Belajar Bersatu | Anis Matta
By: Abul Ezz
Kamis, 10 Januari 2013
0
Ketika
kekalahan, tragedi, kelaparan, dan pembantaian mendera jasad Islam
kita, kita selalu saja menyoal dua hal: konspirasi Barat dan lemahnya
persatuan umat Islam.Tangan-tangan syetan Yahudi seakan merambah di
balik setiap musibah yang menimpa kita. Dan kita selalu tak sanggup
membendung itu, karena persatuan kita lemah.
Mari
kita menyoal persatuan, sejenak, dari sisi lain. Ada banyak faktor yang
dapat mempersatukan kita: aqidah, sejarah dan bahasa. Tapi semua faktor
tadi tidak berfungsi efektif menyatukan kita. Sementara itu, ada banyak
faktor yang sering mengoyak persatuan kita. Misalnya, kebodohan,
ashabiyah, ambisi, dan konspirasi dari pihak luar. Mungkin itu yang
sering kita dengar setiap kali menyorot masalah persatuan.
Tapi
di sisi lain yang sebenarnya mungkin teramat remeh, ingin ditampilkan
di sini. Persatuan ternyata merupakan refleksi dari ’suasana jiwa’. Ia
bukan sekedar konsensus bersama. Ia, sekali lagi, adalah refleksi dari
’suasana jiwa’. Persatuan hanya bisa tercipta di tengah suasana jiwa
tertentu dan tak akan terwujud dalam suasana jiwa yang lain. Suasana
jiwa yang memungkinkan terciptanya persatuan, harus ada pada skala
individu dan jamaah.Tingkatan ukhuwwah (maratibul ukhuwwah) yang disebut
Rasulullah SAW, mulai dari salamatush shadr hingga itsar, semuanya
mengacu pada suasana jiwa. Jiwa yang dapat bersatu adalah jiwa yang
memiliki watak ’permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecildan yang
besar, alim dan awam, remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar,
yang dapat ’merangkul’ dan ’menerima’ semua jenis watak manusia. Ia
adalah jiwa yang digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi,
memperhatikan, merawat,mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai.
Jiwa
seperti itu sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk ’kemahahebatan’,
’kemahatahuan’, ’keserbabisaan’. Ia juga terbebas dari ketidakmampuan
untukmenghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari karya
dan kepribadian oranglain. Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari
’narsisme’ individu atau kelompok.
Maksudnya
bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar manfaat yang ia
peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang dapat ia
berikan kepada orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau
keberhasilan seseorang atau kelompok berdasarkan apa yang ia ’inginkan’
dari orang atau kelompok tersebut. Salah satu kehebatan tarbiyah
Rasulullah SAW, bahwa beliau berhasil melahirkan dan mengumpulkan
manusia-manusia ’besar’ tanpa satupun di antara mereka yang merasa
’terkalahkan’ oleh yang lain. Setiap mereka tidak berpikir bagaimana
menjadi ’lebih besar’ dari yang lain, lebih dari mereka berpikir
bagaimana mengoptimalisasikan seluruh potensi yang ada pada dirinya dan
mengadopsi sebanyak mungkin ’keistimewaan’ yang ada pada diri orang
lain.
Umar
bin Khattab, mungkin merupakan contoh dari sahabat Rasulullah SAW yang
dapat memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang ruhiyah,
jihad, qiyadah, akhlak, dan lainnya. Tapi semua kehebatan itu sama
sekali tidak ’menghalangi’ beliau untuk berambisi menjadi ’sehelai
rambut dalam dada Abu Bakar’. Sebuah wujud keterlepasan penuh dari mimpi
buruk ’kemahahebatan’.
pksmesir.org
DPD PKS Siak - Download Android App