Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » » » Keutamaan Saling Berbagi dan Menolong

Keutamaan Saling Berbagi dan Menolong


By: Abul Ezz Rabu, 29 Agustus 2012 0


Telah menjadi keyakinan dalam setiap orang beriman bahwa  memohon pertolongan ditujukan semata-mata hanya kepada Allah, sebelum saling tolong menolong sesama mukmin dan manusia pada umumnya. Memohon pertolongan kepada Allah dapat berupa do’a, kepasrahan dan bertaqarrub kepada Allah. Taqarrub adalah persembahan untuk Allah, sebagai modal untuk memohon kepada-Nya. Seperti dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa salah satu contoh memohon pertolongan adalah dengan sabar dan menunaikan shalat. (al-Baqarah : 153)

Dalam konteks kemanusiaan, meminta pertolongan kepada sesama saudara muslim sangat diperlukan. Hidup ini terlalu berat untuk dijalani seorang diri, bahkan meskipun oleh seorang mukmin. Demikian juga upaya menjaga kesinambungan amal. Kalaulah tidak seperti itu, tentu Rasulullah tidak begitu sering menekankan pentingnya hidup berjama’ah, sebuah bentuk lain dari menolak kesendirian. Sebab, seperti perumpamaan yang disampaikan Rasulullah, serigala itu akan memangsa domba-domba yang sendirian. (al-hadits)
Meminta tolong kepada teman, saudara, keluarga, orang-orang shalih, bisa bermacam bentuknya. Bisa dengan meminta nasehat dari mereka, menimba pengalaman, atau saling berbagi. Intinya, bagaimana agar amal-amal yang kita tabung bisa terus berjalan, meski sedikit demi sedikit. Kita memang harus menyadari, bahwa jalan kebajikan itu beribu jumlahnya. Tak jadi soal mana yang kita pilih. Itu memberi kesempatan bagi segala macam orang untuk beramal, termasuk kepada kita.
Diantara amal kebajikan yang sering dilalaikan adalah anjuran saling berbagi dan menolong sesama. Dalam surah al-ma’un sifat ini termasuk sifat yang tercela dan terancam dengan pendustaan terhadap hari pembalasan dan ajaran Islam. Agar terhindar dari sifat ini mari kita berteladan kepada salaf saleh dan generasi terbaik dari umat ini.
Dalam sejarah emas sahabat, kita menemukan riwayat tentang ketokohan Abdurrahman bin Auf dalam sikap menolong dan bersegera dalam kebaikan. Ia tersentak dengan kekhawatiran terhadap kebangkrutan dan kerugian di akhirat, padahal di dunia dia telah meraih kekayaan yang berlimpah. Hal itu terinspirasi dari informasi Rasul dari hadits Aisyah ra. Ketika mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, “Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?” “Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya,” seseorang menjawab. Ummul Mukminin berkata lagi, “Kafilah yang telah menyebabkan semua ini?”“Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan.” Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya jauh menerawang seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya.
Kemudian ia berkata, “Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”
Sebagian sahabat mendengar itu. Mereka pun menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskan, ia segera melangkahkan kakinya ke rumah Aisyah.
“Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa.” Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah.”
Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak yang sangat besar. Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya. Bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta kemudian menyimpannya. Ia mengumpulkan harta dengan jalan yang halal.
Kemudian, harta itu tidak ia nikmati sendirian. Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut juga menikmati kekayaan Abdurrahman bin Auf. Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah berkata, “Seluruh penduduk Madinah bersatu dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka.”
Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia pergunakan untuk membela agama Allah dan membantu sahabat-sahabatnya. Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk berbuka puasa. Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia malah menangis dan berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai seorang syahid. Ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbuka kepalanya.”
Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan dengan suara yang juga masih terisak dan berat, “Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kami.”
Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali, akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta yang haram sedikitpun.
Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin Auf menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah makanan diletakkan di hadapan mereka, tiba-tiba ia kembali menangis. Sontak para sahabat terkejut. Mereka pun bertanya, “Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?” Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. Sahabat benar-benar melihat bahwa be¬tapa halusnya hati seorang Abdurrahman bin Auf. Ia mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang diperbuatnya di dunia ini.
Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf menjawab, “Rasulullah Saw. wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan roti gandum sampai kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan?”
Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang menangis, para sahabat pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap ridha Allah. Mari kita ikuti jejak kebaikan istimewa mereka.
 
Oleh: Dr. Tajuddin Pogo, Lc, MH
IKADI


DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Komentar sehat anda..