Deddy Mizwar: "Apapun yang terjadi jangan pernah kehilangan cinta pada negeri ini”
By: admin
Selasa, 29 Januari 2013
0
Pasalnya selebaran yang dibagikan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya
Unpad tersebut adalah undangan untuk mengikuti KURUCETRA “Kumpul Rutin
Cerita Sastra” yang membedah film “Tanah Surga Katanya” bersama Deddy
Mizwar.
Sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang (hanya baru) melek politik, saya berpikir acara ini akan menjadi ajang kampanye buat Deddy Mizwar. Namun, setelah mengikuti acara tersebut ada ruh lain yang saya dapat.
Sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang (hanya baru) melek politik, saya berpikir acara ini akan menjadi ajang kampanye buat Deddy Mizwar. Namun, setelah mengikuti acara tersebut ada ruh lain yang saya dapat.
Ya! Ruang-ruang diskusi sastra adalah tempat bisu untuk para
praktisi politik. Di sana mereka tidak dapat berkampanye secara vulgar.
Sastra adalah tempat insan-insannya menjual gagasan. Takada ruang
istimewa bagi yang bertangan kosong dalam sastra. Siapapun menjual
ideologi dalam karyanya. Pramoedya Ananta Toer dengan sosialismenya, Ayu
Utami dengan feminismenya, atau M. Irfan Hidayatullah dengan Islamnya,
mereka dengan penuh kesadaran membawa ideologi dalam karya-karyanya.
Orang-orang yang bertangan kosong hanya akan berada di pinggiran dengan
karya absurd yang tanpa sadar mendukung ideologi mainstream. Takada karya tanpa gagasan yang dijual dalam sastra.
Berbicara film berarti berbicara isi cerita. Membaca isi cerita berarti
membaca gagasan yang ditawarkan oleh seorang seniman. Begitupun pada
film “Tanah Surga Katanya..” yang diproduseri oleh Deddy Mizwar.
Film ini menceritakan perjalanan panjang seorang Salman mengeja kecintaan terhadap bangsanya. Ia dihadapkan dengan situasi-situasi antagonis yang memaksanya untuk mencari penghidupan di Malaysia. Ayahnya menikah dengan perempuan malaysia agar lebih mudah menjadi warga negara sana. Ia diajak ikut pindah dan menjadi warga negara malaysia. Di sisi lain, kakeknya adalah mantan relawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965. Kakeknya tentu takmengizinkan Salman pindah kewarganegaraan. Sesederhana apapun kehidupan di Perbatasan Indonesia-Malaysia itu, kakeknya tetap lebih memilih hidup di negeri sendiri ketimbang di negeri orang.
Film ini menceritakan perjalanan panjang seorang Salman mengeja kecintaan terhadap bangsanya. Ia dihadapkan dengan situasi-situasi antagonis yang memaksanya untuk mencari penghidupan di Malaysia. Ayahnya menikah dengan perempuan malaysia agar lebih mudah menjadi warga negara sana. Ia diajak ikut pindah dan menjadi warga negara malaysia. Di sisi lain, kakeknya adalah mantan relawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965. Kakeknya tentu takmengizinkan Salman pindah kewarganegaraan. Sesederhana apapun kehidupan di Perbatasan Indonesia-Malaysia itu, kakeknya tetap lebih memilih hidup di negeri sendiri ketimbang di negeri orang.
“Perjalanan cinta Salman pada negaranya ini mengajari kita soal anugerah
terindah dalam mencintai,” kata Deddy Mizwar. “Cintailah manusia tanpa
harus mengingkari kebenaran,” tambahnya.
Film ini mengajari kita soal banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghargai negara ini. Di Malaysia bendera Indonesia hanya dijadikan alas dagangan rempah-rempah. Ia taklebih dari warna merah dan putih yang tak berbeda dengan warna kuning, hijau, dan coklat. Adegan ini jadi simbol bahwa pihak yang menjual Sumber Daya Alam Indonesia ke luar negeri hanya menjadikan negara sebagai alas dagangannya untuk memperkaya diri. Salman sampai harus bersiasat untuk mengambil bendera itu dari orang yang menjadikannya sebagai alas. Ia menukarnya dengan sebuah sarung dan mengibarkannya sambil berlari ke Indonesia. Dalam adegan itu sangat terlihat perbedaan jalan Indonesia – Malaysia. Jalan di Malaysia lebih bagus daripada jalan di Indonesia. “Namun, sejelek apapun, itulah kebenarannya. Saya tidak mungkin membagus-baguskan negara kita dalam film itu. Nanti saya bohong!” ujar Deddy Mizwar. “Kalau dalam sepakbola Indonesia dikalahkan Malaysia, saya juga tidak mungkin menceritakan Indonesia menang dalam film ini, nanti saya bohong lagi. Citra visual dalam film adalah refleksi realitas yang ada di Indonesia.” Tambahnya.
Film ini mengajari kita soal banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghargai negara ini. Di Malaysia bendera Indonesia hanya dijadikan alas dagangan rempah-rempah. Ia taklebih dari warna merah dan putih yang tak berbeda dengan warna kuning, hijau, dan coklat. Adegan ini jadi simbol bahwa pihak yang menjual Sumber Daya Alam Indonesia ke luar negeri hanya menjadikan negara sebagai alas dagangannya untuk memperkaya diri. Salman sampai harus bersiasat untuk mengambil bendera itu dari orang yang menjadikannya sebagai alas. Ia menukarnya dengan sebuah sarung dan mengibarkannya sambil berlari ke Indonesia. Dalam adegan itu sangat terlihat perbedaan jalan Indonesia – Malaysia. Jalan di Malaysia lebih bagus daripada jalan di Indonesia. “Namun, sejelek apapun, itulah kebenarannya. Saya tidak mungkin membagus-baguskan negara kita dalam film itu. Nanti saya bohong!” ujar Deddy Mizwar. “Kalau dalam sepakbola Indonesia dikalahkan Malaysia, saya juga tidak mungkin menceritakan Indonesia menang dalam film ini, nanti saya bohong lagi. Citra visual dalam film adalah refleksi realitas yang ada di Indonesia.” Tambahnya.
Pesan dalam film ini terrangkum dalam puisi Salman ketika menyambut pejabat pemerintah dari Jakarta:
Tanah Surga Katanya
Bukan lautan hanya kolam susu, katanya
Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu
Kail dan jala cukup menghidupimu, katanya
tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara
Tiada badai tiada topan kau temui, katanya
Tapi kenapa ayahku tertiup angin ke malaysia?
Ikan dan udang menghamiri dirimu, katanya
Tapi kata kakek, “Awas ada udang di balik batu!”
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya sejahtera. Banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri
Benar kata Deddy Mizwar, cintailah bangsa ini tanpa harus mengingkari
kebenaran. Pesan ini dirangkum dalam adegan terakhir, pesan sang kakek
sebelum wafat, “Apapun yang terjadi jangan pernah kehilangan cinta pada
negeri ini!”
Film ditutup dengan adegan Salman berlari membawa bendera merah putih sambil berlari dari Malaysia ke Indonesia. Kembali gagasan nasionalisme disampaikan oleh Deddy Mizwar. Namun, kali ini disajikan dengan lebih halus, tidak sesatir Nagabonar Jadi Dua dan Alangkah Lucunya Negeri Ini.
Film ditutup dengan adegan Salman berlari membawa bendera merah putih sambil berlari dari Malaysia ke Indonesia. Kembali gagasan nasionalisme disampaikan oleh Deddy Mizwar. Namun, kali ini disajikan dengan lebih halus, tidak sesatir Nagabonar Jadi Dua dan Alangkah Lucunya Negeri Ini.
Gagasan nasionalisme ini adalah ajakan untuk membenahi negara ini
berdasarkan realitas yang ada di perbatasan. Generasi mudalah yang
menjadi pemegang amanah perbaikan negara ini.
“Kaum Nabi Nuh dimusnahkan oleh Allah karena takmelakukan perbaikan, kaum Nabi Luth juga demikian, bahkan Turki Utsmani juga dimusnahkan oleh Allah, jangan sampai negara kita mengalami hal yang sama. Kalau ada ketidakberesan di negeri ini, lakukan sesuatu karena merasa tidak suka dalam hati adalah perbuatan selemah-lemahnya iman. Kalaupun negara ini akan dimusnahkan, paling tidak, saya ada di barisan orang-orang yang berbuat sesuatu melalui film,” ujar Deddy Mizwar.
“Tapi janganlah sampai negeri ini dimusnahkan. Ayo kita berbuat sesuatu untuk negeri kita dengan karya paling tidak.” Tambahnya. Moderator diskusi waktu itu sampai berkata, “Saya merasa sedang ada di PPT (Para Pencari Tuhan-pen). Serasa dinasehati sama Bang Jek.”
“Kaum Nabi Nuh dimusnahkan oleh Allah karena takmelakukan perbaikan, kaum Nabi Luth juga demikian, bahkan Turki Utsmani juga dimusnahkan oleh Allah, jangan sampai negara kita mengalami hal yang sama. Kalau ada ketidakberesan di negeri ini, lakukan sesuatu karena merasa tidak suka dalam hati adalah perbuatan selemah-lemahnya iman. Kalaupun negara ini akan dimusnahkan, paling tidak, saya ada di barisan orang-orang yang berbuat sesuatu melalui film,” ujar Deddy Mizwar.
“Tapi janganlah sampai negeri ini dimusnahkan. Ayo kita berbuat sesuatu untuk negeri kita dengan karya paling tidak.” Tambahnya. Moderator diskusi waktu itu sampai berkata, “Saya merasa sedang ada di PPT (Para Pencari Tuhan-pen). Serasa dinasehati sama Bang Jek.”
Gagasan dalam film ini sudah menjadi salah satu alasan saya untuk
memilihnya dalah Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013 nanti. Ide perbaikan
dan nasionalisme sudah ada dalam film-film Deddy Mizwar. Saatnya ia
bekerja konkret untuk Jawa Barat sebagai salah satu bagian dari
Indonesia. Gagasan besar untuk negara ini selalu hadir dari seorang
besar bukan?!
pkspiyungan.org
*https://langitshabrina.wordpress.com/2012/11/21/belajar-mencintai-indonesia-dari-deddy-mizwar/
DPD PKS Siak - Download Android App