forum ini. Bukan saya.
Saya,
baru saja lulus kuliah kedokteran dan belum punya ijin praktek. Kuliah
di universitas negeri, sempat dua tahun nerusin ke eropa. Dan sekarang
lagi ikut apprentice di rumah sakit swasta. Ga ada sedikitpun basic
syari’ah formal.
Saya,
gadis yang umum banget. Diantara gadis-gadis saudara sebaya gak ada
istimewanya, selain kerudung yang kelihatan agak berkibar. Pake
kerudungpun belum lama, pas kuliah tingkat tiga dulu, ketika mulai aktif
ikut kegiatan tarbiyah di kampus.
Hei,
apa ini ada hubungannya dengan kerudung saya? Ketika baru kenal
tarbiyah, kerudung pertama saya adalah kerudung trendi yang jauh dari
level syar’i. Setelah aktif di kegiatan dakwah kampus setahun, kerudung
sayapun pelan tapi pasti membesar dan sekarang Insya Allah sesuai yang
disyariatkan. Kalau patokan nenek kerudung, itu kerudung tante saya juga
besar-besar. Mungkin bukan itu.
Atau
karena saya sering ngobrol dan diskusi masalah agama dengan nenek.
Biasa saya menyampaikan fakta-fakta medis yang berkaitan dengan agama.
Hmm…
atau jangan-jangan ada yang ngelaporin ke nenek, kalau saya aktif di
PKS. Tapi siapa? tak pernah saya pakai kaos PKS, atau ngomongin PKS di
rumah. Satu-satunya logo PKS ada di stiker do’a bercermin di kamar saya.
Asal tahu saja, sejak jaman orde lama keluarga saya penganut setia
partai tertentu. Dan belum ada seorangpun yang berani coba-coba melawan
tradisi ini. Saya, ngumpet-ngumpet aktif di PKS.
Detik
berlalu, saya semakin panik. Dan dengan satu hembusan nafas sambil
mengucap Bismillah, saya menggeser duduk, keluar dari kerumunan
gadis-gadis. Mata-mata itu masih megikuti saya. Tidak ada yang komen,
tidak ada sepatah kata terucap. Ibu masih sibuk dengan box air minum
yang sulit dibuka, belum ngeh apa yang sedang terjadi. Bapak saya
memanjangkan lehernya melongok kiri kanan seolah mencari Jess lain di
sekitarnya.
Kalau
urusannya ngisi materi ke adik-adik mahasiswi, itu kerjaan saya tiap
minggu. Bahkan di eropa dulu kegiatan ini tak pernah lepas. Tapi
ditengah keluarga sendiri? Duh, saya betul-betul minder.
Saya
dekati tempat duduk nenek yang masih memegang mic. Berbisik,
mendekatkan mulut ke kuping nenek sambil merajuk protes. Dan nenek
dengan tanpa beban menyerahkan mic itu.
“Ayo
Jess…” senyum nenek penuh arti. Matanya bermain riang. Ada kegembiraan
disana. Ada ketenangan yang membuat debar jantung saya mulai terkendali.
Menit
pertama gugup. Menit kelima mulai bisa bernafas lega dan bisa
mengontrol pitch kalimat-kalimat. Menit kelima belas, sudah berani
menatap mata satu persatu sodara-sodara yang datang siang itu. Dalam
ingatan saya, sekian puluh pasang mata itu tak ada satupun yang
berkedip. Hingga saya sendiri tidak berani berkedip… Ibu dan bapak saya
melongo, ada riak basah di bola matanya. Akhirnya, setelah 37,5 menit,
materi ukhuwah bisa saya sampaikan lengkap dengan ayat dan hadits
penunjang. Pfuih…
“Terima
kasih Jess…” itu adalah kalimat penutup dari nenek. Tidak ada kalimat
lain. Masih belum percaya, mata-mata itu masih memandang saya.
Bubar
acara, saya seperti orang yang berbeda. Gadis-gadis sebaya yang tadi
asyik merubungi saya tak ada satupun yang mendekat. Sayapun kikuk
sendiri.
“Masuk
Jess… masuk banget materinya. Bulan depan bisa ngisi lagi nih.” kata
salah satu paman saya sambil menyodorkan piring kue ke depan saya.
“Apaan sih om…” kilah saya, dengan muka sedikit memerah.
“Umi
sudah lama tahu, kamu itu punya sesuatu.” kata nenek masih dengan
senyuman seperti tadi. Kami sekeluarga biasa memanggil dia Umi.
“Aaah umi… Jess malu, gak ada apa-apanya. Masih ada yang lain yang lebih pinter mi.” saya merajuk manja meremas jemari nenek.
“Semua cucu Umi hebat… terutama kamu. Kamu kader PKS juga kan?” lanjut nenek tersenyum sambil merapikan kerudung saya.
Terkesiap, mendengar kata PKS dari mulut nenek. Saya memicingkan mata berharap nenek melanjutkan penjelasan.
“Do’akan nenek panjang umur. 2014 nanti nenek pilih partaimu.” lekat nenek menatap mata saya yang riaknya semakin tebal.
Paman saya yang lainnya datang menghampiri.
“Jess, kalau ada acara PKS undang-undang om ya…” selorohnya sambil mengedipkan sebelah mata.
“Siap
om!!!” menggamit bibir saya berusaha tersenyum, tapi akhirnya riak-riak
itu tak sanggup saya bendung, mengalir seiring senyuman kerabat yang
memandang takzim.
–seperti diceritakan oleh Jessica @pksqatar–
* http://politik.kompasiana.com/2013/03/29/kamu-kader-pks-juga-541450.html