"Saya teringat pada waktu tahun 90-an. Saat itu banyak aktivis dakwah
yang meninggalkan Jogja karena ada tawaran kerja di
perusahaan-perusahaan besar di luar Jawa akan tetapi sebagian tetap
bertahan di Jogja. Ya, sebagian memilih melanjutkan pengembangan dakwah
di Jogja, memilih bersabar bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di
pagi dan sore hari, mereka tidak berpaling pada dunia," itu kata ustadz
kami seusai membahas salah satu ayat dalam surat Al-Kahfi dalam kajian
jelang buka puasa Romadhon 1430 H.
Selengkapnya ayat yang dimaksud adalah "Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja
hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia
ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan
dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas." (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28)
Ada rasa haru tersendiri jika kita mendengar kabar bahwa sahabat dakwah
kita yang sudah begitu akrab hendak pulang kampung ataupun hijrah ke
kota lain nan jauh dari kita. Di satu sisi ada harap akan kebaikan yang
lebih baik dari ketika dia bersama-sama dengan kita namun di sisi lain
ada khawatir bahwa semua akan berubah tidak seperti yang diharapkan
semula. Antara bahagia dan sedih: kita bahagia karena sahabat kita
memperoleh sebuah kebaikan dari Alloh dan kita sedih karena sahabat
dakwah tak akan lagi di sisi.
"Teman-teman saya tu sudah pada ke luar negeri, kuliah di mana, kerja di
mana, saya koq dari dulu masih di sini aja ngurusin DPC, hahaha!"
kelakar seorang sahabat saya pada suatu ketika. Beliau memang telah
beberapa tahun 'menunda' kelulusan kuliahnya sehingga sampai berkata
seperti itu. Hanya tawa yang bisa kami luapkan bersama karena tak cukup
syar'i menjadikan dakwah sebagai kambing hitam. Kami buang jauh-jauh
kalimat "Kalau saja tidak perlu berdakwah dan terlibat amanah-amanah ini
mungkin sekarang kita sudah sukses melanglang buana."
Hidup memang penuh dengan pilihan, bukan berarti mereka yang pergi itu
berpaling pada dunia dan meninggalkan dakwah. Mereka pergi untuk kembali
dengan dakwah yang lebih powerful. Bukan berarti juga yang
bertahan di kampung halaman lantas akan terus-menerus berada di jalan
dakwah. Inilah pentingnya mengokohkan niat, niat sungguh menentukan
makna kehadiran kita di suatu tempat.
Abu Zubaidin Al-Yaami rohimahulloh mengatakan, "Niatkanlah untuk
kebaikan, semua perkara yang engkau lakukan sampai-sampai pergimu ke
tempat sampah." Dikutip dari Jami'ul 'Ulum wal Hikam, 70/I (SMS dari
seorang kawan)
Berhati-hatilah dengan niat hijrah kita, resapi betul hadits Arba'in
An-Nawawi urutan pertama. Niat bisa membatasi antara dunia dengan
akhirat. Jika kita mengharap akhirat, kita akan mendapatkan akhirat
bahkan insya'alloh kita juga akan mendapatkan dunia yang tak pernah kita
harapkan. Jika kita mengaharap dunia, alih-alih akhirat, dunia pun
mungkin bisa jadi justru tak akan didapat.
Jangan pernah hijrah hanya karena dunia yang kita inginkan, apalagi
berpaling dari dakwah karena dunia yang hina. Tidak elok sama sekali
jika kita hijrah lalu kehilangan keringat peluh lelahnya berdakwah.
Tentunya kita tak mau kehilangan nikmat itu, nikmat iman, nikmat
hidayah, nikmat dakwah, berlelah-lelah dalam dakwah itu indah! Sekali
lagi, niatkanlah untuk Alloh. Boleh jadi substansinya sama namun
nilainya berbeda, yang membedakannya adalah niat.
Teruntuk sahabat-sahabat dakwahku, semoga Alloh senantiasa membersamai
kita, meridhoi dan memberikan barokah pada kita semua di manapun kita
berada. Saya memilih di sini, tetap di sini, tetap di kampung halaman
saya, bukan berarti menafikan nasihat para ulama mengenai pentingnya
hijrah dan menjelajah dunia. Kampung halaman saya masih negeri merdeka,
masih banyak yang bisa dan perlu dilakukan di sini. Semoga juga bernilai
kebaikan. Mungkin keberadaan saya di sini jauh lebih baik dari
keberadaan saya di luar sana. Bukankan masyarakat sekitar kita jauh
lebih berhak menikmati dakwah kita? Yah, kalaupun hijrah, jangan lupa
kisah Fathu Makkah. Seusai hijrah, pulanglah dan jadikan kampung halaman
kita futuh.